"Sekarang udah nggak ada alasan untuk kamu nolak aku lagi Xa, jadi aku mohon pakai cincin ini dan besok … pulang sama aku ke Surabaya."
Evano meraih jari manis Eveline dan memasangkannya cincin yang sedari tadi ia genggam. Kali ini wanita itu tidak melakukan apa pun untuk meolak apa yang pria itu lakukan.
Dia malah memeluknya dengan erat. "Aku cinta sama kamu Van."
Pria itu mengelus lembut kepala belakang wanita itu, lalu juga mengusap punggungnya.
Ia kemudian melepaskan pelukan dan memegang kedua bahunya. "Mulai sekarang kita akan saling menerima satu sama lain, kita juga harus percaya satu sama lain, dan untuk masalah keluarga aku, kamu nggak usah khawatir, aku akan meminta restu mereka untuk kita. Kita akan pulang ke Surabaya untuk nemuin keluarga kamu juga."
Wanita ini tampak memikirkan sesuatu. "Itu artinya aku harus pergi dan minta izin pada Siska untuk ngelepasin aku, tapi aku takut masalah setahun yang lalu kejadian lagi … dia nggak mau ngelepasin aku dan malah memenjarakan aku lebih buruk lagi."
Tiba-tiba dering teleponnya memecahkan lamunan Alexa. Ia membuka tas tangannya dan meraih telepon genggam yang sedari tadi bersuara dari sana.
Eve menilik sekilas pada layar, membuat Evano terlihat ikut penasaran, "Siapa yang nelpon? Kenapa nggak di angkat?"
Eveline diam dan menatap dalam pada laki-laki yang memberikan isyarat padanya untuk mengangkat panggilan itu. "Nggak apa-apa, angkat aja … siapa tau penting." Ucapnya lagi, membuat wanita itu mengangkat telepon yang ternyata berasal dari temannya Nia.
"Kenapa Nia?" tanya Eve tanpa basa-basi.
"Kamu sekarang di mana?" tanya itu di iringi dengan sedikit rasa panik.
"Aku di parkiran, emang kenapa?"
"Sekarang kita harus pulang deh kayaknya, secara mami Siska nelponin aku terus dari tadi … soalnya katanya nomor kamu dia telponin terus tapi nggak aktif."
Sebelum pergi Eveline memang sengaja mensenyapkan sementara telepon dan pesan dari Siska, karena dia tau laki-laki itu bisa saja terus mengganggu waktunya.
"Iya Nia … sebentar lagi aku ke sana."
"Aku tunggu di depan gerbang keluar mall ya, jangan lama-lama … nanti bahaya." Tak lama wanita itu kemudian memutuskan panggilannya.
"Van kayaknya aku harus pergi," ucapnya setelah menyimpan telepon genggamnya.
"Kemana? mau aku antar?"
"Nggak usah … aku bisa sendiri kok."
"Yakin?" tanyanya lagi.
Eveline mengangguk. Saat wanita itu ingin meninggalkannya, Evano menahan lengannya.
"Besok aku tunggu di bandara jam 7 pagi."
Wanita ini kembali terperangah.
"Jangan telat … semua tiket aku yang urus …." Evano melanjutkan.
Wanita ini kembali mengangguk setelah itu pergi meninggalkannya.
Rupanya Nia sudah menunggunya di pintu keluar cukup lama, ia juga mengirimkan Eveline pesan beberapa kali sebelum temannya itu benar-benar tiba menemuinya.
"Kok lama banget," rengutnya.
"Maaf Nia, tapi aku lagi nyelesaiin sedikit masalah." Eveline merasa tidak enak karena dia, temannya bisa saja terlibat masalah.
"Kamu habis nangis ya?" tanyanya sembari melihat dan menyentuh bekas air mata yang sudah mengering di pipi temannya itu.
"Nggak kok." Eve menggeleng dan mencoba menyangkal.
"Jangan bohong deh Eve, aku bisa lihat mata kamu sembab."
Karena merasa ketahuan Eve terlihat panik. "Gimana ini, gimana kalo mami liat aku gini?"
"Ntar di taksi, rapiin lagi makeup kamu, aku yakin nggak bakal ketahuan," ucapnya mencoba menenangkan.
***
Mereka berdua terlihat setuju sebelum akhirnya menaiki mobil taksi dan pulang ke rumah mereka.
Eveline menarik napas panjang sebelum turun, ia berharap tidak akan terjadi apa-apa. Tapi saat ia memasuki gerbang, Siska sudah berdiri di depan pintu sembari terlihat kesal padanya.
"Kemana aja? Kenapa Handphone kamu nggak aktif?"
Eve hanya terdiam, ia tidak berani untuk mengangkat wajahnya.
"Sekarang cepet ganti baju dan pergi temuin Tuan Maxime, dia sedari tadi udah minta kamu untuk nemuin dia."
"Tapi …."
"Nggak ada tapi-tapian, Cepetan sana." Siska mendorong tubuhnya untuk segera masuk.
Eve berjalan memasuki kamarnya, tak lama kemudian dia terlihat telah hampir selesai menyelesaikan dandanannya.
Wanita ini tampak mengenakan anting dan menatap wajahnya di cermin, ia sejenak terlihat menghentikan semua kegiatannya.
"Aku harus bicarain ini semua sama Mami, mau nggak mau dia harus terima keputusan aku."
Dengan perasaan cemas, Eve berjalan pelan menemuinya, berharap dapat menerima izin untuknya bisa berhenti dan meninggalkan dunia malam ini.
Siska atau Rony terlihat sedang duduk santai di meja makan dengan meminum bir kalengnya. Dia menatap pada Eveline yang sedang berjalan ke arahnya dengan dandanan yang sudah terlihat begitu cantik.
"Kenapa lagi? Udah pergi sana …," ucapnya saat melihat Eveline telah berdiri di dekatnya.
"Mam … apa aku boleh bilang sesuatu?"
"Ngomong aja, tapi jangan lama-lama … soalnya ntar pelanggan marah kalau kamu buat dia nunggu terlalu lama."
"Kayaknya aku nggak bisa pergi …."
"Apa katamu?" Mata laki-laki itu berubah tajam
"Kayaknya aku udah nggak bisa ngelayanin tamu lagi Mam." Eveline menunduk dengan mulutnya sedikit bergetar.
"Apa maksud kamu? Coba ulangi sekali lagi!" Wajah Siska terlihat marah.
Eveline duduk dan bersujud di hadapannya.
"Aku mohon, izinin aku buat berhenti Mam …."
Siska lantas tertawa. "Enak aja main berhenti, ingat nggak tahun lalu gimana? Apa mau aku ulangin lagi?"
Eve menggeleng.
"Nggak usah banyak drama deh say, pergi aja … dan jangan sekali-kali berpikir untuk berhenti lagi."
Eveline menyentuh dan memeluk betisnya, maafkan aku Mam, tapi aku ingin berhenti … aku udah pikirin ini, rasanya aku udah capek dan juga ingin menikah, aku ingin hidup normal."
"Jadi bener ya kata anak-anak … kamu punya pacar dan tadi kamu ketemu sama cowok … iya kan? Ngaku …."
Siska tampak marah dan menjambak rambut Eveline dan membuatnya berdiri.
"Sakit Mam …." Eveline merintih lirih.
Pria itu melepaskan jambakannya. Lalu menunjuk tajam pada wajahnya.
"Denger ya, untuk seluruhnya … siapa pun itu, harus nurut sama aturan aku, kalo aku belum bilang nyuruh berhenti kalian jangan sekali-kali berhenti."
"Tapi mam?" Eve kembali memegang lengannya, membuat laki-laki itu marah dan menampar wajahnya.
"Denger nggak sih? Belum kering mulut aku ngomong sama kamu ya … cepetan pergi temuin Maxime sekarang."
Eve menggeleng.
"Aku nggak bisa Mam, aku harus pergi … izinin aku untuk pulang."
"Hey … kamu, udah berani ya ngebantah." Siska menggenggam lengannya begitu kuat membuatnya terlihat kesakitan.
Karena mendengar pertengkaran yang terjadi di dapur, membuat seluruh teman-teman serumah menonton semua yang siska lakukan pada Eve tapi tak ada seorang pun yang berani membantunya.
"Kalian semua denger ya … nggak ada ceritanya kalian seenaknya mau keluar dari sini, kecuali kalian harus membayar semuanya, ingat ya tujuan kalian ke sini dulu apa … jangan sampe keulang lagi kayak gini."
Setelah memukul Eve beberapa kali, Siska melepaskan cengkramannya dan membuat Eveline jatuh tersungkur.
Setelah Siska pergi dari sana, baru lah Nia datang untuk memeluk dan menenangkan Eveline yang sudah menangis itu.
Siska terlihat berbalik. "Ingat ya, ini jadi pelajaran … nggak ada yang boleh kayak gini lagi, kalau ketahuan, kalian bakal aku kasih hukuman yang lebih berat. Eveline pergi rapikan riasan, dandan lagi di mobil, setelah itu temuin Maxime, kalo sampe kamu kabur … kamu bakal tahu akibatnya." Telunjuk pria itu kembali terlihat tajam menghujam padanya.
Dengan penampilan yang sudah sedikit acak-acakan wanita itu terlihat memasuki mobil Alvin yang ternyata sedari tadi sudah menjemputnya.
Selama di mobil dia hanya menangis tanpa merapikan apa pun pada wajahnya.
"Aku harus pulang. Aku harus cari cara agar Siska lepasin aku … gimana pun caranya … aku nggak bisa begini terus," batinnya.
Alvin yang duduk di bangku dekat kemudi berbalik menilik ke arahnya.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Alvin, tapi Eveline terlihat diam dan mengabaikannya.
Selama perjalanan wanita itu hanya menangis dan merenung, membuat Alvin menjadi bingung.
"Kalo sekiranya kamu nggak bisa nemuin Arthur nggak apa-apa, biar aku bantu untuk menjelaskan ini padanya."
Eve menggeleng. "Biarkan saja aku bertemu dengannya, aku ingin menemuinya."
Alvin mengangguk-angguk. "Baiklah… terserah kamu saja, semoga pria itu bisa mengerti."
Saat turun dari mobil, karena merasa iba Alvin yang membukakan pintu untuknya terlihat melepaskan dan memberikan jasnya pada Eveline, wanita itu juga terlihat menutupi tanda merah tamparan di wajah dengan rambutnya.
Untungnya penampilannya sudah tidak terlalu mencolok perhatian pengunjung hotel lain.
Sebelum masuk Eveline mengembalikan jas dan berterimakasih pada pria baik itu.
Eveline berjalan masuk ke kamar Arthur, mendapati ruangan itu sunyi dan ternyata laki-laki itu sedang duduk dan menikmati minumannya di teras luar.
"Aku harus memohon padanya, agar dia mau membantuku, bagimana pun caranya."
Dengan penampilan yang berantakan ia menemui dan terduduk di lantai di dekat kursi pria itu. Air mata wanita ini juga sudah tak bisa lagi terbendung.