Helena baru saja menutup notes ketika melihat layar ponselnya menyala. Kantuk menyerang di jam terakhir mata kuliah, tapi saat ini matanya terlihat berbinar karena membaca sederet pesan masuk.
Nathaniel Hesa:
Satu jam lagi aku keluar kelas.
Jadi, kan? Nanti malam?
Aku tunggu, ya.
Jemarinya baru saja hendak bergerak membalas pesan Nathan. Namun, sebuah pesan baru yang masuk mengalihkan perhatiannya.
Kak Friska:
Gimana, Hel? Udah ngambil keputusan? Please, Helen. Kamu udah nggak menjejak dunia literasi lagi lebih dari satu tahun, kali ini aku harap kamu mau balik nulis.
Seandainya sekarang kamu mau nolak tawaran ini, tolong pikir-pikir lagi.
I hope you'll come back.
Helena tidak jadi bangkit dari bangkunya. Sementara mahasiswa lain sudah bergerak mengosongkan kelas, menyisakannya sendirian.
Dia membaca bolak-balik pesan dari Kak Friska, editor senior dari Penerbit Lovelis Media yang selalu membantu menyunting naskah-naskah novel mentahnya sampai bisa terjual belasan ribu eksemplar di toko buku, dengan beberapa yang berakhir menjadi naskah best seller.
Benar, sudah lebih dari satu tahun, sejak Helena memasuki dunia kampus, kegiatan menulisnya terhenti. Kegiatan kampus tidak membuat tulisannya mati, ada waktu jika dia mau. Namun, ide menulis kisah tokoh-tokoh fiktifnya mati saat dia menemukan kisah cintanya sendiri.
Nathan, Nathaniel Hesa, laki-laki yang mengirimkan pesan berderet tadi, yang selalu mampu membuatnya tersenyum saat mengingat, yang ... mengisi hidupnya tepat satu tahun lalu lebih satu minggu, adalah laki-laki yang mampu menarik dirinya ke dalam kisah cinta yang tidak harus ditulis lebih dulu.
Dengan Nathan, Helena hanya perlu menjalaninya. Dengan Nathan, Helena tidak harus memikirkan plot dan karakter tokoh. Dengan Nathan, Helena hanya perlu mencintai tanpa perlu repost menuliskan apa-apa.
Helena menyalakan layar ponselnya, menampakkan foto wajahnya dan Nathan yang dijadikan foto layar kunci. Dia tersenyum lagi. Rasanya tidak akan ada penyesalan ketika dia harus meninggalkan segalanya demi laki-laki itu. Beberapa kali dia meyakinkan pikiran itu.
"HELEEN," jeritan itu terdengar sampai suaranya menggema di ruangan.
Helena menoleh, tersenyum ketika melihat Jessy menghampirinya dan bergegas duduk di kursi kosong yang berada di sisinya.
"Ikut kan nanti malam?" tanyanya.
Keduanya sama-sama berada di Jurusan Bisnis dan Manajemen tingkat dua. Walau berada di kelas berbeda, beberapa mata kuliah membuat keduanya sering berada di kelas yang sama.
"Ada acara apa memangnya?" Helena memasukkan notes ke tas, lalu kembali menatap Jessy.
"Ihh ... bukannya udah dibahas di grup?" Jessy tampak kesal. "Arjuna ulang tahun, terus nanti rencananya kita mau kumpul di ..." Jessy menarik bola matana ke atas. "Tempatnya belum fix sih, tapi kayaknya ya antara apartemen Julian atau ... rumah Kai mungkin?"
Helena mengangguk-angguk. "Oh."
"Oh?" Jessy tampak tidak puas dengan responsnya. "Semua bakal datang, Helen. Gue, Topan, Kai, Julian, Galaksi. Kalau Arjuna sih udah jelas, belum lagi David, Fadhil, Gibran sama Gista-mereka bela-belain datang lho. Haidar dan Ika juga bilangnya mau datang walaupun belum fix, sih."
Nama-nama yang jessy sebutkan di awal tadi berada di kampus yang sama, Universitas Wiaratama yang berada di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Sedangkan, Fadhil, David, Gista, Haidar dan Ika berada di universitas berbeda. Mereka mengosongkan waktu dan jauh-jauh datang demi acara itu.
Namun, "Gue udah ada janji duluan sama Nathan." Helea menggigit bibir saat mendapat tatapan kecewa dari Jessy untuk kesekian kalinya.
"Helen, acara apa lagi, sih?" Ucapan Jessy hanya terdengar mengeluh, dia tidak membutuhkan jawaban. "Bukannya minggu kemarin lo berdua udah ngabisin weekend bareng buat first anniversary? Dan ini tuh gue nggak minta lo ngumpul tiap weekend, cuma--"
"Jessy ..." Helena menatapnya penuh permintaan maaf. Sebenarnya, malam ini dia tiak tahu apa rencana Nathan ketika mengajaknya bertemu. Nathan bilang, Helena hanya perlu datang.
"Lo udah nggak pernah datang kalau ada acara kumpul-kumpul gini. Iya, kan?" Jessy menggelengkan kepala. "Atau ... kalau lo mau ajak Nathan aja, biar--"
"Jes, lo tahu itu nggak mungkin." Mengingat apa yang terjadi beberapa waktu lalu. Ada hal yang membuat Nathan bahkan bisa mengubah ekspresi wajahnya hanya ketika Helena--tanpa sengaja--membicarakan teman-temannya.
Jessy hanya mengangguk, terlihat mengalah. "Iya. Ya udah."
"Sampein salam gue ke anak-anak, ya?"
Jessy menghembuskan napas berat. "Iya." Tangannya terulur mengusap kepala Helena. "Have fun, ya?" Lalu tersenyum. "Tapi ... kalau misalnya sempat, setelah jalan sama Nathan, mau nyusul kita juga boleh kok. Nnati gue kabarin tempatnya di mana."
Akhir kalimat dari Jessy yang selalu Helena dengar 'Nyusul ya kalau sempat!' walaupun Jessy tahu bahwa setelah bersama Nathan, waktunya akan habis dan tidak pernah terbagi dengan apa pun. "Okay. Have fun juga, ya," balas Helena.
****
Tim Sukses Depan Pager
Hartofan:
Absen nanti malam yoook.
Jenny Shahiya:
Semua ikut kayaknya.
David Renjani:
Wah, iya kah?
Ika Nur:
Count me in.
Gibran Nuril:
Wah, ramai.
Formasi lengkap nih?
Jessy Shahiya:
Eh, Helena nggak bisa ikut. Hehe.
Arjuna Advaya:
Wah, Helen. Serius?
Hartofan:
Arjuna tampak kecewa, ya.
Gibran Nuril:
Napa dah, Juna?
Kaivan Ravindra:
Helen, lo bakal nyesel seandainya tahun depan Arjuna udah nggak ulang tahun lagi.
Arjuna Advaya:
Eee .... babinyeeeee ....
Helena Cellistine:
Junaaa, sory yaaaa.
Arjuna Advaya:
Iya, nggak apa-apa. Salam buat Nathan, ya.
Fadhil Dzil:
Salamnya gimana, Juna?
Arjuna Advaya:
Fucek *Emoticon jari tengah*
Canda, Helen. Hehe.
Galaksi Bimantara:
Lho.
Helen, nggak jadi nih?
Helena Cellistine:
Nggak jadi apaan?
Galaksi Bimantara:
Putus sama Nathan.
Fadhil Dzil:
Lha, emang??
Galaksi Bimantara:
Jadian sama gue.
****
Helena sudah sampai di apartemen itu. Ini adalah perayaan first anniversary keduanya karena minggu lalu Nathan telah memberikan kejutan manis, sebuah acara makan malam rmantis di sebuah rooftop cafe kawasan Menteng. Nathan mengajaknya menikmati senja ketika sore hari di sana, juga menikmati gemerlap city view saat makan malam.
Malam itu Nathan membuatnya merasa istimewa, dan itu semua terasa cukup. Baginya, Nathan saja sudah cukup. Dia tahu itu pikiran mainstream yang dimiliki setiap gadis saat sedang begitu mencintai seseorang.
Dan malam ini, Helena belum tahu apa yang akan mereka lekaukan untuk merayakan kembali usia hubungan yang sudah terjalin selama satu tahun itu. Nathan hanya menyuruhhnya datang ke apartemen, tidak memberikan petunjuk tentang apa yang harus dia kenakan seperti momen di malam minggu kemarin.
Jadi, untuk malam ini Helena memilih ruffle t-shirt berwarna hitam dengan midi skirt merah bermotif bunga gelap. Dia merasa tampilannya malam ini pas untuk diajak ke mana saja. Tangan kanannya memegang sling bag setelah menekan bel, ujung flat-shoes-nya bergerak-gerak saat Nathan belum kunjung membuka pintu.
Namun, "Hai, maaf lama. Tadi aku lagi di kamar mandi."
Helena tersenyum. "Baru pulang? Bukannya hari ini cuma dua mata kuliah, ya?" Dia membungkuk sejenak untuk melepas flat shoes dan menggantinya dengan sandal rumah yang biasa dikenakan saat berada di apartemen kekasihnya itu.
Nathan mengangguk, dengan segera mengamit tangan Helena. "Biasa, habis rapat HIMA."
Nathan adalah salah satu ketua departemen di HIMA Fakultas Teknik, hal yang menyebabkan keduanya tidak terlalu sering menghabiskan waktu bersama. Selain sibuk kuliah, dia menghabiskan separuh waktunya di organisasi kampus.
Dan Helena, adalah kebalikan. Tugas kuliah menyita waktunya, dan sisanya dia gunakan untuk menunggu Nathan memiliki waktu luang. Seperti hari ini, Nathan tidak pernah menerima penolakan saat mengajaknya bertemu.
Nathan menutup pintu sebelum akhrinya mendorong pundak Helena untuk berjalan lebih dulu. Keduanya terhenti di samping sofa yang menghadap pada layar televisi yang menyala.
Helena berbalik, menatap Nathan yang tampak santai dengan kaus hitam dan denim short yang dikenakannya. Bahkan, laki-laki itu merasa tidak harus repot-repot mengeringkan rambutnya yang basah sehabis mandi. "Kita ... nggak akan pergi?"
"Hm?" Nathan yang sudah berjalan ke arah pantri segera berbalik, dia tersenyum sebelum menjawab. "Kamu mau kita pergi?"
"Oh, nggak. Maksudnya, tadi aku pikir kamu bakal ngajak aku keluar. Bukan berarti kita harus keluar."
Senyum Nathan masih tersisa. Dia meringis, mengelus perutnya sembari bicara. "Aku belum makan dari siang."
"Oh, ya?" Helena menghampiri pantri setelah menaruh sling bag-nya begitu saja di sofa. "Kok, nggak bilang? Mau pesan makanan?"
Nathan menggeleng, dua tangannya merentang ketika menerima kehadiran Helena, tanpa ragu memeluknya erat. Wajahnya ditaruh di atas pundak Helena sambil bicara dengan suara tidak terlalu jelas. "Kalau aku minta kamu yang masakin, boleh?"
Helena tertawa. "Kamu serius?"
Nathan kembali memegang pundak Helena dan mengarahkannya ke pantri. "Iya dong. Jarang-jarang kita ngabisin waktu berdua kayak gini, kan?"
"Kamu punya bahan makanan apa memangnya?" Helena membuka kabinet kecil yang menggantung di dinding, sedangkan dia membiarkan Nathan tetap memeluknya dari belakang begitu saja. "Oke. Kamu hanya punya makanan instan," gumamnya.
"Aku memudahkan masalah kamu, kan?"
Helena memukul lengan Nathan yang melingkar di pinggangnya. "Aku nggak sepayah itu, ya!"
"Oh tentu. Kamu nggak payah. Kamu istimewa dengan nasi goreng basah yang kamu masak tempo hari karena telurnya kamu masukin di akhir."
Nathan mengungkit lagi masa-masa awal mereka dekat dan Helena dengan segala usahanya mencuri perhatian dengan membuatkan bekal. "Kamu dalam masalah kalau terus ungkit hal itu," ancam Helena saat Nathan mencoba mengingat kenangan memalukan itu.
Nathan tertawa, dekapannya merenggang sebelum kembali merapat ketika melihat Helena mengambil sebungkus pasta dari kabinet. "Pilihan yang tepat."
Helena melirik ke belakang sedikit sebelum akhirnya bergeming lagi. "Oh, ayo deh. Aku beneran harus masak banget buat kamu, nih?"
Nathan meraih tangan kanannya, memainkan jemarinya. "Tentu nggak," gumamnya. Dia membawa tangan Helena mendekat ke wajahnya, lalu menciumnya. "Kita bisa melakukan hal yang ... lebih menarik seandainya kamu mau."
Helena menaruh kemasan pasta begitu saja, matanya melirik ke samping kanan, tapi tidak kuasa jika harus benar-benar menoleh. Wajahnya bergerak sedikit menjauh saat Nathan tiba-tiba mencium ringan telinganya. Dua tangan bebasnya mencengkram pinggiran meja di depannya saat sesuatu yang asing merapat di bagian belakang tubuhnya.
"Satu tahun ... cukup membuat kamu percaya sama aku, kan?" tanya Nathan. Suaranya lembut, nyaris berbisik. "Helena ...?"
Ada gugup yang menyergap, yang membuat tubuhnya kaku, yang juga membuat bibirnya kelu. Dia menghitung dalam hati, mungkin sudah tujuh detik, pertanyaan Nathan berlalu dan dia tetap termangu.
"Helena, boleh kita melakukannya malam ini?" Kali ini, Nathan sedikit menjauh, seolah memberi celah pada Helena untuk mengambil waktu berpikir dengan benar, tanpa 'desakan' lagi. "I just have one question for you with one word answer."
"Hm." Gumaman Helena memanggil tubuh Nathan untuk kembali merapat.
"Lalu?"
Helena berbalik, menghadap tubuh Nathan sepenuhnya. Dia perlu sedikit menjauh agar bisa menatap langsung mata laki-laki itu dengan perbedaan tinggi tubuh yang dimiliki keduanya. Helena menggenggam dua tangan Nathan, setelah itu ... Nathan bisa tahu jawabannya.
****