Helena melempar handuk ke wajahnya. "Bukan gitu. Kalau nyokap lo tahu, pasti marah juga." Dia sudah hidup berdua selama delapan tahun dengan ayahnya, dan masalah handuk basah ini memang selalu jadi topik hangat di antara keduanya.
Melihat Helana berlalu, Galaksi protes. "Kirain mau bantuin ngeringin rambut."
Helena hanya mendelik seraya terus menjauh, hendak kembali ke tempatnya semula.
Lalu, Galaksi berjalan ke arah kamarnya setelah merasa tubuhnya cukup kering, setidaknya tidak membawa tetesan air saat berjalan. Setelah pintu kamar tertutup, Helena melihat tas Galaksi yang tergeletak di atas meja bar.
Walaupun tertutup cover rain bag, tetap saja air bisa menemukan celah untuk masuk, kan? Bagaimana kalau isi di dalamnya ada tugas penting atau apa pun itu yang berharga? Pengalaman buruk yang pernah dialami Helena saat SMA adalah buku tugasnya kebasahan sementara keesokan harinya harus diserahkan kepada guru.
"Gal?" seru Helena dari luar kamar. "Tas lo nih, basah nggak sih?"
"Tolong keluarin isinya, dong," sahut Galaksi dari balik pintu kamar.
Helena bergerak mendekati meja bar, lalu duduk di pantri untuk membuka tas dan mengeluarkan isinya. Dan, kenapa bawaannya banyak sekali, sih? Yang pertama dia keluarkan adalah laptop, lalu tabung gambar berisi stok kertas gambar A3, kalkulator sains, beberapa buku mata kuliah, lalu ... sebuah sketsa gambar yang entah apa, tapi membuat Helena tertarik untuk menatapnya.
Gambar itu begitu rumit, tapi terlihat rapi dengan skala yang sepertinya benar-benar terukur. Helena membaca judul di atasnya, Tugas Struktur Bangunan.
"Itu dengan rencana pondasi." Sebuah suara tiba-tiba hadis di samping Helena, membuat gadis itu sedikit berjengit ke sisi lain. "Pondas batu kali."
Galaksi berdiri di sampingnya, membawa aroma musk yang lembut, tapi juga menyelip aroma akuatik yang segar. Menghirup aroma itu, benar-benar membuat Helena tahu bahwa Galaksi baru saja selesai mandi. Laki-laki itu mencondongkan tubuhnya, tangan kanannya memegang sandaran stool yang pendek, sementara tangan yang lain menunjuk kertas yang tengah Helena pegang.
"Oh." Helena mengangguk, lalu tatapannya kembali teralih pada kertas yang dipegangnya. Dia harus terlihat tenang walaupun sebenarnya ingin menggebuk Galaksi dan membuatya menjauh. "Gue sedikit takjub tadi, gambarnya rumit banget, tapi detail."
Galaksi terseyum, berlalu begitu saja bersama aroma tubuh yang dibawanya. "Kerjaan gue tiap hari tuh."
Semua benda di dalam tas sudah dikeluarkan, jadi seharusnya tidak ada alasan lagi untuk Helena tetap duduk di sana. Namun, saat melihat Galaksi membawa dua mug berisi teh yang baru diseduh dan duduk dihadapannya, artinya Helena harus tetap di sana untuk menghargai itu.
Belum ada percakapan terbuka di antara keduanya. Galaksi lebih dulu meraih ponsel dari saku celananya dan mengangkat sebuah telepon. "Halo?" Senyumnya tiba-tiba mengembang. "Iya. Aku baru sampai apartemen. Salam buat semuanya ya, maaf aku nggak bisa datang. Iya, aku nggak akan lupa makan. Iya, iya. Nanti aku panasin dulu."
Setelah membungkuk di samping Helena dengan jarak sangat dekat sembari menebar senyum, Galaksi tanpa segan mengangkat telepon dengan sapaan manis dan obrolan yang hangat. Tidak mungkin telepon itu dari seorang laki-laki, kan?
Galaksi benar-benar tidak pernah menyembunyikan apa-apa. Terang-terangan tidak keberatan jika orang lain menilainya sebagai laki-laki sejenis buaya? Kupu-kupu? Kadal? Atau dugong mungkin? Pokoknya, dia terkesan brengsek dengan sangat terang-terangan.
Helena menghela napas panjang. Sejah kejadian di Puncak di kelas XI SMA, Helena tahu benar bahwa Galaksi bukan tipe cowok yang bisa serius untuk dicintai. Memang pilihan yang tepat ketika menjadikan laki-laki itu sebagai sumber referensi tokoh utama novelnya. Karena dalam diri Helena, sudah ada benteng tinggi yang menghalau perasaan lebih dari sekedar penelitian ketika dekat dengan laki-laki itu.
Benar. Helena tidak mungkin dan tidak boleh jatuh cinta. Dia mengingatkan dirinya berkali-kali.
"Jadi, gimana kabar lo setelah putus?" Galaksi adalah orang pertama yang menanyakan kabarnya hari ini. Dia mendorong pelan mug berisi teh ke depan Helena. Ponselnya ditaruh menelungkup di atas meja bar.
"Seperti yang lo lihat," jawab Helena. "Biasa aja."
Galaksi mengangguk. "Kelihatan terlalu 'biasa aja' untuk orang yang baru aja patah hati," komentarnya.
"Gue senang kalau lo menangkap kesan kayak gitu," balas Helena. Helena masih menatapnya, memperhatikan segala gerak-geriknya dalam jarak sedekat itu adalah hal yang baru dia lakukan lagi setelah sekian lama menjauhinya.
Dari jarak yang dekat, Helena bisa melihat lagi tahi lalat di bawah sudut mata kiri laki-laki itu, juga di ujung hidungnya. Tahi lalat yang sama, yang dia lihat dengan jelas saat malam itu, saat wajah mereka nyaris tanpa jarak.
Galaksi menggosok pelan hidungnya setelah bersin satu kali, lalu mengusap kasar rambutnya dengan jemari.
Beralih pada hal lain. Helena menilik tekstur rambut laki-laki itu; tebal, lurus, hitam dan sedikit kasar. Tekstur rambut yang sering digambarkan di beberapa novel dewasa yang dibacanya beberapa hari terakhir. Tekstur rambut yang pas untuk diremas oleh seorang wanita ketika sedang ...
Helena memejamkan matanya sejenak untuk menghentikan bayangan itu. Dia pasti sudah gila sekarang.
Namun, poin pentingnya, saat memikirkan hal itu membuatnya semakin yakin bahwa keputusannya untuk memilih Galaksi sebagai referensi demi menciptakan tokoh Rey adalah hal yang paling tepat. Jadi, Helena menatap lekat laki-laki di hadapannya itu. "Gal?"
Galaksi mengangkat wajahnya.
"Lo ... lagi jalan sama cewek nggak sekarang?"
Dan Helena sadar bahwa dia baru saja jatuh ke dalam lubang yang sedikit mengerikan ketika melihat Galaksi balas menatapnya. Beberapa detik kemudian, raut wajah laki-laki itu berubah. Dia mencondongkan tubuhnya dengan dua tangan yang bersidekap di meja, menatapnya lebih lekat, lalu menyeringai tipis.
"Eh hujannya udah agak reda nih." Suara Fadhil mengakhiri aksi saling tatap antara Galaksi dan Helena.
"Iya. Balik, yuk," ajak Gibran seraya bangkit dari sofa dan meraih tas punggungna tang tergeletak di karpet. Mereka sama sekali belum menyadari tentang apa yang terjadi di antara dua temannya.
"Jadi acara malam ini batal, ya?" tanya Jessy. Posisi kaki Jessy sudah tidak lagi menindih kaki Kai karena laki-laki itu sudah membereskan laptopnya. Mereka benar-benar sudah bersiap pulang. "Gue nih antara kasihan sama pengin ketawa juga deh baca chat-nya David."
"Kenapa?" tanya Helena. Dia memutar stool agar menyerong dan menatap Jessy.
"Ngomel-ngomel. Katanya jagungnya udah dia bakar sama keluarganya." Jessy tidak bisa menahan tawa juga akhirnya.
"Bilang David, jagungnya tetap gue bayar," ujar Galaksi membuat Helena menoleh, menatapnya. "Bilangin juga. Jangan ngambek." Dia terkekeh. Sadar diperhatikan, dia menatap Helena, lalu mengangkat alisnya.
Helena tidak menanggapi sebelum akhirnya mengalihkan kembali perhatian pada teman-temannya yang sudah bersiap pulang. Baru saja turun dari stool, Galaksi memegang pergelangan tangannya, menahannya pergi.
*
*
*
To be continued . . .