"Helen, mau gue anterin balik, nggak?" tanya Gibran lebih dulu menawarkan diri, karena dari arah kampus--atau apartemen Galaksi ini--arah rumah Helena dam Fadhil berlawanan, jadi mau tidak mau, Gibran memberikan tawaran itu. "Lo bawa jaket nggak? Soalnya kayaknya di luar--"
"Helen belum mau balik sekarang," ujar Galaksi tiba-tiba, padahal sebelumnya Helena tidak mengatakan apa-apa. "Kita masih ada urusan. Iya, kan?"
Helena hanya menatapnya heran.
Ucapan Galaksi membuat Fadhil dan Gibran saling tatap. Jessy bahkan sampai melongo, sepertinya dia akan tetap begitu seandainya Kai tidak menarik tangannya untuk menyadarkan. Memang akan terkesan aneh sekali. Jauh sebelum mengenal Nathan, Helena sudah menjauhi Galaksi. Dan ketika menjalin hubungan dengan Nathan, Galaksi adalah orang yang paling Helena jauhi.
Terlebih lagi, Nathan memang tidak menyukai Galaksi, jadi Helena merasa menjaga perasaannya.
Namun, semuanya berbalik sekarang. Helena membutuhkan Galaksi, untuk kebutuhan riset novelnya. Memang tidak ada yang tahu alasan itu, termasuk Galaksi sendiri--jangan sampai tahu, tapi Helena tidak akan menyembunyikan apa pun mengenai hubungannya dengan Galaksi ke depannya. Karena, sepertinya dampak trauma akibat backstreet-nya hubungan Jessy dan Kai dulu masih terasa, sehingga dia antara mereka diberlakukan peraturan untuk tidak menyembunyikan hubungan apa pun dan dengan siapa pun.
Kini semua tatapan mata di ruangan itu terarah pada pergelangan tangan Helena yang masih berada di genggaman tangan Galaksi, membuat Helena melepaskannya perlahan. "Iya. Lo pulang duluan aja, nanti gue--"
"Gue yang antar Helena balik," potong Galaksi.
Tidak ada yang menanggapi perkataan itu. Mereka hanya mengangguk-angguk dengan wajah yang terlihat kebingungan, lalu bergerak ke luar apartemen dengan suara pamit yang bersahut-sahutan pelan dan terdengar tidak jelas.
Tinggal mereka berdua di dalam ruangan itu setelah pintu apartemen tertutup. Helena berbalik, menatap Galaksi yang masih duduk bersidekap di meja bar. "Kita masih ada urusan?" Dia mengulang ucapan Galaksi.
Galaksi mengangguk pela. "Bahkan urusannya baru mau dimulai, kan?" Tangannya mempersilahkan Helena untuk kembali duduk.
Helena kembali duduk di hadapan Galaksi. "Oke," putusnya.
"Jadi?" lanjut Galaksi. "Bisa diulang pertanyaan lo barusan?"
Tidak ada waktu lagi untuk bernegosiasi dengan gengsi, jadi dia akan mengatakannya dengan gamblang. "Jadi, lo lagi dekat sama cewek nggak? Lo belum jawab."
Galaksi menggeleng, bahkan tanpa berpikir lebih dulu. "Nggak, Nggak ada."
"Mau jalan sama gue?" tawar Helena. Detik pertama Helena bahkan masih belum percaya bahwa dia mengatakan kalimat itu.
Galaksi terlihat menahan senyum. "Gini. Sebelum gue jawab mau atau nggak, gue boleh tahu dulu apa sebenarnya motif lo tiba-tiba berubah kayak gini?" Tatapannya berubah menyelidik. "Helen, gue masih ingat banget ketika lo bilang gue nggak jelas, brengsek dan sebagainya."
Helena ingat kata-kata yang ditujukan untuk Galaksi itu. Benar, dia berkata demikian, tapi tentu saja tidak langsung mengatakannya pada Galaksi saat itu. Dia mengungkapkannya pada Jessy, dan Jessy dengan berbaik hati menyampaikannya pada Galaksi. "Lo masih nggak terima?"
Galaksi menggeleng. "Nggak. Gue memang brengsek, kok."
"Oke, terus masalahnya?"
"Masalahnya," Galaksi semakin mencondongkan tubuhnya ke depan, "bukannya seharusnya lo jauhin cowok brengsek kayak gue?"
Jujur, Helena ingin langsung mengangguk. Dia menyetujui pernyataan itu. Laki-laki dengan kelabilan dan ketidakjelasan di atas rata-rata laki-laki normal seperti Galaksi memang seharusnya dijauhi. Namun, Si brengsek ini adalah pilihan yang tepat. Galaksi adalah kumpulan dari berbagai macam kebrengsekan laki-laki di muka bumi.
Dan Helena sangat membutuhkannya.
Helena ingat saat malam tahun baru beberapa waktu lalu. Saat itu Nathan masih bersikap wajar pada semua temannya, abhkan masih bersedia ketika Helena mengajak bergabung bersama teman-temannya. Namun, sejak malam itu semua berubah, saat Fadhil kembali mengusulkan permainan konyol Truth or Dare dan Galaksi menjadi salah satu yang mendapat hukuman.
"Truth," pilih Galaksi malam itu.
Fadhil bertanya tanpa sopan santun. "Siapa first kiss lo?"
Semua menunggu dengan tawa, mereka menganggap jawaban Galaksi akan konyol dan mengundang tawa lebih keras. Namun, apa yang terjadi?
Tanpa perlu berpikir, tidak lebih dari tiga detik, Galaksi menjawab, "Helena."
Suasana mendadak hening. Tawa sirna, kekehan perlahan surut. Keadaan seperti mencekik Helena.
Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Helena saat itu? Yang duduk di samping Nathan dan mendengar suara deru napasnya yang berat menahan amarah? Memang normalnya Nathan membenci Galaksi ketika saat itu dia benar-benar mencintai Helena, kan? Walau Nathan mencampakkan Helena pada akhirnya.
Yang Helena simpulkan saat itu, Galaksi tuh kelainan nggak, sih?
Dia obsesi menuntaskan kepuasannya ketika seorang perempuan menyukainya, bahkan kepuasannya bertambah ketika Si perempuan meninggalkan kekasihnya demi dirinya. Itu yang sering dia dengar dari orang lain.
"Oke, gue masih banyak wkatu untuk lihatin lo ngelamun kayak gitu," ujar Galaksi.
Helena mengerjap. Sejak tadi dia terlalu banyak berpikir sendirian. "Siapa pun bisa berubah pikiran, kan? Kapan aja," ujar Helena akhirnya. "Dulu gue anggap lo brengsek, sekarang ...,"
"Ya brengsek banget lah gila." batin Helena berbicara.
"Mungkin aja penilaian gue terhadap lo udah berubah," lanjutnya.
"Mungkin aja ...," Galaksi mengulangi ucapan yang menerjemahkan ketidakyakinan itu. "Helen, gini ya. Gue nggak pernah nerima cewek yang lagi patah hati."
"Oh, ya?"
Galaksi mengangguk. "Gue bukan obat. Gue bukan penyembuh luka."
Karena lo adalah salah satu yang berkontribusi untuk memberi luka.
"Jadi, seandainya lo mau jalan sama gue karena alasan ingin lupain Nathan, ingin nyembuhin patah hati lo, gue nggak bisa."
"Gue sama sekali nggak berpikir lo bakalan nolak gue kayak gini."
"Gue nggak nolak lo," senggah Galaksi. "Gue cuma nggak mau seandainya nanti gue cium lo, tiba-tiba--" Galaksi menggerakkan satu tangan di depan wajahnya, "lo mengganti wajah gue dengan wajah Nathan."
Helena ikut bersidekap, mencondongkan tubuhnya ke depan. "Bukannya itu tantangan yang menarik buat lo?" tanyanya. "Bikin gue nggak ingat wajah cowok (sialan) itu lagi." Helena menatap Galaksi dengan kepala meneleng. "Kasih gue rasa yang berbeda, sampai di mata gue dan kepala gue nggak ada wajah laki-laki selain wajah lo."
Helena sadar bahwa dia sudah masuk lebih dalam ke dalam lubang yang digalinya sendiri. Dia tidak tahu bisa keluar dari sana dengan mudah atau malah berakhir terkubur bersama sosok laki-laki di depannya itu. Selalu ada risiko dari pilihan yang diambil dan Helena sudah siap menghadapi apa pun yang terjadi.
"Helen, lo sadar kalau lo lagi berusaha masuk melewati batas zona berbahaya?" bisik Galaksi.
"Sebahaya apa memangnya?" tantang Helena. "Gue bahkan lupa rasanya Galaksi kayak gimana saking nggak ada yang membekas dari ciuman tiga tahun lalu." Helena tidak tahu ini akan terdengar menantang atau malah menjatuhkan harga dirinya sendiri.
Galaksi kembali memberikan seringaian tipis itu. Dia mencondongkan tubuhnya sampai jarak di antara keduanya hanya terpaut sekitar sepuluh sentimeter. "Oke. Gue akan mengenalkan lo dengan rasa Galaksi yang baru," ujarnya.
"Nggak usah buru-buru." Helena tiba-tiba gugup, bahkan tidak sempat menghela napas saat mengatakannya. Namun, Helena segera menyamarkan rasa gugupnya dengan senyum.
"Nggak perlu khawatir. Kuncinya ada di lo. Saat lo bilang siap, gue akan memulainya." Matanya menatap tangan Helena, lalu ujung jari telunjuknya mengait pelan kelingking Helena. "Tapi, setelah itu, apa pun yang terjadi, jangan salahin gue dan jangan minta untuk berhenti."
****