Kak Lexi:
Helena, kamu benar-benar udah baca referensi yang aku kasih?
Oke. Jangan jauh-jauh bahas masalah chemistry antar tokoh dan lain hal.
Masalah dasar dan utama yang aku temukan dari naskah kamu ini, tokoh kamu tuh kayak nggak nyata. Beda banget feel-ya sama tulisan kamu yang dulu. Sori, tapi aku harus jujur.
Helena, sebelum kamu mengenalkan tokoh utama yang kamu ciptakan ke pembaca, kamu harus mengenal dulu tokohmu sendiri.
Saranku, gini deh. Kamu bikin list tokoh-tokoh penting di naskahmu ini. Lalu bikin profil lengkap mereka secara detail. Ingat ya. Detail.
Atau, kamu bisa pilih salah satu visual orang sekitar yang bisa kamu jadikan referensi. Agar lebih mudah mendeskripsikan fisik, watak, karakter, kegiatan, kebiasaan, dan hal lain, yang nantinya bakalan memengaruhi konflik cerita kamu.
Kamu harus punya tokoh yang ketika dibaca, orang merasa tokoh kamu benar-benar ada di dunia nyata dan tergapai.
Kamu punya teman cowok? Atau pacar kamu aja deh. Biar lebih gampang. Coba perhatikan mereka.
Deretan pesan dari Lexi itu Helena terima semalam setelah dia mengirimkan draft pertama naskahnya. Dan pagi ini, dia kembali membacanya. Selama hampir satu pekan Helena berusaha kembali menulis. Namun, jujur, rasanya sulit sekali. Jauh lebih sulit dari yang dibayangkan.
Dan hasilnya, bisa dilihat dari begitu banyak komentar Lexi pada naskahnya.
Mungkin dia harus mencari suasana baru untuk menulis seperti yang sering dilakukannya dulu. Selain Blackbeand tentu saja, dia harus mencari atmosfer baru.
Namun, karena sekarang dia berada pada jeda waktu di antara mata kuliah pertama dan mata kuliah selanjutnya, dia terpaksa harus membaca kembali draft tulisannya di antara ramainya suasana kantin kampus.
Helena kembali menatap layar laptopnya yang terbuka, menekuri draft yang ... dia rasa begitu konyol. Oh, Tuhan. Apa yang dia pikirkan ketika memutuskan hal ini?
Setelah membaca pesan dan saran dari Lexi, Helena mencoba menuliskan beberapa nama yang terlintas di dalam kepalanya. Tentang teman laki-laki yang dirasa--dan dipaksakan--cocok untuk menjadi kandidat tokoh utama.
Ya ..., memang tidak ada yang cocok sih. Alasan pertama Helena memilih mereka hanya karena mereka single.
Kandidat pertama adalah Julian. Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional. Anggota HIMA di fakultasnya.
Kandidat kedua, Arjuna. Mahasiswa Sosiologi. Anggota UKM Korps Sukarela.
Kandidat ketiga, Gibran. Mahasiswa Farmasi. Anggota HIMA di fakultasnya.
Kandidat terakhir, yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan dan memang seharusnya tidak terpikirkan, tapi bisa-bisanya Helena tulis sebagai salah satu kandidat. Yaitu Fadhil. Mahasiswa Ilmu Komunikasi. Anggota UKM Basket.
Helena menatap nanar layar laptopnya saat membaca nama-nama yang sama sekali tidak menolong itu. Lalu, sebuah pesan singkat dari Lexi kembali muncul.
Kak Lexi:
Oh iya, Helen. Ingat ya. Tokoh Lea di cerita kamu nih harus digambarkan feminim banget, lemah, teraniaya, punya masalah internal yang berat di keluargaya, di-bully teman sekolah dan apa pun itu. Lalu, gambarkan Rey sebrengsek mungkin, playboy, dan sifat buruk lainnya, yang nantinya akan insyaf ketika ketemu sama Lea.
Intinya sih kayak gitu. Tapi kamu bisa tulis dengan gaya kamu yang nggak pasaran.
Pokoknya, sekarang tuh lagi laku yang kayak gini. Dan aku pengin mendapatkan cerita kayak gini versi kamu.
Lea dan Rey adalah dua nama tokoh utama dalam cerita yang Helena tulis. Helena mendengkus kencang membayangkan begitu banyak catatan yang dia dapatkan di revisi pertama. Dan untuk sosok Rey ... sungguh dari keempat kandidat yang ditulisnya, sama sekali tidak ada yang representatif.
Apakah terlalu dini untuk mencoret empat nama laki-laki itu?
"Helena?"
Suara itu refleks membuat Helena mendongak. Lalu, waktu seperti terhenti sesaat ketika tahu siapa yang kini berdiri di depannya.
"Kamu benar-benar menghilang dan menghindari aku selama satu minggu ini, Helena." Nathan, laki-laki itu berdiri di hadapannya dengan ekspresi yang terlihat ... marah? "Kamu putusin aku tanpa alasan, lalu menghilang tanpa menjelaskan apa-apa. Kamu sadar kan atas apa yang kamu lakukan? Kamu nggak takut kalau aku nggak akan--"
"Kamu nggak akan kembali?" Helena menarik suaranya yang berat untuk keluar. "Aku nggak takut. Bahkan itu yang paling aku inginkan sekarang." Helena masih berusaha tetap menatap laki-laki itu walaupun rasanya sangat enggan. "Kamu pergi, dan nggak usah kembali ke hadapan aku."
"Oh, udah merasa hebat kamu sekarang?" Nathan mendecih sinis. "Ikut aku." Dia menarik tangan Helena.
"Lepas, atau aku teriak?" Helena masih bergeming di tempat, Nathan tidak jadi menyeretnya, tapi tangannya masih mencengkram pergelangan tangan Helena. "Lepas," ujar Helena dingin. Marah menyerbu, membuat tubuhnya gemetar. Namun, dia benci saat air matanya ikut keluar.
"Kamu butuh waktu untuk berpikir?" tawar Nathan.
"Aku nggak akan berpikir dua kali untuk ninggalin kamu."
Nathan menyeringai. "Aku nggak tahu apa yang membuat kamu begini. Helena yang aku kenal adalah gadis penurut, bukan pembangkang yang menjengkelkan kayak gini." Laki-laki itu memberi tatapan penuh peringatan. "Ingat, Helena. Jangan menyesal, dan jangan pernah minta kembali."
Helena melihat kilat marah di mata laki-laki itu sebelum pergi. Lalu, saat melihat punggung itu menjauh, ada sesuatu kosong yang membuatnya kehilangan arah selama beberapa saat. Tubuhnya masih gemetar saat menyadari bahwa saat ini dia benar-benar kehilangan Nathan.
Namun, semua akan berlalu, kan? Semua akan baik-baik saja, Helena harus memercayai hal itu agar bisa tetap berdiri lalu berjalan lagi di jalan hidupnya, walau sendirian.
Beberapa saat Helena hanya terpekur, meratapi layar laptop yang mulai meredup, lalu berubah gelap.
"Helen!" Dari kejauhan, Helena melihat Jessy melambaikan tangan, lalu berlari ke arahnya. "Ih, gue cariin juga!" Dia duduk di sisi Helena, dengan sengaja menabrakkan lengannya sampai tubuh Helena sedikit terpelanting ke sisi lain.
"Kenapa?" Helena meraba-raba wajahnya saat Jessy menatapnya lekat.
"Lo habis nangis?"
"Hm?" Helena menggeleng. "Nggak."
Jessy meraih tangan Helena. "Lo baik-baik aja, kan?"
"Harus dong."
Jessy mengangguk. Saat tahu bahwa hubungan Helena dan Nathan berakhir, dia sangat terkejut. Berkali-kali dia bertanya, "Lo serus? Kenapa? Kok, bisa putus?" Namun, tentu saja Helena tidak akan menjelaskan alasan yang sebenarnya pada Jessy. Karena, Jessy tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Kai, atau bisa jadi dia keceplosan dan semua teman-temannya tahu, lalu membuat mereka berbondong-bondong menghajar Nathan.
Namun, aneh ya. Kenapa bisa Helena begitu memercayai Fadhil dalam hal ini?
"Heh!" Jessy kembali menyenggol lengan Helena. "Ngelamun!"
Helena tersenyum, menarik napas dalam-dalam untuk memulihkan kembali perasaannya. Berhasil, sekarang perasaannya menjadi jauh lebih baik. "Gue sadar, gue sama Nathan itu nggak cocok."
"Nggak cocok?" Jessy tampak terkejut. "Setelah satu tahun jalan, dan selama itu pula gue ngingetin lo tentang Nathan, lo baru sadar kalau lo sama Nathan nggak cocok sekarang?"
*
*
*
To be continued . . .