Ada ide gila yang hinggap dan belum keluar dari sisi kepalanya sampai detik ini--yang dia harap segera enyah, tapi tidak kunjung terjadi.
Yaitu, dia kan menjadi salah satu perempuan yang mendekati Galaksi untuk menyerahkan diri agar tahu bagaimana Galaksi benar-benar memperlakukan perempuan.
Bahkan untuk mendukung risetnya, dia sudah menuliskan beberapa hal yang harus dilakukan, yang poinnya mungkin akan bertambah lagi.
To do list :
1. Perhatikan saat Galaksi menatap perempuan.
2. Perhatikan saat Galaksi berbicara dengan perempuan.
3. Perhatikan saat Galaksi berada di dekat perempuan.
4. Perhatikan bagaimana Galaksi memperlakukan perempuan.
5. Perhatikan bagaimana Galaksi mencium perempuan. x
6. Cium Galaksi.
7. Perhatikan saat Galaksi menyentuh perempuan. x
8. Making out with Galaksi.
9. Gila kali gue.
Helena menutup notes yangs ejak tadi dibacanya, membolak-baliknya tanpa menghasilkan ide apa-apa sementara Lexi sudah menagih draft barunya semalam.
"Iya, Fan. Sama, di sini juga hujan deras banget," ujar Jessy, membuat Helena menoleh ke belakang. Jessy tengah duduk di sofa hitam, di salah satu sisinya, memepet Kai yang tengah memangku laptop seolah-olah di sisi lain tidak ada ruang padahal sofa hitam itu cukup panjang. "Galaksi belum datang, sih. Nanti gue kabarin kalau Galaksi udah datang ya. Oke, bye."
Mereka sedang berada di apartemen Galaksi, tapi sejak dulu ritualnya memang seperti ini, Galaksi menjadi orang terakhir yang datang di apartemennya sendiri. Kata Jessy, tadi Galaksi izin untuk memimpin rapat divisi di ruang BEM. Namun, Helena pikir sepertinya lebih dari itu ya, mengingat pukul tujuh malam begini dia belum juga pulang.
Jalan dulu sama cewek sih, kayaknya.
"Terus sampai kapan kita mau di sini?" Helena masih duduk bersila di atas karpet, hanya memutar posisi tubuhnya menjadi menghadap pada Jessy dan Kai.
"Kita tunggu aja Galaksi. Kalau mau tetap jalan ke rumah Julian, paling nebeng mobil dia," ujar Jessy. "Tapi kan percuma sebenarnya kalau kita sampai di rumah Julian pun, tetap nggak bisa ngapa-ngapain karena hujan. Barbeque di dalam rumah, ya kali."
"Iya, sih," sahut Kai, masih fokus pada layar laptop di pangkuannya--Oh, Helena salah ternyata posisinya tidak begitu. Jadi, posisinya, Jessy bersandar ke lengan sofa dengan kaki dua yang terulur, menindih kaki Kai yang tengah duduk bersila di sofa. Jadi, posisi laptop itu berada di atas pangkuan Jessy.
Helena memutar bola mata ketika sadar sejak tadi dia hanya dianggap sebagai ... jam dinding oleh keduanya? Atau lebih buruk dari itu.
Sebenarnya, tidak hanya ada mereka bertiga di sana. Ada juga Fadhil dan Gibran. Namun, dua laki-laki itu kini tengah berada di balkon apartemen, terlihat dari pintu kaca yang dibuka lebar-lebar. Gibran masih sibuk bermain game di ponselnya, sedangkan Fadhil tengah menelepon seseorang. Helena melirik jam dinding di atas televisi yang menempel di dinding yang sama. Sudah tiga puluh menit berlalu, tapi Fadhil belum kunjung mengakhiri teleponnya.
Ini adalah kali pertama Helena kembali bergabung untuk berkumpul dengan teman-temannya, tapi waktu seperti tidak merestui rencananya. "Ini hujan deras kayak gini jangan-jangan gara-gara gue ikut gabung," gumam Helena.
"Iya, gue juga mikir gitu sih tadi. Cuma nggak enak aja sama lo pas mau ngomong," sahut Jessy cuek yang disambut kekehan pelan Kai.
Helena menatap Jessy sinis, tapi Jessy tidak melihatnya karena masih sibuk menatap ponsel.
Dari kampus mereka sudah hendak berangkat ke rumah Julian. Jessy dibonceng oleh Kai, sedangkan Helena dibonceng oleh Gibran yang datang menjemput dari kampusnya--karena kampus mereka berbeda.
Lalu, hujan deras turun di tengah perjalanan, sehingga mereka memutuskan untuk berbelok ke arah lain dan menuju apartemen Galaksi, mengingat tempat itu paling aman dan dekat dengan kampus. Dan Fadhil menjadi orang terakhir yang menyusul dari kampusnya.
Dan beginilah akhirnya, mereka malah terjebak di sana sampai malam, membuat David sempat mendumal karena dia juga terjebak di rumah bersama jagung-jagung yang sudah dipesannya.
Gibran melangkah masuk, meninggalkan Fadhil yang masih sibuk menelpon di balkon. "Di luar dingin," ujarnya. Dia duduk di ujung sofa yang lain, hanya berpindah untuk tetap bermain game di ponselnya. "Mana dingin. Dengerin Fadhil nggak berhenti godain cewek pula."
Helena melirik ke arah balkon. "Udah gue duga, sih. Pasti nelpon cewek, soalnya lama banget teleponannya."
"Sebentar lagi bakal dapet traktiran kita." Gibran terkikik.
Jessy tertawa. "Asyik, nih."
Sudah lama tidak melihat Fadhil dekat dengan seorang perempuan setelah putus dengan pacarnya di kelas dua belas lalu. Alasan klasik mantan pacarnya waktu itu, 'Aku mau fokus belajar untuk SBMPTN'.
"Lah, Haidar udah di rumah aja," ujar Kai seraya mengecek ponselnya. "Sendirian dia."
"Suruh tidur aja," gumam Gibran. "Hujan nggak berhenti gini. Kalau berangkat pun, mau nyampe jam berapa kita?"
Helena kembali melirik ke arah balkon. Hujan masih deras, dan benar, dia tidak tahu sampai kapan akan berada di tempat itu.
Suasana kembali hening, hening yang tenang. Hanya Fadhil yang masih berceloteh sendirian di balkon sana. Gibran sudah kembali tenggelam dengan ponselnya. Sementara Kai dan Jessy hidup dalam dunia mereka berdua.
Di tengah suasana itu, terdengar seseorang menekan digit-digit password pintu dari arah luar, dan pintu apartemen pun terbuka, memunculkan sosok Galaksi. Laki-laki itu menjinjing tasnya yang terbungkus cover rain, sedangkan jaketnya yang dijinjing di tangan lain meneteskan titik-titik air. Dia kehujanan, tampak dari rambutnya yang basah, selembar kaus putih dan celana jeans kuyup yang dikenakannya.
"Gal-Gal, kita udah berapa jam di sini lo baru datang," protes Gibran.
"Lo pakai motor, Gal?" tanya Kai.
"Iya," sahut Galaksi.
Galaksi itu susah berubah untuk tidak datang telat saat ada acara berkumpul begini, ya? Jadi, semua menyambut kedatangannya dengan malas. Sementara itu, dia tetap berdiri di ambang pintu dengan wajah sedikit bingung sebelum akhirnya melempar tas ke atas meja bar begitu saja.
Saat tatapan Galaksi memendar, dia menemukan Helena yang juga tengah menatapnya. Tidak ada permintaan tolong sih, tapi Helena mengerti. "Mau gue ambilih handuk?"
"Eh, iya boleh. Handuk gue di kamar. Tolong."
Helena menunjuk dua pintu kamar yang tertutup.
"Yang itu." Galaksi menunjuk pintu kamar dekat balkon.
Helan berjalan ke arah pintu, dengan sedikit ragu membukanya.
"Masuk aja, nggak bahaya," ujar Galaksi saat menangkap gelagat Helena.
Helena meraih handuk yang ternyata tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Sambil berjalan keluar kamar, Helena berbicara, "jangan mentang-mentang tinggal sendirian lo bisa seenaknya nyimpen handuk basah di kasur gitu."
Galaksi menyengir. "Cie, ngomel."
*
*
*
To be continued . . .