Helena mengangguk. "Bodoh ya gue?"
Jessy menggeleng kencang. "Nggak! Nggak gitu!" Wajahnya cemberut. "Mau gue peluk?"
"Nggak, ih! Geli!"
"Ish." Setelah itu, wajah Jessy mendekat. "Lo nangis mulu ya, sampai mata panda begini?"
Helena mengibaskan poninya, lalu meraih cermin kecil dari dalam tas. "Nggaaak."
"Terus?"
"Gue tuh kebanyakan begadang akhir-akhir ini, mikirin naskah." Setelah menaruh kembali cerminnya, Helena menatap Jessy. "Gue mau balik nulis."
Mata Jessy membola. "Serius?" tanyanya, yang disambut anggukan Helena. "Gue bakal tetap jadi first reader lo, kan? Ya ampun, pasti berasa balik ke masa SMA deh baca naskah lo. Jadi kebayang lagi waktu gue PDKT dan jadian sembunyi-sembunyi sama Kai. Terus--"
"Gue nggak nulis teenfict lagi." Helena menghentikan Jessy yang sebentar lagi akan bernostalgia dan menghasilkan cerita panjang tentang kisahnya dan Kai. Jadi, untuk menghentikannya, Helena mengeluarkan sebuah novel pemberian Lexi dengan cover nakal itu dan menyerahkannya pada Jessy.
Detik berikutnya Jessy melongo. "Serius? Helen?"
Helena mengangguk. "Editor baru gue, nyuruh gue nulis genre baru."
Jessy menangkup mulutnya, tapi tak ayal tangannya membolak-balik novel dewasa pemberian Helena. "Gue boleh ikut baca nggak sih, ini?" Respons yang diluar dugaan.
"Ngapain?" Helena tergelak setelahnya.
"Ya, biar jadi makin dewasa aja." Jessy ikut tertawa. Namun, tawa mereka surut dan reda tiba-tiba saat menangkap sosok Kai berjalan mendekat bersama Galaksi di belakangnya.
Dua laki-laki itu berjalan ke arah bangku yang tengah Helena dan Jessy duduki. Lalu, benar, mereka tidak harus repot-repot mencari meja lain ketika mendapati ruang kosong di depan keduanya.
"Harusnya udah selesai dari siang ini sih, Gal. Kalau nunggu balik kuliah Hema, bakal kepepet banget waktunya." Kai tuh punya keahlian melakukan dua atau beberapa kegiatan sekaligus deh kayaknya. Contohnya saat ini, ketika tengah mengobrol dengan Galaksi, tangannya menggenggam tangan Jessy. Sementara Jessy cuek-cuek saja membolak-balik halaman novel pemberian Helena tadi dengan satu tangannya.
"Iya, sih," sahut Galaksi. "Gue koordinir anggota lain deh nanti." Lalu tangannya meraih ponsel dari saku celana. Dia membalas pesan sembari terys bicara. "Lagipula kan nggak ngarus juga ada Hema atau nggak, tinggal finishing doang. Besok jam delapan kan mulai seminar?"
Kai mengangguk.
Lalu, perhatian Galaksi beralih pada Helena dan Jessy. "Besok dateng dong ke aula. Ada seminar HIV AIDS yang diadain BEM," ujarnya. "Bilang aja, undangan khusus dari Galaksi--Eh, Helen Aqua, dong. Tolong."
Helena meraih botol Aqua yang masih tersegel di sisi meja, lalu menyerahkannya pada Galaksi. Sementara Jessy hanya bergumam tidak jelas dengan tatapan yang masih tertuju pada salah satu halaman novel.
Setelah itu, Helena melihat Galaksi kembali bicara pada Kai, dengan sesekali tangannya sibuk membalas pesan--yang lagi-lagi entah dari siapa. Namun, Helena bisa menerka pesan-pesan yang diterima laki-laki itu pasti dari perempuan, terlihat dari raut wajahnya yang berubah cerah ketika membaca dan membalasnya.
Dasar. Laki-laki nggak jekas. Galaksi ini punya banyak hubungan dengan beberapa perempuan sekaligus, atau justru dekat dengan banyak perempuan tanpa hubungan yang jelas, atau ... entah. Helena tidak terlalu tahu dan tidak ingin mencari tahu tentang hal itu. Pokoknya, tidak ada yang berubah dari seorang Galaksi dari pertama Helena kenal saat SMA.
Makanya jangan heran kalau dia sering menggoda Helena di grup chat, tapi tidak pernah Helena tanggapi apalagi sampai dibawa perasaan. Jangan sampai! Dia tuh kayaknya memang bersikap seperti itu pada setiap perempuan.
Helena masih memperhatikan Galaksi saat Galaksi masih berbicara pada Kai. Laki-laki itu meraih membuka segel botol air mineral dengan sekali putar, menenggaknya langsung sampai habis setengah kemasan. Dengan rambut yang sedikit berantakan, wajah lelah, jaket denim yang sedikit lusuh karena dipakai seharian, juga kaus putih polos yang dipakai di dalamnya, Galaksi tampak ... tetap menawan.
Dan sialnya, laki-laki itu sangat sadar dengan segala hal memukau di dalam dirinya tanpa perlu dilebih-lebihkan untuk membuat perempuan mana saja meliriknya dua kali.
Detik ketiga, Helena terhenyak sendiri. Lalu berpikir ... mungkin tidak apa-apa berdamai dengan masa lalu untuk memanfaatkan segala yang ada dalam diri laki-laki itu demi kebutuhan tulisannya. Dan, seolah-olah sadar tengah diperhatikan, Galaksi menoleh, menatap Helena, mengangkat dua alisnya, lalu tersenyum saat Helena meresponsnya dengan gelengan kepala.
Helena menyalakan kembali layar laptopnya. Empat nama kandidat yang telah tertulis sebelumnya dihapus dengan yakin. Lalu, menuliskan satu nama yang akan menjadi satu-satunya kandidat untuk referensi tokoh utama dalam ceritanya.
Galaksi Bimantara. Mahasiswa Ilmu teknik Sipil. Salah satu ketua divisi di BEM universitas.
****
Galaksi terbangun karena suara bising yang dia dengar di luar kamarnya. Setelah benar-benar sadar sepenuhnya, dia turun dari tempat tidur dan berjlan lunglai ke arah pintu keluar. Dia mendengus saat mendapati dua wanita yang dikenalnya tengah berada di pantri.
Bulan, kakak perempuan satu-satunya tengah duduk di stool sambil memainkan ponsel. Sementara Ibun, panggilan pada ibunya, wanita itu tengah sibuk di balik pintu lemari es yang terbuka.
"Selamat pagi. Berisik sekali pagiku ini," keluh Galaksi seraya berjalan ke arah kabinet kecil yang menggantung di pantri untuk meraih gelas, lalu mengisinya di water dispenser.
Kehadirannya membuat dua wanita itu menoleh. "Pagi? Jam sepuluh baru bangun kamu bilang pagi?" omel Ibun.
"Jam sepuluh itu masih masuk waktu pagi, Ibun," elak Galaksi.
"Ya ampun, bujang. Pasti senang banget ya kamu diizinin tinggal sendiri kayak gini karena bisa bangun pagi sesukanya?" Bulan, Si perfeksionis itu menatap Galaksi dengan sinis.
Setelah menenggak habis air minumnya, Galaksi menyahut pelan. "Senang, dong." Dia akan selalu menggunakan setiap celah untuk membuat kakaknya itu dongkol. "Nggak ngantor, Kak?" tanya Galaksi seraya mendekat ke arah ibunya. "Pagi, Ibunku." Dia mencium pelipis wanita yang masih sibuk di depan lemari es itu.
"Ngantor lah. Ini kan hari jumat," jawan Vita. "Ibun minta antar ke sini karena kamu nggak bisa dihubungi. Untung aku nggak ada meeting pagi ini." Bulan bekerja di perusahaan milik keluarga, yang dikelola oleh Handa-ayahnya. Namun, dia sama sekali tidak mentolelir jika ada yang mengganggu waktu kerjanya, sekalipun itu adalah Galaksi, adiknya sendiri.
Galaksi meneleng dan menatap ibunya. "Ya ampun, Ibun khawatir sama aku?"
"Tahunya, yang dihubungi masih tidur." Bulan meraih tasnya dari meja bar. "Aku bangunin kamu dari tadi tahu! Tapi nggak mempan banget padahal pintunya udah aku gedor-gedor."
"Galaksi nih kalau aja ada gempa sampai rumah mau roboh juga kayaknya nggak bakal bangun kalau lagi tidur," ujar Ibun.
Galaksi tergelak seraya memeluk ibunya dari samping, tapi yang selanjutnya dia dapatkan adalah sebuah pukulan di lengan. "Eh, mau berangkat, Kak? Mau aku antar?"
*
*
*
To be continued . . .