Helena mengangguk cepat. "Aku baik-baik aja."
Papa mengambil ponsel lepas dan kunci mobil, tapi matanya belum lepas menatap Helena. "Hari ini ke kampus?"
Helena menggeleng. "Nggak. Nggak ada kelas hari ini."
"Oh. Terus?" Papa menilik penampilan rapi Helena.
"Aku mau ketemu Kak Friska."
Papa mengernyit saat mendengar nama itu.
"Editorku dulu," jelas Helena. "Aku mau mulai menulis lagi."
Senyum Papa mengembang. "Oh, ya?" ujarnya terlihat takjub. Walau terlihat penasaran dengan keadaan Helena, beliau tidak bertanya. "Wah .. senang sekali Papa mendengarnya. Pokoknya Papa harus jadi orang pertama yang dengar premis cerita kamu nanti."
Helena tersenyum. "Oke."
Tangan Papa mengusap puncak kepala Helena sebelum pergi. "Mau berangkat bareng Papa?"
"Nggak usah. Ini masih terlalu pagi." Karena jam masih menunjukkan pukul delapan pagi.
"Oh. Dijemput Nathan?"
Roti gandum di tangan Helena yang siap digigit kini tertahan di depan bibir. Perlahan tangannya turun, menarus sisa roti ke piring. "Nggak." Hanya gumaman.
"Oh. Dia ada kelas pagi?" Papa menatap Helema sebelum benar-benar pergi. "Tumben nggak antar kamu?"
Helena mengalihkan tatapannya ke sembarang arah. Lalu memutuskan untuk menunduk saat berkata, "aku nggak tahu," ujarnya. "Kami udah putus."
****
Helena sudah duduk di sebuah ruangan dengan meja berbentuk elips yang lebar. Dia ingat terakhir kali duduk di ruangan itu, menghadap sekitar empat ribu eksemplar novel untuk ditandatangani dan dikirim ke pembaca yang sudah mengikuti pre order, yaitu sebelum novelnya resmi launching di beberapa toko buku offline.
Saat itu, rasanya dia melakukan semuanya dengan bahagia, tanpa ekspektasi apa-apa. Namun, setelah semua ketercapaian itu, menulis menjadi sangat berat. Seperti ada garis target untuk dilampaui, tekanan untuk lebih baik, desakan untuk terus menjadi apa yang diinginkan saat itu.
Helena nyaris menyerah, dan bertemu dengan Nathan membuatnya benar-benar menyerah, keluar dari dunianya yang menghimpit untuk hidup di dunia baru yang diciptakan laki-laki itu.
"Helena?"
Helena terkesiap saat mendengar suara Friska memanggilnya. "Ya?"
Di hadapannya kini tidak hanya Friska, tapi juga ada Lexi. Sebelum masuk ke ruangan, wanita berkacamata itu sempat memperkenalkan dirinya.
"Seperti yang aku bilang sebelumnya, bahwa aku sudah pindah menjadi editor non-fiksi, dan sekarang posisiku digantikan oleh Lexi," jelas Friska.
"Oke." Helena menyambutnya dengan senyum. Tidak masalah, di perkenalan pertama kali, Lexi tampak memiliki gaya yang santai seperti Friska, bahkan lebih santai dari itu.
Lexi tersenyum, mendorong pelan kacamata di tulang hidungnya yang tinggi. "Kita pasti bisa bekerjasama ke depannya dengan baik."
"Tentu," sahut Helena.
"Walaupun terbilang baru, Lexi ini sudah dipercaya untuk menangani banyak naskah. Selain sudah dipercaya menangani naskah-naskah dari penulis senior, Lexi juga ikut menangani naskah-naskah penulis baru karena punya ketajaman naluri yang keren untuk mem-filter naskah mana yang potesial," jelas Friska lagi. "Dan saat menunjukkan profil serta karya kamu sebelumnya, dia langsung bilang 'ya'."
Suatu kehormatan untuk Helena.
"Dan semalam, aku sudah forward draft naskah yang kamu kirim. Lexi sudah baca," lanjut Friska.
Lexi mengangguk. "Benar." Dia menatap sesaat layar laptopnya yang sejak tadi terbuka di depannya. "Aku sudah baca karya-karya kamu."
Helena merespons tanggapan Lexi dengan senyum.
"Dan ..." Lexi berdeham, lalu menggeser laptop ke sisi kanananya, dua tangannya ditaruh di meja sampai tubuhnya sedikit condong ke depan. "Begini, Helena ..." Dia menatap Helena dengan serius. "Kamu punya followers sebanyak tiga ratus ribu lebih di platform kepenulisan dan puluhan ribu mengikuti di Instagram. Mereka nge-hype kamu dulu, saat usia kalian sama-sama masih remaja--oke, kebanyakan di antara mereka anak SMP atau SMA mungkin?"
Helena mengangguk. "Iya, sekitaran itu."
"Dan sekarang, seiring dengan kamu yang tumbuh menjadi lebih dewasa, mereka juga mengikuti," ujar Lexi, Helena belum mengerti arah pembicaraan ini. "Bacaan mereka pasti berubah, dan itu berpengaruh pada pasar kamu nanti. Pasti kamu juga ikut berubah."
"Jadi?"
"Kamu bisa--dan kayaknya harus--beranjak dari teenfiction dengan romansa ringan, ke cerita yang romance-nya lebih kuat, lebih dalam."
"Aku belum punya pengalaman menulis novel romance yang ..." Kuat dan dalam seperti apa yang disebutkannya. Keempat karyanya sebelumnya adalah novel teenfiction yang memang diperuntukan untuk remaja.
"Justru itu, ini akan jadi pengalaman pertama kamu." Lexi tersenyum penuh arti. "Aku sudah baca karya-karya kamu sebelumnya, dan menurutku, kamu nggak akan kesulitan kok."
Helena dan Friska saling tatap sebelum akhirnya sama-sama mengalihkan perhatian pada Lexi.
"Oke. Aku sudah siapkan beberapa novel yang mesti kamu baca, sebagai ... apa ya, gambarang untuk kamu?" Lexi mendorong empat buah novel yang bertumpuk rapi di sisinya. "Dibaca, ya."
Helena menariknya lebih dekat, lalu melongo saat melihat cover novel pertama. Di cover itu, ada sepasang manusia berlawanan jenis tanpa pakaian dengan pose yang ... Begini, Si Laki-laki mencium leher si perempuan--yang memasang wajah penuh gairah.
"Lex, lo serius?" Protes Friska.
Lexi mengangguk, lalu menatap Helena. "Kamu udah sembilan belas tahun kan, Helena?"
Helena mendongak, menghentikan rasa terkejutnya dari cover novel-novel itu untuk mengangguk.
Lexi mengangkat dua bahu, seolah-olah idenya barusa adalah hal yang sangat wajar.
"Tapi," Friska menatap Helena khawatir. "Helena ini, gue kenal dia sejak dia masih SMA--"
"Dan sekarang lo harus terima bahwa penulis kesayangan lo ini sudah beranjak dewasa, Mbak." Lexk tersenyum meyakinkan. "Mbak, come on, lo ngelihat guenya kayak gitu banget. Seolah-olah gue ini berbahaya banget dan mau merusak Helena."
Helena masih menyaksikan perdebatan kecil di depannya sebelum akhirnya kembali terkejut dengan pertanyaan Lexi.
"Kamu pernah pacaran, kan?" Lexi kembali menatap Helena.
Helena mengangguk, walau ragu. Dia pernah pacaran, tapi baru putus dan lagi galau-galaunya. Tentu dia tidak menjelaskan hal itu.
"Nah, lebih mudah lagi kalau gitu. Percaya sama aku Helena, aku punya feeling yang bagus banget ke kamu."
"Kamu berhak menolak kok Helen, kalau nggak mau." Ucapan Friska mendapatkan lirikan gerah dari Lexi.
"Aku mau kok," jawab Helena.
"Serius?" Friska memastikan.
Helena mengangguk dengan yakin.
'Terima kasih," puji Lexi. "Segera umumkan ke pembaca kamu di semua sosial media kalau sebentar lagi kamu akan kembali. Dan untuk waktu kosong kemarin, kamu bisa beralasan bahwa kamu sedang berada di masa transisi di mana ... tulisan kamu nanti akan berubah menjadi lebih dewasa." Lexi membentuk tanda kutip di kata 'dewasa' dengan dua tangannya.
"Dewasa ..." Helena menggumam.
"Ya, dewasa." Lexi kembali menjelaskan. "Begini, kalau dulu kamu menukis kisah remaja dengan hubungan romansa ringan, sekarang kamu ditantang untuk menuliskan kisah cinta manusia dewasa dengan lebih intim."
Helena sedikit membelalak.
"Nggak sulit kok. Ingat-ingat saja saat kamu lagi berdua dengan pacar kamu." Lexi mengedipkan mata. "Seintim itu, dan jelaskan dengan lebih detail. Mungkin hanya itu tantangannya."
Mungkin hanya itu tantangannya. Tentu saja itu bukan sekedar 'hanya', tapi benar-benar tantangan. Karena, Helena tidak mungkin membayangkan Nathan lagi saat menulis adegan romance yang diinginkan Lexi. Tidak boleh.
****