Helena berjalan sendiri di lobi apartemen. Masih menimang-nimbang untuk tetap berjalan menjauh dari gedung itu atau berbalik saja dan meminta maaf pada Nathan atas penolakan yang diucapkannya tadi. Namun, langkahnya sudah terayun keluar, angin malam membuatnya mengangkat wajah dan menatap lampu-lampu taman di antara pohon-pohon cemara berjarak konstan di pelataran apartemen.
Helena mengeratkan genggamannya pada sling bag, seolah meyakinkan diri sendiri bahwa pilihannya untuk menolak ajakan Nathan adalah benar. Namun, saat laju langkahnya yang pelan menjauh lagi, sesuatu mengganggunya. Potongan-potongan bayangan perceraian orangtua menghentikan langkahnya, bayangan tangisnya yang sengaja ia bungkam sendiri dengan bantal saat malam hari membuatnya goyah lagi, bayangan sepi yang mengukungnya di rumah seharian membuatnya ragu untuk pergi.
Kesedihan itu, tangis itu, sepi itu, memenjarakannya semenjak perceraian kedua orangtuanya. Dan Nathan datang, lalu membebaskannya. Sedih itu pergi, tangis itu sirna, sepi itu terusir. Hidupnya penuh dengan segala hal tentang Nathan sampai lupa bahwa banyak hal menyedihkan pernah hinggap dan menyerangnya.
Nathan ... membuatnya tidak tampak menyedihkan lagi. Nathan tidak boleh pergi. Atau lebih tepatnya, dia tidak boleh membuat Nathan pergi.
Jadi, dengan satu tarikan napas yakin, Helena mengambil satu keputusan. Dia berjalan cepat menuju sebuah minimarket yang berada di samping lobi, langsung berdiri di meja kasir dan meraih alat kontrasepsi berupa karet latex itu dan membayarnya cepat.
Langkahnya terayun kembali menuju lantai enam, di mana laki-laki yang tadi ditolaknya tengah termangu dan membiarkannya pergi begitu saja. Helena tidak memperhatikan sekitar, tidak ingat ada berapa orang yang berdiri bersamanya di dalam elevator. Yang ia tahu, ada satu orang perempuan dan laki-laki yang keluar bersamaan dengannya di lantai yang sama.
Helena berjalan paling belakang, menyaksikan laki-laki itu berhenti di salah satu pintu dan masuk, menyisakan seorang perempuan yang berjalan di depannya. Helena ingat penampilan perempuan itu, rambut cokelat panjang yang dibiarkan terurai melewati bahu, mini dress merah dibalut outer yang sama panjang, lalu ... kaki jenjang yang mampu membuatnya iri setiap perempuan dalam seper sekian detik menatapnya.
Langkahnya akan terus terayun, melewati perempuan yang memiliki langkah tergesa itu, seandainya saja perempuan itu tidak berhenti di pintu nomor 067 dan mendapatkan sambutan lembut, "Hai, Sayang."
Helena terpaku. Jelas dia tidak akan salah ingat, pintu bernomor 067 adalah satu-satunya pintu yang dia kunjungi ketika menjejak gedung itu. Nathan, pria itu seharusnya berada di balik pintu itu denga kekecewaan mendalam karena Helena yang pergi begitu saja, bukan menyambut lembut perempuan lain yang mengunjungi kamarnya dengan sapaan 'Sayang'.
Alat kontrasepsi yang berada di dalam tasnya, yang dia ambil dengan yakin setelah menarik seluruh keyakinan yang tercecer, pasti tengah menertawakannya sekarang.
****
Helena menemukan sepasang bangku menghadap sebuah meja bundar di depan sebuah Indomaret Point. Ada beberapa kerumunan anak laki-laki berusia sekitar SMP atau SD, di beberapa meja lain, bising, penuh tawa dan obrolan tanpa henti bersama gadget yang tidak lepas dari genggaman mereka.
Helena tidak bisa berjalan lebih jauh, tidak bisa menemukan tempat yang lebih baik lagi untuk beristirahat setelah berjalan kaki beberapa ratus meter tanpa henti. Isi kepalanya bahkan lebih buruk lagi dalam bekerja, karena bisa-bisanya sosok Fadhil yang pertama terlintas dalam ingatan untuk diminta datang menemaninya saat ini.
"Jumpshot!" teriak salah seorang anak laki-laki sambil terus bergelut dengan gadget-nya.
Sejak tadi Helena mendnegar kalimat. "Haha. Knock anjir!" Atau, "Anjir sandwich!" Dan istilah-istilah lain yang sama sekali tidak dia mengerti.
Mungkin berselang tiga detik setelah melirik kebisingan anak-anak itu, sosok Fadhil muncul di balik pintu kaca Indomaret sambil menenteng sekantung belanjaan. Laki-laki itu menaruh bawaannya beserta kunci motor di atas meja sebelum menarik kursi dan duduk di hadapan Helena.
Tangannya sesaat merogoh kantung plastik, mengambil minuman kalengan dan membukanya sampai menghasilkan suara buih yang terbebas. "Bisa buka segel minuman sendiri, kan?" tanyanya sembari menyerahkan botol air mineral pada Helena. "Gue bukan Kai yang selalu ada buat bukain segel botol minum Jessy."
Helena meraih botol air itu, lalu melirik lagi pada sumber suara teriakkan di samping kanannya. Bocah-bocah itu lagi.
"Indomaret Point banget, nih?" tanya Fadhil seraya mengetuk-ngetuk meja, kembali menarik perhatian Helena padanya. "Jadi, gimana?" Bertolak belakang dengan ucapan sebelumnya, melihat Helena diam saja, Fadhil membukakan segel botol dan menaruhnya kembali begitu saja. "Minum dulu nggak?"
Helena mengeluarkan sekotak alat kontrasepsi yang sempat dibelinya, menaruhnya di atas meja.
Dan hal itu berhasil membuat Fadhil melongo tak percaya. "Helena ..."
"Belum," ujar Helena. "Belum gue pakai, kok." Helena mencoba meghapus pikiran buruk Fadhil terhadapnya.
"Lo mergokin dia selingkuh sebelum pakai ini?" Fadhil menunjuk benda sialan itu.
"Dia beneran selingkuh, ya?" Pertanyaan yang sebenarnya jatuh untuk dirinya sendiri.
"Apa?" Fadhil sampai mencodongkan tubuhnya ke depan. "Cewek. Malam-malam datang ke apartemen cowok. Disambut dengan kata sayang--"
Helena menatap Fadhil. Jika tidak langsung melihatnya dan mendengar dari orang lain seperti biasanya, Helena bisa berkata 'mungkin saja salah dengar, atau salah orang'. Namun, dia tahu betul tangan Nathan yang terulur dari dalam pintu menyambut lengan perempuan tadi sebelum menariknya masuk.
"Helen, tolong kali ini ... kalau lo nggak pinter, seenggaknya jangan goblok-goblok banget lah."
"Di kamar Nathan ada foto kami berdua, dia pasang di dinding dekat tempat tidur."
"Ya terus?" Fadhil masih terlihat kesal saat mendengar Helena masih terkesan denial. "Helen, kalau udah sang--e," Fadhil berdeham, mengganti dengan kata yang menurutnya lebih sopan. "Kalau udah nafsu, mana ingat ada gambar muka lo di kamarnya? Segede pintu sekali pun, Helen. Nggak keliatan. Blur muka lo."
"Tapi--"
"Gue pergi ya kalau masih tapi-tapi." Fadhil beranjak dari bangkunya sambil menunjuk wajah Helena, lalu dia mengernyit saat mendengar teriakan seorang bocah laki-laki di samping kanan yang disambut tawa temannya. "Ini kita nggak bisa pindah apa? Harus banget nongkrong bareng bocah-bocah FF di sini?"
Helena lega karena melihat Fadhil akhirnya kembali duduk.
"Helen, keputusan lo ada benarnya--Oh, nggak. Bukan maksud gue membenarkan sikap lo yang beli karet-karet sialan ini dan balik ke apartemen Nathan. Maksudnya, setidaknya dengan begitu lo bisa tahu kelakuan Nathan yang nggak pernah lo tahu selama ini."
"Terus?" Isi kepala Helena hanya segumpal agar-agar tidak berguna sekarang.
"Lo masih tanya, apa yang harus lo lakuin?" Fadhil menarik tisu kemasan dari kantung plastik belanjaannya, melemparnya ke meja. "Putus, Helen. Nggak apa-apa lo nangis. Ya memang normalnya lo nangis, lah! Mubazir ini udah gue beli anjir!"
****