Ilona kira, dirinya tidak bisa lapar.
Namun, ternyata pemikiran itu salah. Perutnya berbunyi kencang sejak tadi, terus berteriak ingin diisi oleh sesuatu yang lezat. Mungkin, sejak kemarin malam? Sejak perempuan itu memaksa untuk terus memakan daging alot nan hambar. Dan setelahnya, Ilona belum makan sama sekali.
Oke. Kecuali dengan satu potong daging yang sudah terlanjur masuk ke dalam mulutnya— tadi.
Ilona yang sejak tadi hanya berada di atas ranjangnya, mulai berusaha untuk keluar dari zona nyaman. Turun dari tempat yang empuk dan berjalan pelan menuju pintu.
Namun, pandangannya tidak sengaja menangkap sebuah benda di atas nakas. Berdekatan dengan nampan yang tadi Ramos kirim.
Begitu perempuan tersebut mendekat, dirinya baru menyadari. Ternyata hanya sebuah buku tua, yang tampaknya lama tidak terpakai.
Ilona terdiam dan berusaha berpikir keras. Meskipun akhir-akhir ini ingatannya sedikit … entahlah. Namun, tetap saja dirinya berusaha mengingat.
Sampai sebuah kesimpulan muncul di dalam otaknya. "Ah, ini yang kudapat dari … Dekcol …?"
Ingatannya samar-samar menunjukkan, bahwa terakhir kali membuka dirinya tidak bisa. Cover buku yang sangat kuat dan mustahil untuk dibuka.
Karena itulah Ilona hanya meraihnya saja. Menatap ke arah buku tua yang sama sekali tidak menarik baginya.
Tangan Ilona iseng untuk membuka.
Dan, itu berhasil? Sungguh? Kenapa membukanya sangat mudah sekali? Bahkan lebih mudah daripada membalikkan telapak tangan.
Rasanya … nyata? Ilona benar-benar bisa membuka bukunya. Tidak, lebih tepatnya membalikkan hardcover.
Tidak seperti pada umumnya. Ketika Ilona membuka cover, yang dirinya lihat adalah halaman penuh tulisan. Cerita langsung dimulai saat itu juga!
Tidak ada daftar isi, ucapan penulis, dan lain-lain.
Satu halaman telah Ilona baca. Jari-jemari perempuan itu bergetar, bahkan berkeringat dingin.
Tidak mungkin … ini adalah … cerita ini?
Ini terlalu sama persis. Ini sama persis seperti yang Ilona baca. Ya, halaman pertamanya sama.
Oh, rasanya ingatan Ilona pun kembali lagi. Meski hanya serpihannya.
Tunggu ….
Perempuan itu mengganti tujuannya. Dia memilih untuk kembali duduk di samping ranjang. Sepanjang waktu dirinya membaca buku itu. Ah, lama tidak pernah membaca cerita.
Sekalinya dibaca, hingga lupa waktu.
Dua jam lebih sudah berlalu. Namun, bacaan Ilona belum dirinya tuntaskan. Masih ada sedikit, lagi.
Mau bagaimanapun juga, Ilona perlu makan. Kedua matanya juga berkunang-kunang dan mulai mengantuk. Efek membaca buku terlalu lama, begitulah.
Dirinya memasukkan buku itu ke dalam laci nakas.
Wah, rasanya masih tidak dapat dipercaya.
Bagaimana bisa dan bagaimana caranya?
Jelas-jelas kemarin tidak bisa dibuka. Tapi, tadi— dengan sangat mudahnya dapat dibuka kapan saja.
Ilona menghembuskan napasnya. "Apa ada tambahan? Isi ceritanya menjadi lebih berat dan … bertambah?" Dirinya bernolog sendiri. "tapi, bukankah aku yang pemeran utama wanita masih bisa bersama dengan Ramos?"
Perempuan itu menjadi khawatir.
"Tunggu. Sekarang, semua ingatanku pulih?" Ilona menyadarinya.
Kepalanya tak lagi sakit. Tak ada pula ingatan yang hilang darinya. Semua terasa baru dan fresh. Ah, apa sejak kemarin dirinya hanya dipermainkan?
Ilona menggelengkan kepalanya. Setelah membaca buku selama dua jam lebih, dia jadi mengantuk. Kedua matanya sudah siap untuk tertidur kapan saja.
Jadi, seperti sebelumnya. Perempuan itu kembali tidur di ranjang. Belum pernah dia merasakan ranjang senyaman ini. Melupakan segalanya untuk sejenak.
Hanya sejenak.
Ilona tertidur lelap.
Tidurnya nyenyak. Membuat Ilona sendiri tak terasa. Begitu dirinya bangun, telah ada banyak dayang di dalam kamarnya ini. Mereka semua terlihat sibuk dengan diri masing-masing.
"A–apa ini?" Ilona bertanya pelan. Ia fokuskan terhadap dirinya sendiri. Karena sudah pasti para dayang tidak mendengarnya.
Begitu Ilona memposisikan diri menjadi duduk.
Semuanya diam. Para dayang menunjukkan pandangannya pada arah yang sama. Secara serentak mereka menanyai keadaan Ilona.
"Lady Barenice, apa Anda tidak apa-apa?"
"Apa ada yang tidak enak badan, Lady Barenice?"
"Bagaimana keadaan Anda sekarang, Lady?"
Wah, terlalu banyak. Semua pertanyaan itu langsung menimpanya secara serentak. Ilona yang baru bangun tidur ini, harus mencerna semua pertanyaan dan berusaha menjawabnya satu persatu.
"S–saya baik-baik saja," jawab Ilona.
"Namun, mengapa wajah Anda terlihat pucat, Lady?" Salah satu dayang itu kembali bertanya.
Ilona menggeleng. "Tidak. Ini biasa, karena baru bangun tidur. Tapi … kalian— mengapa tiba-tiba berada di sini?"
"Ah."
Tampaknya para dayang tersebut baru saja tersadar. Mereka— yang setelah dihitung ada lima orang, lantas memberikan salam hormatnya terlebih dahulu.
"Lord Ramos Frederick menyuruh kami agar memnersihkan kamar Lady dan membuatnya menjadi nyaman. Beliau juga mengatakan kepada kepala pelayan dapur untuk membuat makanan lain bagi Lady."
Jujur saja. Penjelasan dari dayang itu membuat Ilona tersentuh. Dirinya merasa tak sendiri. Dia dihargai dan begitu diperhatikan. Tak pernah menyangka bahwa Ramos benar-benar lelaki yang baik. Yah, mungkin karena memang Ramos merupakan tokoh utama pria.
"Oh, ya." Ilona menganggukkan kepala sebagai jawaban. "kalau begitu … teruskan saja," lanjutnya kemudian.
Selagi para dayang membersihkan kamar Ilona. Sementara perempuan itu memilih untuk keluar dan duduk pada sebuah kursi pada lorong kerajaan. Dengan membawa buku, tentunya.
Ilona belum menuntaskan bacaannya hingga akhir. Perempuan itu masih penasaran. Sehingga dirinya mulai kembali melanjutkan bacaannya.
"Apa yang kamu lakukan di tempatku?"
Ilona mendongakkan kepalanya. Suara yang terus membuatnya merasa terintimidasi. Terlebih penekanan di kata akhirnya, seolah menekankan dengan jelas bahwa tempat yang Ilona gunakan adalah 'tempatnya'.
Kaesar Killian. Putra Mahkota Kerajaan Luchifer. Lelaki itu memang memiliki pembawaan yang datar dan dingin. Dengan auranya yang kuat.
"Oh— saya … hanya membaca." Ilona menjawab.
"Di tempatku?" Kaesar menaikkan salah satu alisnya. Ah, sindirannya tajam sekali.
[Apa semua tempat yang kudatangi adalah miliknya? Sangat konyol!]
Namun, Ilona masih berusaha untuk tersenyum. "Saya tidak tahu bahwa ini tempat Anda, Putra Mahkota."
"Aku juga tidak tahu bahwa kau masih tetap di sini, setelah aku mengatakan ini 'tempatku'."
Bahkan tatapan Ramos ketika mengatakannya tidak berubah— sama sekali. Hampir membuat keberanian Ilona mengecil begitu saja.
Ilona tidak mau mengambil urusan menjadi lebih panjang. Dirinya mengalah dan memilih untuk pergi. Dengan perasaan kesal, tentu saja.
[Memang apa yang akan dia lakukan di lorong-lorong begitu? Apa dia sengaja? Huh! Aku bahkan belum menyelesaikan bacaanku.]
Akhirnya Ilona memilih untuk membaca di dalam dapur. Sedikit tidak masuk akal, memang.
Tapi, dia hanya di samping dapur. Tidak masuk begitu jauh. Karena di dekat dapur ini terdapat kursi yang rasanya nyaman. Jadi, Ilona menggunakannya untuk melanjutkan bacaan yang tadi tertunda.
Meski, dalam angan-angan Ilona sangat menginginkan dapat melanjutkan bacaan dengan meminum secangkir cokelat hangat. Juga cookies kering. Yah, itu terlalu tidak mungkin..
Tentu saja.
Entah itu dulu, maupun sekarang.