Chereads / Memanfaatkan Tokoh Pria / Chapter 43 - Peringatan Untuk Pulang

Chapter 43 - Peringatan Untuk Pulang

Makan siang berjalan secara lancar. Tidak ada daging hambar dan alot yang perlu Ilona makan. Itu sudah sangat baik.

Yah, meskipun harus mengakui bahwa Kaesar sedang ada satu meja makan dengannya. Duduk di kursi paling berbeda— di salah satu ujung meja.

Ilona tak sengaja menatap ke arah Ramos. Oh, dirinya baru menyadari kedatangan lelaki itu. Sungguh. Tidak, sepertinya Ramos memang sudah sejak tadi berada di meja makan ini. Bahkan memulai makan siang bersama-sama.

"Apa?" Ramos bertanya. Menyadari adanya tatapan yang sepertinya tidak sopan. Seseorang melihat putra Duke Ferdinand yang baru saja menyelesaikan makan siang. Terdengar tidak sopan, terutama jika yang melakukannya hanyalah seorang putri count biasa. Count Barenice bahkan tidak terkenal hingga Kerajaan Luchifer.

Tunggu, mengapa malah merembat ke mana-mana?

Yang Ilona ketahui saat ini, adalah ketika beberapa perhatian malah memusatkan pada Ilona.

Tidak terlalu banyak, sih. Maksudnya, yah semuanya. Tapi anggota yang makan di sini tidak banyak. Sekitar … lima orang? Termasuk dirinya sendiri.

Berusaha menghalau rasa gugup, Ilona menggelengkan kepala. Secara kikuk. "Maaf."

Dan itu adalah kesalahan. Karena setelahnya, Ilona dapat melihat Ramos yang samar-samar tersenyum. Tampaknya terhibur dan geli akan perilaku Ilona.

Okay. Dirinya hanya bahan mainan ternyata. Sehingga perempuan itu kembali menundukkan kepala. Hanya memfokuskan tatapannya pada alat makan yang telah kosong.

Seperti biasa, menunggu Kaesar yang merupakan putra mahkota kerajaan bangkit terlebih dahulu. Setelahnya disusul yang lain. Kemudian Ilona di paling akhir.

Dia yang paling rendah pangkatnya di sini, mungkin.

"Hei." Suara membisiki di telinga Ilona. Ketika menoleh, ternyata adalah Ramos.

"Apa?" tanyanya tidak suka.

Ramos mengerutkan keningnya. Ah, perempuan dengan gaun di depannya ini— ternyata masih kesal dengan yang tadi.

"Besok kita akan pulang."

Hebat. Kalimat yang Ramos keluarkan itu sungguh membuat Ilona kalang kabut. Entah mengapa.

"Urusanku di sini sudah selesai," lanjut Ramos.

Ilona tidak menyukai perkataan itu, dalam hatinya. Ia tahu suatu saat pasti akan pergi dari kerajaan yang luar biasa menawan ini. Tapi, ketika dikatakan 'besok', itu rasanya terlalu berat.

Sampai-sampai Ilona memberanikan diri menatap tepat ke arah kedua kata indah Ramos. Ini kali pertama keduanya saling menatap, dan melihat pantulan diri masing-masing pada pasang bola mata yang berlawanan.

"Kita?" Ilona mengulangi kata yang sempat Ramos katakan, pada kalimat pertama tadi.

Lelaki di hadapannya mengangguk. "Ya, kita. Kau mau aku terus berada di sini dan kau pulang sendiri?"

Ilona mengerjai sekali. "Itu kebalik," ucapnya dingin.

"Apa—" Sebelum Ramos melanjutkan kalimatnya, lelaki itu langsung tersadar dengan yang Ilona maksud. Dia bungkam. Sepertinya kehilangan kata-kata.

"Kau mengatakan 'pulang'. Dan … aku tidak tahu harus pulang ke mana." Suara Ilona berubah sedih, alunannya melambat. Sepasang mata itu perlahan mulai turun. Menatap ke lantai marmer putih seolah sedang meratapi sesuatu.

"Apa terlalu berbahaya berada di kediaman Barenice?" tanya Ramos.

Ilona masih menatap lantai seraya mengangguk. "Yah … kau pasti tahu mengenai latar belakangku. Kau kan, memiliki banyak semacam tentara."

"Semacam tentara?" Ramos bingung. Tapi, Ilona sama sekali tidak menjawabnya. Hingga lelaki itu memilih untuk kembali terdiam. Kata yang lain seolah kembali ke dalam pikiran. Yah, benar. Seharusnya Ramos sudah tahu akan hal ini. Mengapa dia masih terus menanyainya?

Ramos bahkan memerintahkan tangan kanannya, untuk mencari tahu.

Ilona, seorang putri kandung Count Barenice yang lebih mirip ditelantarkan di kediamannya sendiri. Yah, lebih tepatnya setelah kepergian Countes Barenice. Lalu datang seorang wanita dengan tiga anak perempuannya.

Kabarnya, mereka selalu mengabaikan dan memberikan tugas pada Ilona. Layaknya seorang dayang rumah. Terlebih, dikatakan bahwa Count sangat pelit sehingga irit untuk menyewa dayang.

Putri kandung Count Barenice yang tampaknya tidak begitu dianggap. Kisah menyedihkan, tentunya.

"Aku bisa membuat seluruh keluargamu ketakutan. Lalu memperlakukanmu seperti orang normal." Ramos berucap kemudian. "bukankah Count memiliki bisnis ilegal?"

Ilona lantas mendongak. Perkataan dari Ramos barusan— ternyata menarik perhatiannya. Bagus sekali.

"Kapan kau tahu?" tanya Ilona.

"Sudah lama. Sejak mengenalmu pertama kali di pesta ulang tahun Putri Ivone," jawab Ramos. "aku belum menangkap ayahmu, karena takut kau akan sakit hati. Jadi, hanya mengabaikannya saja."

"Kau yang sangat tertib dan patuh hukum ini … melakukannya?" Ilona tahu apa alasan dari Ramos. Tapi, tetap saja menyenangkan saat melihat lelaki itu langsung mengalihkan topik pembicaraan.

"Lupakan. Jadinya, bagaimana?"

"Serius aku harus pulang? Maksudku, di sini … yah … jauh lebih nyaman dan aman bagiku," ungkap Ilona. Meski dalam hati, dirinya kini mulai serakah. Hidup di kerajaan yang jauh lebih besar tanpa harus lagi memikul pekerjaan rumah yang berat.

Meski Ramos mengatakan akan membuat keluarganya takut, tetapi itu tidak ada gunanya. Pasti sekali atau dua kali, ibu tiri atau ayahnya Ilona akan menatapnya tajam. Keduanya bukan tipe orang yang mudah menyerah. Lagipula, bagaimana pun juga— dalam segi apapun, Kerajaan Luchifer lebih baik. Itu jelas.

"Kau ingin terus berada di sini?" Sepertinya lelaki itu mulai mengerti. Tapi, kemudian dia mengatakan kalimat yang tepat. "tinggal di sini jauh tidak aman. Kau tahu, ada Putra Mahkota, Kaesar."

[Oh, ya. Benar juga.]

Seolah Ilona tersadar. Bahkan dalam novel barunya pun, latar belakang Ramos sangat kelam. Suatu saat, lelaki itu dapat menjadi lebih bengis dari sekarang.

Ilona berusaha menahan takut saat mengingatnya. Alur novel itu terbayang dan berputar-putar pelan di atas kepalanya.

Ilona mengangguk. "Baiklah. Bisakah kau memberikan waktu? Oh, mungkin hingga besok pagi?" Katakan bahwa Ilona mengambil keputusan begitu cepat. "sepertinya aku akan berpikir di dalam kamarku," lanjutnya kemudian.

Ramos tentu saja mengangguk. Meski lelaki itu seorang bangsawan ternama, tetapi hatinya tetaplah baik. Sangat baik dan lembut. Meski kedua matanya mulai memicing pelan, saat mendengar kata 'kamarku.'

Ramos menghembuskan napas. Ternyata, bahkan Ilona sudah merasa nyaman dengan kamarnya di sini.

"Istirahatlah," ucap Ramos.

Ilona mengangguk. "Terima kasih, Ramos." Dirinya memberikan salam yang menawan.

"Aku suka panggilan itu," celetuk Ramos.

"Heun?" Sedikit sulit bagi Ilona mencernanya. "Apa maksudnya? Bukankah, namamu memang 'Ramos'"

"Ya. Nama itu jadi terdengar spesial untukku saat keluar dari bibirmu." Lelaki itu tersenyum simpul.

Oh, ayolah. Meski Ilona memungkirinya, tetapi putra Duke satu ini benar-benar tampan dan mempesona. Terlebih sikapnya yang lembut dan … ramah. Meski awalnya, dia terlihat menakutkan saat di balkon kala itu.

Seharusnya Ilona tidak berubah menjadi egois. Hidup dengan Ramos, yang memang tokoh utama pria bisa saja menjadi hal yang luar biasa. Namun, tampaknya dari Ramos, ada yang jauh lebih luar biasa.