Chereads / Memanfaatkan Tokoh Pria / Chapter 48 - Urusan dengan Jeanne

Chapter 48 - Urusan dengan Jeanne

Nyatanya, senyuman miris yang Ilona perlihatkan … sangat menakutkan. Hanya senyum itu yang dapat membuat seseorang merasa terintimidasi.

Ilona menyukainya.

"Haruskah aku mengirim pesan pada Ramos?" Ia berpikir. Tidak mungkin bukan selamanya hanya akan berada di sini? Itu bahkan menakutkan meski hanya dipikirkan.

Di benak kecilnya, Ilona sangat ingin kembali ke kerajaan. Entah mengapa, tetapi bangunan termewah yang pernah dilihatnya sudah sangat menarik perhatian. Sejak pertama kali.

[Bagaimana jika aku … benar-benar menjadi tokoh utama dalam cerita ini?]

Senyuman di wajahnya lantas merekah. Indah, pemikiran yang sangat indah.

Ilona adalah tokoh utama dalam cerita ini. Jadi, mengapa tidak?

Ia … harus bertindak layaknya tokoh utama. Seseorang penting yang menjadi poros pokok inti cerita. Happy ending akan dimilikinya. Itu sesuai dengan peran Ilona, bukan?

Itulah tujuan Ilona berada di sini.

"Mungkin saja, Ilona pemilik tubuh ini jauh lebih egois, dibandingkan denganku."

Perempuan itu membuka laci meja rias. Terdapat sebuah belati, buku yang pastinya dari toko tua misterius, serta beberapa stok masker wajah. Hanya sedikit.

Sejak kedatangannya di dunia baru ini, Ilona sangat tertarik akan yang berhubungan dengan kecantikan. Dia memiliki hampir semuanya di sini. Bahan-bahan berkualitas yang masih segar. Ia dapat membuat banyak perawatan kecantikan dengan itu semua.

Rutin memakainya. Bahkan meski wajah ini sangatlah cantik dan terawat, Ilona ingin membuatnya jauh lebih baik. Karena dirinya tahu, bahwa kunci happy ending juga termasuk wajahnya.

Tokoh pria menyukai tokoh wanita, karena cantik.

Beberapa kertas terselip di laci, juga dengan sebuah tinta dan penanya.

Keraguan menguasai saat ia hendak meraihnya.

"Akan sangat tidak sopan jika aku langsung mengirim pesan pada Ramos. Padahal, baru beberapa hari sejak ia mengantarku ke sini." Ilona menghembuskan napas seraya mendorong laci hingga tertutup. "terlebih, ada beberapa hal pula yang harus kulakukan, di sini," lanjutnya dengan nada mantap.

Jeanne. Dia yang paling dewasa di kediaman ini, Ilona yakin itu. Sifat Jeanne dan pemikirannya dapat melampaui ibu tiri atau Tuan Count.

Jadi jika ingin berbicara mengenai sesuatu, ia lah tempat yang tepat.

Selang beberapa hari, semuanya berjalan seperti biasa. Di mata orang-orang akan normal, tetapi kebaikan seluruh dayang dan anggota keluarga ini membuat Ilona merasa tidak normal.

Tidak ada kericuhan dan perselisihan sama sekali. Semuanya begitu baik, tenang, tentram. Meski beberapa kali Ilona disirihkan oleh Tuan Count yang berbicara paniang lebar.

Tuan Count tak henti-hentinya menjilat. Ia bahkan ingin agar Tuan Duke Frederick memiliki waktu, dan ia dapat menemuinya. Ya, biasa. Untuk penyelesaian agar kekayaannya semakin melimpah.

Padahal dari bisnis ilegal-nya pun, Tuan Count juga memiliki penghasilan cukup. Jika hanya untuk sedikit berfoya-foya, makan, dan membayar pekerja di kediaman yang jumlahnya sedikit. Itu sudah cukup.

Sayangnya, pria tua itu sama sekali tak merasa cukup. Dia sungguh egois. Ia menginginkan lebih dan lebih, tanpa henti. Entah ingin jadi sekaya apa agar dirinya puas.

Sementara ibu tiri. Dia akhir-akhir ini terlihat begitu hati-hati. Entah itu tingkah laku maupun tatapannya. Menjadi lebih pendiam, dan hanya melemparkan senyum ke arah Ilona— secara terpaksa.

Lalu ketiga saudari tiri, oh, entahlah dengan apa yang mereka lakukan. Hanya seperti biasanya. Namun, jauh lebih hati-hati sama halnya dengan ibu mereka.

"Nona, Anda ingin kemana?" Audrey lah yang bersuara hingga langkah Ilona terpaksa berhenti.

Ia menolehkan kepala. Tidak sadar bahwa sejak tadi dayang setianya itu memang mengikuti.

Senyum Ilona perlihatkan. Entah sudah sebanyak apa ia memberikan senyuman. Berusaha menjadi seorang 'Ilona' itu sangatlah menyebalkan!

"Aku akan ke kamar Kak Jeanne," ucap Ilona.

Audrey setengah terkejut. Hubungan Ilona dan saudari-saudari tirinya begitu buruk. Jadi, bukankah wajar bahwa jawaban Ilona membuat dirinya kaget.

"Tapi, Nona. U–untuk apa …?" Raut wajah khawatir Audrey telah menjelaskan semua perasaannya. Oh, lucu sekali.

"Bukankah—"

"Sttt …." Ilona mendaratkan telunjuk jarinya di bibir Audrey.

Dayang itu tambah terkejut bukan main. Tubuhnya sama sekali tak bisa bergerak. Ia hanya dapat berinteraksi melalui kedua matanya.

Ilona tersennyum. "Tidak apa. Kau jangan selalu khawatir padaku, Audrey." Ia menarik kembali jari telunjuknya. Yeah, memberikan akses bagi dayang itu untuk menarik oksigen sebanyak banyaknya.

Oh. Apakah sebegitu berpengaruh telunjuk Ilona pada bibir Audrey? Yeah, perempuan di depannya itu seorang dayang. Sudah pasti memperlihatkan respon tak terduga seperti itu.

"Oh, yeah … tidak apa. Hanya aku ingin berbicara sebentar dengan Kak Jeanne," lanjut Ilona.

Audrey secepat kilat menganggukkan kepalanya berulang kali. "Tentu, Nona. Tentu. Apakah saya menunggu di sini?" tanyanya.

Ilona menoleh ke kanan. Nyatanya ia sudah berada tepat di depan pintu kamar Jeanne.

Anggukan diberikan. "Ya. Kau tunggulah di sini. Aku akan masuk."

Setelah Audrey mengangguki, Ilona langsung mengetuk pintu.

Tak berselang lama pintu itu terbuka. Menampilkan sesososk Jeanne yang tak dipungkiri akan kecantikannya. Ia anggun dengan rambut merah bergelombang itu. Terlihat dewasa serta bijaksana. Gaunnya tak begitu mewah, terapi Ilona akui bahwa Jeanne memang seperti seorang bangsawan. Padahal berasal dari rakyat bawah.

Jeanne memiliki ciri khas serta aura tersendiri.

Wajahnya terlihat tidak suka saat mengetahui bahwa kedatangan Ilona yang dibukanya. Ia menatap dengan pandangan yang sulit diartikan. Meski begitu, Jeanne memaksakan segaris senyumnya.

[Wah, apa sebegitu bencinya semua orang di kediaman ini padaku? Lihatlah, siapa yang tersiksa dan salah, dan siapa yang menganggap itu berbalik.]

Ilona tak habis pikir dengan segalanya. Semua orang di sini seolah menganggap Ilona sebagai ancaman. Padahal, hei! Mereka duluan yang menyiksa Ilona, memperlakukan Ilona layaknya salah satu dari seorang pekerja di rumah ini.

Sungguh, Ilona membencinya. Sampai-sampai ia tidak berniat untuk membalas senyuman paksa yang Jeanne berikan.

Wajah Ilona datar tanpa disadari. Salah satu alisnya terangkat kecil, seolah ingin tahu apa yang seharusnya Jeanne katakan.

Perempuan yang jauh lebih tua di hadapannya itu tertohok. Ia menghembuskan napas. "Ada apa Ilona? Mengapa kau kemari?"

Ilona tahu. Basa basi itu sungguh terlalu dipaksakan.

"Sedikit pembicaraan. Bolehkah aku masuk ke kamarmu, Kak Jeanne?"

Jeanne menatap Ilona lama sampai akhirnya menganggukkan kepala. Ia malas melakukannya, tetapi apa yang bisa ia lakukan. Semuanya saat ini sangat takut pada Ilona.

Ilona memiliki segalanya yang dapat membuat rumah hancur dalam sekejap. Bakingan dari Ramos Frederick, dan Putra Mahkota yang dikabarkan cukup dekat dengan Ilona.

Mana mungkin Jeanne berani macam-macam.

"Baiklah. Masuk, Ilona." Jeanne segera menyingkir guna memberikan akses bagi Ilona masuk.

"Pintu … dibuka atau ditutup?" Jeanne bertanya.

Ilona yang sudah masuk ke kamar saudari tirinya itu membalikkan badan. "Biarkan pintu terbuka saja, Kak Jeanne."