Sarapan bersama keluarga. Itu terdengar begitu hangat di telinga. Kehadiran Ilona yang langsung disambut Tuan Count begitu memasuki ruang makan. Ilona mendapatkan kursi di sebelah Tuan Count, di sisinya. Dan ibu tiri sudah duduk tepat di hadapan Ilona. Selalu menampakkan senyumannya yang palsu.
Melirik-lirik ke arah samping juga depannya. Tiga saudari itu menampakkan ekspresi hangat. Dan, Ilona tahu bahwa semua itu kepalsuan. Semuanya, termasuk dengan Tuan Count sendiri.
Ilona menghembuskan napas pelan saat seorang dayang menyiapkan makanan di piringnya. Semuanya memuakkan bagi Ilona. Semua kepalsuan yang diaslikan. Sungguh menjijikkan.
Sarapan pagi yang hangat? Ilona lebih suka menyebutnya sebagai perang dingin.
Tak ada yang spesial. Meski Tuan Count, ibu tiri, bahkan saudari-saudarinya terus berceloteh ria membicarakan hal-hal baik mengenai Ilona. Tapi itu semua tidak berguna.
"Wah, dan kau tahu, Ilona? Ibumu sampai tak makan berhari-hari. Begitupula denganku. Rumah ini terasa sepi." Begitulah akhir dari kebohongan yang Tuan Count ucapkan. Diimbuhi dengan ibu tiri yang mengangguk dan tersenyum.
Ilona mengangkat wajahnya yang sejak tadi berusaha menunduk. Semua orang sedang menunggu kalimat Ilona, seolah ingin agar perempuan itu merasa dirinya begitu dicintai keluarga ini. Kemudian … pandangan Ramos Frederick juga akan berubah.
Ujung bibir Ilona terangkat. Membentuk senyuman tipis. "Ayah, bukankah lebih baik kita fokus makan? Saya rasa, itu akan lebih baik untuk pencernaan masing-masing. Pun, saya lihat ibu semakin sehat ketika saya pergi."
"A–ah … Ilona—" Perkataan ibu tiri terpotong oleh Tuan Count.
"Baiklah. Sepertinya ucapan putriku benar."
Ilona tersenyum kecut. Putriku? Kata itu membuatnya semakin geli.
Setelah sarapan berakhir, perasaan geli itu masih ada. Ilona hampir muntah, sungguh. [Bisa-bisanya tokoh utama memiliki keluarga seperti mereka.]
Itulah yang Ilona katakan pada dirinya sendiri.
Langkah perempuan itu berhenti saat ibu tiri sudah ada di depannya. Tersenyum dengan tatapan dilembutkan. "Oh, Ilona sayang …. Kemarilah. Ayo, ibu akan mengajakmu ke toko pakaian yang akhir-akhir ini ramai. Bersama para saudari-saudarinu pula."
Kalimatnya sangat manis di telinga orang-orang. Tapi, terdengar begitu pahit untuk Ilona. Ia menoleh, senyuman tipisnya langsung menghilang begitu saja.
[Ah, ternyata ibu tiri mengatakan di tempat yang tepat. Di dekat Tuan Count yang duduk di sofa.]
Ibu tiri sungguh cerdas. Dia mengajak Ilona ke toko pakaian, dengan suara dilebihkan agar Tuan Count mendengarnya. Pria tua itu pasti akan memuji istrinya.
Tak hanya mendapatkan pujian dari Tuan Count. Ibu tiri juga bisa membawa putri-putrinya untuk belanja pakaian nanti.
Sayangnya, Ilona jauh lebih pintar.
"Tapi saya baru saja pulang dari perjalanan jauh. Sepertinya tidak bisa, Ibu. Saya juga tak terlalu tertarik dengan pakaian," ucap Ilona sendu.
"Yak! Kenapa kalian malah mengajaknya keluar-keluar? Ilona pasti lelah, jangan mengganggunya." Tuan Count sudah berdiri dan mendekat ke arah kerumunan yang terjadi. Wajahnya yang berkeriput mengintimidasi ibu tiri.
"S–sayang … bukan begitu." Ibu tiri berusaha membujuk.
Tapi, Tuan Count sudah lelah. "Sudahlah. Lebih baik kau dan putri-putri mu yang keluar dan membelikan pakaian untuk Ilona. Ambil sendiri uangnya di kamar, terserahmu."
Ilona hampir membelalakkan kedua matanya. [Tidak, jangan.]
Itu menjadi kesempatan bagi ibu tiri dan putri-putrinya. Mereka akan menghabiskan uang untuk membeli pakaian mereka pula. Hanya memikirkannya saja, membuat hati Ilona berkedut tak suka.
Terlebih saat ibu tiri membuat raut wajah sedih dan terpaksa. Itu membuktikan hampir semuanya.
"Baiklah."
Sebelum Tuan Count menganggukkan kepalanya, Ilona lebih dulu menyela. "Ayah, tetapi, saya tidak bisa memberatkan ibu dan saudari-saudari hanya untuk membelikan pakaian saya."
Ibu tiri tersenyum lembut. Menjengkelkan. "Tidak apa-apa, Ilona. Jangan khawatir."
"Ya, itu tidak masalah." Tuan Count mendukung.
Ilona menghembuskan napas. "Ayah, tetapi Ramos— maksud saya, Putra Duke Frederick telah membelikan banyak pakaian dan perhiasan. Jika saya membeli pakaian lagi, beliau akan merasa sangat sedih. Dan kita akan … dianggap tidak menghormati pemberian putra duke," ujarnya.
Ibu tiri tersentak. Kedua tangannya mengepal kuat atas perilaku Ilona yang menghentikan niatnya. Namun, Tuan Count jauh lebih terkejut.
"Oh, iya! Benar itu, benar!" Salah satu telapak tangannya menyentuh kepala. "Ilona, terimakasih. Aku bersyukur kau mengingatkanku," ungkapnya.
Ilona tersenyum. "Sama-sama, Ayah." Kemudian diberikannya salam anggunnya. "Kalau begitu, saya permisi untuk masuk ke dalam kamar."
Tuan Count mengangguk. Sebuah lampu hijau bagi Ilona untuk langsung berjalan meninggalkan ibu tiri yang sudah siap menerima kemarahan Tuan Count.
Di kamarnya, Ilona langsung menutup pintu. Menghembuskan napas kasar seraya mengusap wajahnya.
Ia berjalan menuju meja rias. Duduk di kursi yang menghadap ke arah kaca berukuran sedang itu. Memantulkan bagaimana perawakan sang tokoh utama yang luar biasa cantik.
"Pantas saja seluruh saudari-saudari ku iri. Mungkin juga bangsawan perempuan di wilayah kerajaan merasakan hal yang sama." Ilona tersenyum hambar.
Dia menikmati wajah cantik yang cermin pantulkan. Rambut perak bergelombangnya sungguh indah. Bahkan Ilona sendiri tak dapat berpaling akan keindahan itu.
"Suaraku ini sangat indah … merdu. Pantas saja, meski kelakuanku berbeda, semua orang tetap mempercayaiku. Karena wajah ini sungguh polos dan lugu … suara lembut tak bersalah …." Kedua tangan Ilona merengkuh wajahnya. Jemari-jemarinya meraba-raba seluruh fitur indah yang dimiliki. Mempesona, cantik. Ilona akan mendapatkan segalanya dengan wajah ini. Ya, kehidupan yang ia mau.
"Bahkan putra mahkota sekalipun …."
Ilona mengepalkan salah satu tangan. Menyentaknya keras ke meja hingga membuat beberapa benda terjatuh ke lantai.
Berlama-lama di dunia ini, semakin membuatnya terus frustasi. Tidak bisa, Ilona selalu menampilkan raut wajahnya yang lembut. Bahkan meski kini ia marah, wajahnya tetap begitu lembut.
Ilona membencinya. Orang yang melihat pasti tak akan pernah tahu bahwa dirinya tengah marah. "Wajah ini … wajah ini terlalu lugu." Ilona menggeram.
[Bagaimana selanjutnya? Apa yang harus kulakukan? Apakah semuanya akan datang dengan sendirinya? Apa aku di sini, lalu Ramos di tempatnya, dan putra mahkota di kerajaannya?]
Ilona bingung. Semuanya tak bisa jika hanya terus berada di tempat masing-masing. Ia sama sekali tak sudi harus tinggal di sini. Terkurung dengan keluarga yang tak disukainya.
Bahkan meski mereka tak akan macam-macam pada Ilona, ia tetap tidak mau. Di sini terlalu … penuh kepalsuan.
Seharusnya Ilona tetap berada di kerajaan. Atau setidaknya ikut Ramos ke kediamannya. Lelaki itu sudah hampir luluh pada Ilona. Ia bisa memanfaatkan Ramos, tak peduli bagaimana nanti para bangsawan akan membicaraka kelancangan Ilona.
"Aku tidak mau di sini." Ilona menatap wajahnya. Hal yang selalu membuat dirinya muak, meski menyukai keindahan itu. Ujung bibirnya terangkat hingga membentuk senyuman miris.