Diajaknya Ilona pada sebuah tempat yang belum pernah sekalipun dia kunjungi.
Masih berada di dalam kerajaan, hanya saja sedikit masuk ke tengah-tengah. Pada sebuah ruangan sederhana bernuansa malam. Tidak ada pintu di sini. Semua sisi ditutup dengan tirai putih gading menggantung. Dihiasi pernak-pernik semacam kerang yang selalu ada dibalik tirainya.
Seperti sebuah kubus saat Ilona memasuki tempat ini. Tidak luas, tetapi juga tidak terlalu sempit. Warna kalem adalah hal yang membuat Ilona merasa nyaman.
Sofa panjang dan juga meja antik indah. Bagaikan ruangan VVIP yang biasa digunakan oleh orang-orang kaya.
Tidak. Ini ... jauh lebih elegan dan mahal.
Ramos duduk di sofa. Sangat santai, seperti biasanya. Laki-laki itu melipat kaki kanan dan menumpangkannya pada kaki kiri. Ah, layaknya ketua-ketua gengster berkelas.
Tunggu. Ilona bahkan belum pernah bertemu ketua gengster secara langsung.
Ramos menatap ke arah Ilona. "Duduk. Mengapa kau hanya terus berdiri?"
"Ah, iya." Dirinya hendak duduk pada sebuah sofa single, cukup jauh dari Ramos.
Namun, lelaki itu mencegah. "Mengapa memilih di sana?"
"Maksudnya ...? Em ... saya memang akan duduk di sini." Ilona tidak mengerti. Sampai Ramos menjelaskan maksud tak masuk akalnya.
"Kau bisa duduk di sampingku. Bukankah ini sofa panjang?"
[Apa maksudnya itu]
Tapi, tetap saja Ilona menurutinya. Duduk bersebelahan denga. Ramos di sofa yang sama. Laki-laki itu memang terlihat santai, sangat berbeda dengan Ilona yang diam tak tahu harus melakukan apa.
Berusaha menjadi perempuan elegan dan lembut, sangat sulit baginya.
"Kau aneh, jujur saja."
Setelah keheningan lama, lelaki ini itu bersuara.
Ilona mengiyakan dalam hati. Ya, dirinya memang aneh. Sungguh. Ilona sampai bingung dengan diri sendiri. Sejak kejadian tadi— di saat rasanya hampir seluruh ingatan mengenai alur tersebut hilang.
Rasanya hampa. Ilona linglung, ia hanya bergerak sesuai perintah orang-orang di dekatnya. Itu saja. Seperti saat Ramos mengajaknya ke sini, dan Ilona menurut. Duduk di sofa yang sama dengannya, sekali lagi perempuan itu juga menurut.
Layaknya hampir kehilangan jiwa dan arah tujuan. Benar-benar berantakan saat tiba-tiba dirinya tak tahu apapun mengenai alur nantinya.
Ilona terdiam cukup lama. Ah, dirinya jadi memikirkan akan hal ini. Bukan hanya Ilona. Tapi semuanya terasa sangat aneh.
"Kau belum merespon perkataan ku," ujar Ramos. Saat hanya hening yang tercipta di antara keduanya.
"Oh— ah, ya, ya. Saya …." Ilona memandang ragu wajah lelaki di dekatnya. Seperti ada yang aneh di dunia ini. Apa karena dirinya yang tidak mengetahui alur cerita? Ilona jadi tidak tahu mana yang baik dan jahat. Semuanya seperti sulit untuk dipercayai.
Hanya sendirian ….
"Sebenarnya, aku sangat tidak suka saat kau menggunakan bahasa formal denganku. Itu rasanya sangat kaku. Kau yang biasanya memanggilku dengan 'Ramos', merubahnya menjadi 'Anda'. Sekarang aku membencinya. Tidak tahu apa yang terjadi padamu, tetapi aku ingin agar kau dapat berbicara secara santai denganku. Panggil diriku seperti biasanya. Agar aku dapat memanggilmu seperti biasanya pula."
Ah, ya. Sungguh. Mulai kejadian tadi, Ilona sangat berbeda. Dirinya sulit untuk menentukan situasi dan memahaminya.
Berawal dari tidak ingat akan alur novel sama sekali. Kemudian terus-menerus overthinking dengan apa yang terjadi selanjutnya. Karena rasanya, bahkan saat ini— Ilona tidak mengenali dirinya sendiri.
Ramos memandang Ilona heran. Diamnya perempuan itu terus membuat dirinya merasa khawatir. "Kau mendengarku? Apa kau baik-baik saja?"
Tangan lelaki itu terulur untuk menangkup salah satu pipi Ilona.
Namun, dengan cepat Ilona memundurkan kepalanya. Secara tidak langsung menolak akan interaksi tersebut.
"Y–ya …. Aku mengerti. Aku akan memanggilmu … Ramos." Ilona mengeluarkan suaranya.
"Ya." Meski begitu, raut wajah Ramos tidak berubah. Tangannya kembali dirinya tarik setelah mendapatkan penolakan. Ilona … benar-benar berbeda baginya.
Rasanya mulai saat ini, Ilona mengantuk. Lelah dan ingin kembali tertidur. Padahal, sebelumnya ia tidak bisa tidur sama sekali.
Dirinya hanya berbicara dan menuruti. Bila lelaki di dekatnya ini ingin dipanggil Ramos, maka Ilona akan menyanggupi. Ia berbicara langsung tanpa berpikir. Karena bahkan … ingatannya terus memburuk.
"Bolehkah aku kembali ke kamarku? Sepertinya aku mulai mengantuk," ungkap Ilona.
Ramos mengangguk. "Ingin kuantar, … Ilona?"
Ilona yang telah berdiri menganggukkan kepalanya. Dia berjalan dengan Ramos keluar dari sebuah tempat yang sebenarnya sangat indah ini.
Ramos mengantar hingga depan kamar Ilona.
Sebelum perempuan itu benar-benar masuk ke dalam kamar, dirinya sempat mengucapkan terima kasih.
"Makasih."
Dan pintu kamar itu ditutup setelahnya.
[Kenapa aku jadi begini?] Ilona heran dengan dirinya sendiri. Sampai-sanpai pikiran negatif terus terbayang di dalam otaknya.
Sama saja. Saat Ilona membaringkan tubuhnya di ranjang dan berusaha untuk tidur.
Itu sangat sulit.
Pikirannya hanya terus memproduksi banyak spekulasi negatif. Seperti, 'bagaimana selanjutnya?' 'siapa yang jahat di sini?' 'akh, kepalaku menjadi sakit secara perlahan-lahan.'
Lalu secara perlahan-lahan pula, Ilona berhasil terlelap.
Pagi ini, saat semuanya berada di meja makan. Ilona memilih untuk izin tidak ikut. Kepalanya benar-benar pusing begitu dirinya bangun dari tidur. Pikirnya akan membaik, tetapi malah sebaliknya.
Ilona sendiri juga tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Ia bahkan sulit untuk berpikir, dan memilih hanya tidur-tidur di ranjang atau diam tak melakukan apa-apa.
Pintu kamarnya diketuk. Ilona enggan bangun. Jadi, secara berat hati meski selalu takut bahwa tidak sopan, dirinya berteriak. "Maaf, masuklah!"
Ah, ternyata suaranya cukup keras meskipun kepala sedang sakit.
Ilona pikir yang masuk adalah seorang dayang. Tapi, ternyata Ramos.
Laki-laki itu berjalan mendekat ke arah ranjang setelah menutup kembali pintu. Meletakkan nampan berisi makanan di meja sederhana samping.
"Kenapa kamu ke sini?" tanya Ilona kebingungan.
"Mengantarkanmu makanan, tentu saja. Kudengar kau sakit dan izin untuk tidak ikut sarapan bersama," ucap Ramos.
"Sakit kepala." Ilona mengoreksinya. Jika hanya 'sakit', itu benar-benar artinya dapat pergi sangat jauh. Padahal hanya semacam sakit kepala. Meski ini pun sudah sangat parah bagi Ilona.
Ramos mengangguk, sekiranya untuk mengurangi suara hening yang selalu berada di antara keduanya.
"Kau … bisa pergi dari kamarku," ucap Ilona.
Ramos termasuk orang baik, untunglah. Meski awalnya enggan, tetapi lelaki itu berakhir untuk keluar dari kamar Ilona.
Sementara Ilona sendiri meraih nampan dan menaruh di pangkuannya. Memotong daging susah patah dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Argh! Alot!"
Ingatan Ilona masih berfungsi tentang ini. Tentang bagaimana dirinya yang bersusah payah demi dapat melahap makanan di depan Kaesar.
Awalnya Ilona berniat untuk membuang semua makanan ini.
Namun, dibuang ke mana? Bagaimanapun juga, pasti pada akhirnya akan ketemu.
Jadi Ilona lebih memilih untuk menaruh kembali nampan di atas malas samping ranjangnya. Jika ada yang bertanya mengapa belum habis, Ilona tinggal menjawab, "saya sakit."