Ini benar-benar seperti ujian mental.
Ilona duduk di sebuah kursi. Dengan di depannya sebuah meja besar dan panjang. Tersaji beragam hidangan yang amat meriah.
Layaknya sebuah acara makan malam untuk peringatan-peringatan penting. Suasana Kerajaan Luchifer yang menawan juga menambah betapa 'mahal' yang disiapkan.
Ilona tidak berani bersuara.
Ada beberapa orang yang juga hadir di acara makan malam ini. Putra Mahkota, Ramos, dirinya, dan beberapa bangsawan atau pangkat lain yang tak Ilona ketahui nama dan jabatannya.
Sejak tadi hanya terdiam. Saat Ilona hendak mendongak, selaku saja urung. Bagaimana jika berpapasan dengan Putra Mahkota?
Saat beliau datang ke meja makan pun, Ilona berusaha untuk tidak berkontak mata apalagi saling tatap. Sehingga, bisa saja Putra Mahkota duduk di hadapannya.
"Kenapa sejak tadi hanya menunduk? Kau tidak makan?" Ramos yang duduk tepat di sampingnya; bertanya.
"O–oh ... ya." Dengan perlahan Ilona mendongakkan kepala. Lantas menghela ringan. Putra mahkota tidak duduk di depannya. Mungkin duduk di ujung.
Setelahnya tangan perempuan tersebut meraih garpu serta pisau makan. Untunglah bahwa cara makan di sini tak berbeda jauh dengan yang di Kediaman Barenice ataupun Kediaman Frederick.
Sebuah daging yang entah dimasak dengan cara apa tersaji di piring Ilona. Diberikan bumbu-bumbu serta hijauan di atasnya, harum.
Dengan percaya diri Ilona memotongnya dan memasukkan ke dalam mulut. Menguyah daging tersebut, tetapi kemudian berhenti.
[Apa ini!?]
Hampir saja dirinya ingin memuntahkan makanan.
Daging itu ... sangat alot. Begitu susah dikuyah, apalagi diolah oleh lambung. Rasanya terkesan hambar. Ah ... ini seperti sedang memakan daging buruan.
Meskipun di saat lalu Ilona tidak pernah memakan-makanan yang mewah, tetapi ... bahkan roti kadaluarsa lebih baik dari ini.
"Hem? Kau kenapa?" Pria di samping Ilona kembali bertanya. Ramos menatapnya dalam.
Ilona menggeleng. [Aku ini pergi dari sini ....] Dirinya ingin menangis sejadi-jadinya.
Ia berusaha kuat menguyah daging tersebut. Setelah langsung dia telan begitu saja; meski belum sepenuhnya terkunyah.
Ditatapnya daging yang masih banyak di atas piring. Ilona ngeri jika membayangkan dirinya harus menghabiskan seluruhnya.
[Aku pikir dagingnya akan enak. Seperti ayam yang pernah kubeli di Pasar Ramai.] Perempuan itu cukup sedih mengetahui bahwa ekspetasinya salah. Melenceng jauh.
Ah, dirinya jadi merindukan ayam yang ia beli saat itu. Sangat lezat rasanya meski hanya dibayangkan.
Ilona menatap ke arah Ramos sejenak. Mendekatkan bibirnya ke telinga lelaki itu. Berbisik pelan, "bolehkah saya tidak ikut makan malam kali ini?"
Ramos menghentikan aktivitasnya. Menatap cukup khawatir ke arah Ilona. Ada banyak pertanyaan yang dirinya inginkan, tetapi urung dan memilih tuk mengatakan, "Kau boleh menghentikan sampai sini sana."
[Lalu?] Ilona bingung. Apa dirinya langsung pergi saja begitu? Maksudnya—
"Ada apa?"
[Oh, menakutkan. Aku mengenal suaranya.]
Suara menyentak yang tajam meski tak ada nada tinggi. Putra Mahkota, sudah pasti. Bagaimana mungkin Ilona melupakan suara yang sejak tadi terus membuatnya khawatir?
"Putri Barenice ingin menyudahi makan malamnya. Sepertinya ia kenyang." Ramos menjawab.
"Menyisakan makanan?"
[Itu terlalu sinis, sungguh.]
"Apa itu masalah?" Ramos membalas.
Tidak. Mulai detik ini, semua tamu memfokuskan perhatiannya pada suatu hal. Suasana meja makan yang mulai berubah terus mengintimidasi untuk jangan terlebih dahulu melanjutkan makan.
"Aku kaget bahwa kau tidak tahu, bahwa hal ini tidak sopan," ujar Kaesar, Putra Mahkota Kerajaan Luchifer ini.
"Aku dapat memakan bagian Putri Barenice." Ramos membela.
Sementara, Kaesar kembali melanjutkan aktivitasnya. Seraya berkata, "jika kau mau."
Oleh karena itu, secepat kilat Ilona menggelengkan kepalanya. Perempuan itu tidak ingin membuat masalah, sungguh. Menambah image buruk di depan Kaesar. Itu benar-benar akan menambah masalah baginya.
"Tidak, tidak, Putra Mahkota. Saya akan melanjutkan makan malam saya sekarang. Terima kasih banyak." Ilona menunjukkan senyum terbaiknya. Wajah cantik yang dirinya punya di dunia novel ini menambahkan sebagai bonus. Termasuk dengan rambut pirang bergelombangnya.
Tapi, Kaesar sama sekali tidak peduli.
Ah, ya. Seharusnya Ilona mengambil ancang-ancang mengenai sikap tersebut.
Meski dalam hati sangat merasa kesal, tetapi sebisa mungkin dirinya tahan. Kembali menatap ke arah piringnya. Daging itu seolah menjadi musuh bagi Ilona.
"Kau bilang tidak mau. Jika tidak mau, maka tidak perlu. Kau bisa menyelesaikan makan malam ini," ujar Ramos di sampingnya.
Ilona menggeleng dengan senyuman. "Tidak perlu. Saya menyukainya." Perempuan tersebut berbohong.
Lalu, kembali lagi. Ilona sekuat yang ia bisa terus memakan daging dan menghabiskannya. Pokoknya harus tahan, dan lalui saja. Itulah yang menjadi quotesnya saat ini.
Tak peduli meski beberapa tamu acara makan malam masih menatapnya penuh tanda tanya. Sedikit mendingan. Sebab setelah kejadian tadi selesai, para tamu mulai kembali melakukan aktivitas makannya.
Ah, ya. Lagipula Ramos telah membantunya tadi. Putra dari Duke Frederick tersebut memang tak salah mendapatkan julukan sebagai 'lelaki baik' saat ini. Ilona akan berterima kasih pada lelaki itu, nanti. Bila sempat.
Acara makan malam selesai. Ilona kembali ke kamarnya seperti semula. Sementara untuk yang lain, entahlah. Karena hanya Ilona dan istri dari seorang bangsawan terkemuka yang langsung menyelesaikan makan malam.
Mungkin mereka memiliki pekerjaan. Termasuk dengan Ramos.
Di dalam kamarnya, Ilona hendak tidur. Sebelum itu dirinya mengoleskan masker wajah buatannya sendiri. Seraya menunggu masker wajah alami bekerja, Ilona memilih untuk mengambil sesuatu.
Sebuah buku tua cukup berdebu yang dirinya beli pada Dekcol lalu. Ilona sama sekali belum membukanya, hal itu cukup membuat penasaran.
Buku dengan hardcover. Berwarna hitam, meski sebenarnya kebanyakan karena faktor debu.
[Tidak dapat dibuka?] Ilona berpikir keheranan.
Sama sekali tidak ada gembok ataupun kunci. Namun, entah mengapa hardcover buku tersebut tidak dapat dibuka sama sekali. Sekuat apapun Ilona mencoba. Usahanya selalu sia-sia. Sampai akhirnya Ilona memilih menyerah, tak ada gunanya.
Perempuan itu meletakkan kembali buku tua di dalam laci. Kemudian mencuci tangannya yang kotor akibat debu pada buku.
Suara ketukan pintu kamarnya berulangkali terus menganggu. Ilona membuka pintu, tak peduli meski wajahnya sedang dipenuhi oleh masker wajah alami.
"O–oh!" Orang yang mengetuk pintunya ialah Albert. Lelaki itu tampak tersandung ke belakang ketakutan. Sangat kaget melihat adanya penampakan wajah Ilona yang dipenuhi sejenis krim.
"Albert?"
Albert membenarkan posisinya seraya mengangguk pelan. "Y–ya, Nona. Saya ... Albert."
"Di wajah Anda ... hal apa itu?"
"Ini masker wajah. Aku menggunakannya untuk bersenang-senang. Kata orang dapat mengurasi perasaan stress," jawab Ilona setengah berbohong.
Jika dirinya jujur, maka orang-orang akan salah paham. Kemudian berpikir bahwa kunci kecantikan Ilona adalah masker tersebut. Kalau sampai tersebar, maka bisa jadi Ilona akan dikerumuni pada wanita bangsawan. Melelahkan.