Chereads / Memanfaatkan Tokoh Pria / Chapter 32 - Pengusiran

Chapter 32 - Pengusiran

Perjalanan tenang yang tanpa disengaja membawanya pada tempat antah berantah.

Sebuah aula yang tak terlalu luas. Beberapa pilar berdiri menunjang lelangitan aula yang amat megah. Didominasi warna putih dengan balutan warna cream lembut.

Ditambah menawan dengan ukiran sederhana yang terus mengalir di dinding, hingga pilar-pilar.

Lantai yang Ilona pijak. Terbuat dari marmer putih yang bahkan ketika melihatnya akan langsung berpikir— bahwa ini adalah sebuah mahakarya.

Aroma harum yang mirip seperti musim dingin serta saljunya. Ini pertama kali Ilona menghirup wewangian seperti ini.

Ilona berputar kecil. Memperhatikan ke arah sekeliling yang amat menawan. Kepalanya mendongak, berusaha menatap ke arah ujung-ujung pilar aula. Sampai tanpa sengaja dirinya terus berjalan dan berjalan.

Sebuah batu dengan ukuran sekepalan tangan pria dewasa menghadang jalannya. Ilona yang tidak tahu, harus pasrah saat dirinya tersandung.

Ia berteriak secara reflek. Juga pasrah jika nantinya terjatuh dengan rasa yang membara— mengingat bahwa lantai terbuat dari marmer.

Namun, tidak.

Tak ada rasa sakit yang Ilona rasakan.

Dia tidak jatuh. Hanya ... tersandung dan ambruk pada tubuh seorang lelaki yang sedang tertidur.

[Bagaimana bisa ada sebuah sofa panjang di sini? Terlebih ... digunakan untuk seseorang tidur.]

Itulah yang Ilona pikirkan. Begitu membuka kedua matanya, dan mendapati dirinya ambruk pada tubuh seseorang. Hanya sepasang kaki terbalut kain sutra putih hingga hampir mata kakinya.

Satu detik setelahnya, Ilona langsung terkesiap. Dia bergegas membenahi posisi dengan langsung mengangkat badan serta kepalanya dari tubuh seseorang yang dia ambruki.

"Sial!" Umpatan itu keluar begitu saja dari bibir Ilona. Dia menutup mulutnya kemudian.

Bagaimana tidak tahan? Lelaki yang baru saja Ilona ambruki adalah Putra Mahkota kerajaan ini.

Kedua matanya terlihat berusaha terbuka. Kemudian secara perlahan mengerjap. Arah pandangan lelaki itu beralih kepada Ilona yang berdiri tak jauh darinya.

Jelas sekali. Dia baru saja tidur dengan sangat nyenyak, tetapi setelahnya terganggu akan kesalahan Ilona.

"Siapa yang berani-beraninya masuk ke areaku?" Suara dalam penuh penekanan. Intonasi sedang yang rasanya ingin membuat Ilona cepat-cepat menjauh. Terdengar serak. Namun, kewibawaannya tak hilang.

Ilona terdiam. Melihat bagaimana sang putra mahkota yang mengganti posisinya. Bangun dan beranjak dari sofa.

Lantas, tinggi badan lelaki itu langsung menyembul melewati Ilona. Kentara jelas bagaimana perbedaannya. Padahal, jika dilihat— putra mahkota bertelanjang alas. Berpijak pada lantai marmer yang pastinya dingin.

[Ini benar-benar hal yang tak terduga ....] Ilona berbicara dalam hatinya.

Putra Mahkota. Ini kali pertama Ilona bertemu dengannya jika hanya berdua.

Garis-garis wajah yang tegas paripurna. Siluet tatapan kedua matanya yang tajam melebihi sebilah pisau. Rahangnya pun sangat indah jika digambarkan.

Semua fitur tubuhnya terlihat selayaknya tak nyata.

Ditambahi dengan pakaian

"Aku bertanya, kau tak menjawab?" Dia kembali mengeluarkan suaranya. Setengah meninggi yang membuat terasa lebih bengis didengar.

Hal yang Ilona lalukan sebagai jawaban adalah; menggeleng. Menggeleng dengan pelan dengan tatapan yang terus diarahkan pada lelaki tinggi di hadapannya.

Oke. Putra Mahkota itu sungguh menawan dengan pakaiannya yang terbuka menunjukkan dada. Bahkan tubuh bawah lehernya pun terpahat secara tegas, dengan penuh kelembutan.

Hanya pakaian yang biasa digunakan oleh beberapa orang zaman dulu. Terusan yang terbuat dari kain sutra. Seperti yang digambarkan oleh orang-orang tampan sejarah Yunani.

Ilona mengerjapkan kedua mata. Tak seharusnya semua pikiran itu terlintas, di waktu dan di saat yang tidak tepat.

Wajahnya mendongak pelan.

Saat itu juga, dia langsung mendapat semprotan kalimat cukup kasar dari putra mahkota.

"Dasar anak Count kurang ajar! Kau membuatku kesal di hari ini! Tidurku terganggu karenamu!" Lelaki itu marah. Suaranya dingin penuh keangkuhan. "lebih baik kau pergi," ucapnya dengan tekanan di akhir.

Ah, Ilona merasakan devaju. Cuplikan scene yang dialaminya ini begitu familier. Seperti ... saat di kehidupan lalu dulu?

Saat Ilona kagum akan rumah mewah, kemudian mencoba duduk di terasnya. Atau mungkin kala perempuan itu tertarik dengan sebuah salon penuh pengunjung, dan berusaha mengintip tuk melihat-lihat.

Entahlah, ada banyak sekali waktu di saat Ilona remaja tertarik dengan segalanya. Ibu kota yang ramai penduduk dan terpenuhi bangunan menarik.

Namun, selalu dan selalu pula. Orang-orang memarahinya dan mengusir secara kasar. Tak memperhatikan Ilona yang hanya seorang remaja seperti yang lainnya.

Rasanya sangat sakit. Tapi, tidak ada hal apapun yang dapat dilakukan untuk mengurangi rasa sakitnya.

Tatapan aneh orang-orang yang ditujukan pada Ilona. Suara saling membisik yang bahkan dapat didengar.

Meski berlalu, terkadang pada suatu saat— pintasan kejadian-kejadian itu muncul kembali. Membuat semua perasaan bercampur di hatinya. Sedih, malu, marah, kesal, terpuruk, iri, dan lain sebagainya.

Ilona menahan. Dia tidak suka dengan kalimat yang baru saja lelaki di hadapannya katakan. Meski seorang Putra Mahkota kerajaan besar sekalipun.

Salah satu tangannya terkepal secara perlahan. Kepala yang perlahan mendongak dan menatap lurus ke depan. Tepat ke arah wajah tampan yang terukir secara tajam.

"Aku hanya melakukan kesalahan kecil, dan kau marah seolah diriku baru saja membakar kerajaan ini! Aku, 'kan, juga tidak sengaja. Kau tidak perlu sampai bicara kata-kata tajam menusuk seperti tadi. Menyakitkan, tahu! Dasar putra mahkota biadab! Huh!"

Sebelum membalikkan badannya, Ilona sempat menjulurkan lidah tanda mengejek. Lalu pergi begitu saja dari aula dengan banyak pilar putih sebagai topangan.

Bahkan rambut perak bergelombangnya sempat terkibas kala membalikkan badan; hampir mengenai wajah putra mahkota.

[Privasi, kok, tidak ada pintu masuknya. Jelas diriku tak tahu.] Ilona mendengus dalam hati. Seraya berjalan entah ke mana— mengarah selatan.

Aula yang katanya privat milik putra mahkota, tidak ada pintu masuk atau apapun sama sekali. Semuanya terbuka seolah menerima siapa saja tamu.

Jadi, apa salahnya bila Ilona yang tak terlalu paham melakukan kelalaian kecil? Toh, tidak ada yang memberitahu dirinya— sebelumnya.

"Putri Barenice, tempat mana yang ingin Anda tuju?"

Langkah Ilona langsung berhenti. Menatap ke arah seorang pria berbadan tegap dengan pakaian khas para angkatan tinggi keamanan di Kerajaan Luchifer.

Lavish. Dia merupakan kepercayaan dari panglima tersohor Kerajaan Luchifer. Kedudukannya berada di bawah para panglima, itu jelas. Namun, di antara kesatria, Lavish jauh di atasnya.

Dia adalah orang yang tadi memberikan sambutan hangatnya kepada Ilona.

Ilona berjalan mendekati Lavish. Tak menyangka bahwa keduanya akan bertemu di koridor kerajaan, bagian belakang ini.

"Saya sedang ...." Ilona kehabisan kata-kata. Dirinya bahkan tak tahu mengapa bisa berada di sini. "mencari tempat untuk bersantai sejenak ...?"

Lavish terdiam sebentar.

"Ingin saya beritahu tempatnya dan temani, Putri Barenice?"

Ilona mengangguk. "Ya, tentu saja. Saya akan merasa berterima kasih."