Ilona melihat sesuatu, yang pernah ia lihat pada gang tadi, sebelumnya.
Sebuah bendera dengan penuh keberanian berkibar megah pada bangunan tertinggi. Menggunakan tiang besi putih menjulang yang ujungnya, bendera hormat itu terus menarik perhatian.
Terlihat sangat familier. Ilona yakin bahwa dirinya pernah melihat sesuatu yang berhubungan dengan bendera itu.
Bendera yang di dalamnya, terlihat gambar dua singa emas pada sisi kanan dan kiri. Dengan bunga mawar merah merekah indah di tengah-tengahnya. Sangat indah, dengan ranting menyebar ke bawah, bahkan tanpa duri. Lalu lambang cahaya pada langit-langit bagian atas bendera.
"Ramos, bendera apa itu?" Ilona memilih bertanya. Sengaja tidak ia tunjuk, khawatir bahwa bendera tersebut merupakan bendera terhormat.
"Kerajaan Luchifer. Itu adalah benderanya."
"Kerajaan Luchifer?" Ilona balik bertanya.
Ramos cukup terkejut. "Kau … tidak tahu Kerajaan Luchifer?"
Ramos tahu bahwa Ilona memang berada jauh dari wilayah Kerajaan. Terlebih, perempuan itu dianak tirikan dan tidak pernah keluar jauh dari kediamannya. Wajar bahwa tidak tahu seperti apa bendera Kerajaan. Tapi, untuk tidak tahu Kerajaan Luchifer sama sekali? Padahal seharusnya, wajib bagi Ilona mengetahui akan hal tersebut.
"Tidak." Ilona menggeleng. "maksudku, y–ya, aku tahu Kerajaan Luchifer. Hanya saja, mungkin sebelumnya aku sedikit lupa." Ini adalah jawaban yang jujur. Karena setelah beberapa detik Ramos mencurigainya, ia langsung teringat dan tahu akan Kerajaan Luchifer— melalui ingatan tubuh tokoh utama.
Ramos mengangguk. "Baiklah jika begitu. Apa ada lagi yang ingin kau tanyakan? Sebelum kita masuk ke dalam penginapan."
"Gaun … bagaimana dengan gaunku?"
"Aku dapat menyuruh seseorang untuk membelinya. Karena ini di wilayah Kerajaan Luchifer, yang memiliki begitu banyak toko-toko menawan. Atau kau ingin membelinya sendiri?" Pria itu mengatakannya. Teringat bahwa kebanyakan perempuan, memang lebih suka ke toko sendiri, dan membelinya secara mandiri. Mereka pasti lebih suka ketika saat memamerkan semua barang yang dibeli.
Tapi, kali ini. Ilona menggelengkan kepalanya. "Tidak. Kau bisa menyuruh seseorang untuk membeli saja, Ramos," jawabnya.
[Lagipula, untuk apa aku harus repot-repot?]
"Kau sungguh tidak ingin membelinya sendiri?" Ramos bertanya sekali lagi.
Lalu sekali lagi pula, Ilona mengangguk yakin. Seraya mengatakan, "apa kau sedang menyuruhku?" Nada itu terkesan sinis, seolah dirinya tersinggung. Padahal, beberapa waktu lalu dirinya baru saja merasakan perasaan gugup serta canggung, akibat Ramos yang mulai mencurigainya.
Pria itu terdiam, kemudian menggeleng. "... tidak."
Baiklah, mengapa Ilona tidak dapat mengontrol dirinya sendiri? Perempuan itu tampaknya harus menghilangkan rasa emosional atau tingkah laku santai seperti biasanya.
Yah, setelah beberapa waktu keduanya mempersiapkan beberapa hal yang umum. Barulah masuk ke dalam sebuah penginapan, yang mungkin Ilona akan menggambarkan selayaknya apartemen? Bedanya, ini pribadi.
Meski, menurut Ilona lebih megah dan luas Kediaman Frederick.
Di penginapan ini, memiliki bangunan dengan batu bata sebagai dinding kokohnya. Layaknya castel sederhana, Ilona bahkan melihat beberapa perapian di dalam. Kemudian aroma wewangian ruangan yang pada dasarnya, masih berbahan alami.
Ini bagus. Sebuah bangunan yang cukup luas dan terasa hangat. Semuanya tertata rapi, terutama dengan kamar yang menjadi milik Ilona selama beberapa waktu ke depan.
Yah, antik.
Ilona mendudukkan dirinya pada sisi samping ranjang.
"Yah, gaun ini. Aku telah terbiasa." Ia berujar pada dirinya sendiri. Random, memang.
Tapi, ucapannya memang benar. Ia yang sangat tidak pernah menggunakan gaun, kini setiap harinya selalu menggunakannya. Kemana pun, dan hampir kapan pun. Ilona sampai heran dengan kemampuan adaptasinya yang berjalan dengan cepat dan lancar.
Namun, perempuan tersebut kembali terdiam.
Tidak.
Sejak tadi, di pikirannya memang akan selalu ada hal yang sama.
Wanita tua itu, Dekcol. Pemilik sebuah toko tua, yang bahkan rasanya sudah sangat janggal.
Aneh, atau bahkan wajahnya lebih mirip selayaknya penyihir. Meski, Ilona sendiri tak pernah yang namanya melihat seorang penyihir.
"Tidak mungkin dia tahu mengenaiku, bukan?" Perempuan itu ragu dengan kalimat yang ia ucapkan.
Rasanya, dapat membuat Ilona sendiri ketakutan.
Ia selalu berpikir, bahwa hanya ada dirinya sendiri di sini. Berbeda dari yang lain, dan terasingkan dari yang lain. Hanya ia yang tahu mengenai hidupnya sendiri pula.
Namun, begitu Dekcol mengatakan kalimat yang membuatnya ambigu, itu langsung membuat Ilona goyah. Tak tahu harus menanggapi apa, karena dirinya sungguh tak mengerti.
Jika dibilang, maka persis rasanya saat tiba-tiba dibuang ke sebuah pulau antah berantah. Tanpa seorangpun yang dikenali, dan hanya bertemu orang-orang baru— yang semuanya sungguh berbeda.
["Perjalanan masih panjang, dan tak semuanya seperti perkiraan."]
["Penulis seseorang yang labil. Kisahmu ini belum tentu menjadi yang terakhir."]
Kalimat yang Dekcol katakan itu sungguh masih menghantui pikiran Ilona.
Bagaimana bisa rasanya seolah-olah, wanita tua itu mengetahui semuanya? Bahkan tentang Ilona, atau mungkin lebih dari itu.
"Dia mengatakan 'penulis'. Kata itu sungguh yang membuat semua kalimatnya terasa mengerikan." Ilona bergumam. Kemudian perempuan itu berdecak kesal. Ia tidak suka situasi yang seperti ini. Di saat dirinya lelah, ia malah harus berpikir keras.
[Pusing!]
Seharusnya, waktu ini Ilona gunakan untuk beristirahat secara tenang. Ia mendapatkan kamar klasik indah, ranjang cukup halus, dan bahkan roti jika ia mau.
Bukankah fungsi penginapan seperti itu?
Lagipula, Ramos sedang tidak ada di sini. Pria itu mengatakan akan keluar sebentar untuk melakukan beberapa hal kecil. 'Hanya sebentar', katanya.
Karena itulah Ilona benar-benar mengistirahatkan tubuh serta jiwanya. Mencari tempat ternyaman dan berbaring dengan tenang.
Hingga enam jam lamanya, perempuan itu masihlah tertidur. Hal yang paling dapat membuat perasaan serta pikirannya membaik.
Ia akan terus tertidur, mungkin. Jika saja tangannya tidak tiba-tiba mengenai vas di meja, dan membuatnya terjatuh.
Ia tidur terkadang tidak bisa diam. Entah itu faktor Ilona sendiri, atau tubuh yang dirinya pakai ini.
Kedua matanya lantas terbuka. Ia telah menjatuhkan vas dari meja secara tak sadarr. Jadi, dengan berat hati dirinya bangun dan memilih berdiri dari ranjang. Menatap ke arah lantai, di mana sebuah vas berbahan tanah liat dengan lukisan tergeletak. Tak ada isinya, dan untungnya tidak pecah sama sekali.
Ilona mengambil vas tersebut dan menaruhnya kembali di atas meja. Kemudian mulai mengambil sebuah kain yang telah diberi air dingin, kemudian mengelapkannya di wajah.
Oh, satu rahasia lagi.
Sejak Ilona berada di dunia ini, ia mulai sadar akan sesuatu. Wajah.
Jadi, dirinya terus merawat wajah sebisanya. Yah, dan itu benar-benar mempan. Bahkan dapat dikatakan, bahwa Ilona yang ini lebih cantik dari yang dulu. Termasuk rambut peraknya yang perlahan-lahan mulai halus.
Ia mempelajari beberapa bahan alami untuk kecantikan di kehidupan sebelumnya. Jadi, di sini, ia cukup tahu dan dapat menggunakan bahan alam dengan baik.
Ilona keluar dari dalam kamarnya. Bertemu dengan Ramos yang tengah duduk pada sebuah kursi, di balkon terbuka sana.
Tokoh utama pria. Penulis memang melakukan yang terbaik untuknya.
"Tampan," lirih Ilona.