"Oh, ya." Ilona mengalihkan tatapannya pada Ramos. "aku tak bawa uang," ucapnya.
"Berapa harganya, Nenek?" tanya Ramos.
"50 keping emas."
Ilona hampir membelalakkan matanya. [Ini benar-benar sebuah pemerasan. Bisa-bisanya Dekcol melakukannya pada putra seorang Duke.]
Tapi, pada akhirnya Ramos membayarnya pula. Maka, jika ditotal adalah 70 keping emas! Itu setara masyarakat tingkat atas membangun sebuah rumah.
Sama seperti tadi. Dekcol langsung menyimpan semua uang yang Ramos berikan. Kemudian baru menyerahkan buku usang tersebut pada Ilona. "Perjalanan masih panjang, dan tak semuanya seperti perkiraan," ujar wanita tua itu. Dengan senyum nyentrik yang selalu membuat Ramos ingin lari.
"Memang akan sepanjang apa," gerutu Ilona yang telah menggenggam baik-baik barang mahalnya. "apa akhirku akan bahagia?" Perempuan itu beralih tuk bertanya.
"Khusus untukmu, akan kuberi tahu lagi, ho-ho ...." Dekcol membalikkan badan. Terlihat rambut bergelombang berwarna putih panjang menutupi punggungnya. Jalan dan gerakan yang ringkih, mengatakan bahwa usia wanita tua itu sudah sangat tua.
"Penulis seseorang yang labil. Kisahmu ini belum tentu menjadi yang terakhir."
Ilona tersentak. Apa hanya perasaannya?
Kalimat itu ... sangat ambigu. Tidak. Apa yang Ilona pikirkan dan Dekcol pikirkan, suatu hal yang ... sama?
"Ilona, ada apa?" Ramos menatap ke arah perempuan di sampingnya khawatir.
Perempuan itu melangkahkan kakinya mundur secara refleks. "Tidak apa-apa. Tapi ...." Tatapan membola penuh kejutan dapat mengatakan semuanya. Ramos ikut menatap ke depan.
Dekcol ... telah menghilang? Ke mana wanita tua itu pergi? Dalam sekejap, dan sekali kedipan mata.
"Nenek itu ... menghilang, Ilona?" Ramos meminta penjelasan.
Sementara, Ilona menganggukkan kepalanya kaku. "Ya. Aku rasa ... begitu. Dia langsung menghilang."
Ramos berjalan ke arah meja kayu tua berdebu. Tampaknya itu adalah tempat yang biasa Dekcol gunakan untuk melakukan beberapa hal. Sebuah peti di atasnya berusaha Ramos buka, tetapi sama sekali tidak bisa. Peti itu adalah tempat yang tadi digunakan Dekcol untuk menyimpan semua kepingan emas.
"Apa dia penyihir, seperti beberapa dongeng yang masyarakat sebarkan?" Ramos terlarut dalam gumamannya.
Ilona menggeleng pelan. "Tidak. Dunia novel ini tidak ada unsur magis sama sekali."
"Dunia novel ini? Maksudmu?" Ramos membalikkan badannya tuk menatap Ilona. Memberikan kalimat pertanyaan menekan dan tatapan menyelidik. Aneh.
Segara Ilona menggeleng. "Tidak. Maksudku ... yah, tampaknya aku mengatakan yang tidak-tidak. Terpengaruh oleh dongeng di sekitar kediaman Barenice mengenai beberapa cerita seru."
Pria itu mengernyitkan dahinya. Kemudian mengangguk. "Aku akan mencari beberapa hal atau benda mencurigakan di sini, untuk kemudian diselidiki. Karena tempat ini dan wanita tua itu aneh," ucapnya yang mulai melakukan hal seharusnya. Seperti tim penyelidik di kehidupan nyata, Ramos mencari di setiap sudut.
Namun, hingga derik ini dia tidak mendapatkan apa pun. Semua kosong, bahkan susah sangat lama Ilona menunggu.
"Ada banyak hal-hal yang mencurigakan di sini. Hanya saja, ketika aku ingin mengangkat sebuah benda, itu tidak bisa. Ingin membuka sesuatu, juga tidak bisa." Ramos mengatakan kesimpulannya. Ada rasa frustrasi dalam diri pria itu, yang biasa selalu terlihat tenang.
Jujur saja. Ketika melihatnya, Ilona ingin tertawa. Entah kenapa terasa lucu saat tekad pria itu berakhir sia-sia.
"Baiklah. Kita harus kembali lebih dulu. Masalah ini, akan aku urus nanti," ucap Ramos kemudian. Berjalan mendekati Ilona dan mengajaknya keluar dari toko tua berdebu ini.
Ada yang janggal.
Ilona membalikkan badannya saat ia dan Ramos telah keluar dari toko. Menatap ke arah pintu yang tadi sudah ditutup kembali. Sebuah bangunan tua dengan dinding penuh lumut tampak menyeramkan di lihat.
Tatapan Ilona terarah pada kenap pintu emas indah.
[Jelas sekali itu emas asli berkualitas. Lalu, mengapa ia tetap membuka toko yang sepi, dan tidak menjual emas mahal itu? Ada banyak hal yang aneh.]
"Ilona, ayo."
"Ya ...." Perempuan itu membalikkan badannya ke depan. Berjalan menyusul dan menyamakan langkah kakinya dengan Ramos.
Tangan Ilona masih menggenggam buku usang, dari toko tua itu. Sementara pena bulu angsa yang Ramos beli, telah pria itu masukkan ke dalam saku celana bangsawannya.
Keduanya berjalan untuk menuju kembali ke dalam Pasar Ramai. Karena mereka susah melewati gang dan berjalan jauh, hingga hampir ke perkampungan.
Sama seperti tadi. Melewati gang cukup lebar yang panjang. Bisa saja dijadikan sebagai perbatasan juga jalan pintas antara Pasar Ramai dengan area perkampungan.
Ilona melambatkan jalannya. Kala melihat dari arah yang berlawanan, beberapa orang bertudung hitam menutupi kepala serta wajah ingin berjalan pada arah yang sebaliknya.
Tiga orang.
Ketiganya menggunakan jubah mantel dengan celana panjang sebagai bawahan. Namun, Ilona tidak dapat melihat wajah ataupun rambut, juga ciri fisik lain. Karena mereka sengaja menutupinya dengan tudung berjubah, serta mantel.
Tidak hanya Ilona. Tapi, ia rasa bahwa Ramos cukup was-was.
Pria itu bahkan tak segan untuk menatap tiga orang misterius, menggunakan tatapan kewaspadaannya.
Dua kelompok dari arah yang berlawanan, berjalan melalui gang cukup lebar.
Tidak ada yang terjadi. Tiga orang misterius itu bahkan sempat menundukkan kepalanya sedikit, kala melewati Ilona dan Ramos. Kemudian mengangkatnya kembali dan melanjutkan jalan.
Begitu pula dengan Ilona dan Ramos. Keduanya tetap berjalan ke depan seperti biasa, sebab tak ada hal yang terjadi.
Hanya saja, mata Ilona sempat menangkap sebuah lambang yang ada pada lengan kiri— salah seorang misterius tadi. Jika saja orang itu tidak menggerakkan lengannya, mungkin Ilona tidak tahu. Karena bahkan hampir seluruh tubuh orang itu tertutup oleh mantel hitam gelap.
Hanya sebentar Ilona terus mengingat lambang tersebut. Sebelum akhirnya ia dan Ramos telah menjumpai serta sampai di Pasar Ramai.
Tadi, yang awalnya semua aura terasa tenang, sunyi, serta mistik. Secara tiba-tiba berubah ramai. Melihat banyaknya orang, yang masih keliling pasar untuk mencari hal yang dibutuhkan. Tampaknya tak ada henti bagi para masyarakat terus datang, pulang, dan datang kembali. Rodanya berputar begitu saja.
"Kita akan ke mana?" tanya Ilona. Dia telah meninggikan suaranya, tak ingin kalah dengan puluhan orang yang sedang berbicara di tempat ramai ini.
Ramos menundukkan kepalanya. Perbedaan tinggi antara dia dan Ilona memang cukup membentang. "Kita akan ke penginapan dulu," bisik pria itu.
Bertemu dengan kusir tadi, dan keduanya langsung naik ke kereta kuda kembali.
Di dalam kereta kuda, Ilona kembali bertanya. "Bagaimana kereta kuda ini akan lewat? Sedangkan, pasar itu cukup ramai."
"Ada lebih dari satu perbatasan di sini. Tenang saja." Ramos tersenyum kecil. "untuk lewat, kita bisa menggunakan jalan bagian kanan, yang nantinya juga akan bersambung dengan alun-alun kerajaan. Sama saja."
Ilona menganggukkan kepalanya. Dia mengerti.
Sama seperti tadi, kereta kuda mulai berjalan dengan kusir yang mengambil alih. Berbalik arah kemudian masuk ke perbatasan lain, dengan gapura tak malah megah.
Isinya adalah perkampungan. Tampaknya, perkampungan penduduk lain yang Ilona lihat, setelah dirinya juga menemukan hal serupa di toko tua misterius tadi.
Kereta kuda terus berjalan melewati jalanan alas blok, hingga berhenti tepat di depan sebuah penginapan bertingkat.
Ada yang familier.
Ilona melihat sesuatu, yang pernah ia lihat pada gang tadi, sebelumnya.