"Ramos, kira-kira kapan kita sampai?" Ilona bertanya. Menatap ke arah depan, di mana pria itu duduk dengan tenang— di dalam kereta kuda ini.
Ia menyipitkan matanya. "Ramos?"
Baiklah. Ilona akan menyimpulkan, bahwa tokoh utama pria sekalipun; merupakan seseorang yang mudah tersinggung. Sebenarnya, Ilona sendiri tidak tahu harus memanggil dengan apa. Dia terbiasa memanggil seseorang hanya dengan nama panggilan.
"Y–ya. Memang, aku harus memanggil Anda seperti apa?"
Ramos lantas terdiam. Memalingkan wajahnya ke kiri. "Yang nyaman Anda panggil. Terserahmu."
"Ramos?"
Pria itu menolehkan kepala menatap Ilona kembali. "Kubilang, terserah Anda saja."
Ilona mengangguk. Jadi, boleh memanggil Putra Duke itu Ramos?
Ilona cukup pintar. Ia bisa memanggil Ramos dengan nama panggilan. Tapi, begitu berada di tempat terbuka yang umum, tentu lebih memilih secara formal. Ilona tidak ingin terhapus dari novel ini, sebelum ia mendapatkan happy ending.
"Dahinya."
"Dahi? Kenapa?" Ilona balik bertanya; kali ini terasa cukup gugup.
"Anda berusaha menyembunyikannya dengan poni, sejak tadi. Apa yang terjadi? Mengapa dahi Anda terluka?'
[Oh? Aku ketahuan sejak tadi?]
"Yah … saya … se–sempat terjatuh." Ilona berbohong. Dia hanya … merasa lelah saja jika harus kembali bertengkar. Padahal masalahnya sudah lebih membaik. Jadi, memilih jalan aman cukup bagus.
Ramos menatap Ilona lekat. Namun, akhirnya pria itu mengedipkannya kembali dan mengangguk. "Tidak perlu disembunyikan. Perlihatkan saja. Apa sakit?"
Tubuhnya yang tinggi dan tegap. Berada di kereta kuda ini pasti terasa tidak enak baginya. Mengingat bahwa Ramos lebih sering dan terbiasa menaiki kuda.
Tangan pria itu terulur. Jari-jarinya sungguh lentik, dengan pergerakannya yang halus. Menyisihkan poni Ilona ke samping, kemudian meletakkan di belakang telinga. Sentuhannya lembut, tetapi halus.
Tangannya ia tarik kembali.
"Itu parah. Mengapa mengatakannya seolah tidak apa-apa?" Ramos bertanya. Nadanya mengandung beberapa amarah, seolah tak mengizinkan sebuah luka membekas itu ada di dahi indah Ilona.
"Ini memang tidak parah. Ini akan menjadi parah, bila saya sampai mati," ucap Ilona membela diri.
Mati? Apa-apaan itu. Ramos menjadi tak habis pikir.
"Apa masih sakit?" Ramos memilih untuk bertanya.
Ilona menggeleng. Tapi, kemudian ia menganggukkan kepala sekali. "Sedikit," ucapnya jujur.
"Kita akan obati terlebih dahulu."
Jawaban dari Ramos membuat Ilona sedikit bingung. "Tunggu. Bukankah, kita akan ke Kerajaan? Kenapa harus berhenti untuk.mengobati luka saya, Tuan? Kita bisa—"
"Kita akan ke rumahku, Nona. Lalu, tolong jangan memberikan panggilan formal seperti itu. Bukankah, kau bilang akan memanggilku dengan nama?" Pria itu mengatakannya dengan begitu mudah.
Berbanding terbalik dengan Ilona yang menampilkan ekspresi kaget. Seakan baru saja ada petir yang menyambar di dekatnya. "Tu–tunggu! Ya, aku bicara formal denganmu, karena sebelumnya kau yang duluan memanggilku dengan formal."
"Kalau begitu, mulai sekarang aku akan mengganti cara bicaraku."
Ilona mengangguk mendengarnya. Namun, tunggu.
"H–hei! Kau bilang akan ke Kerajaan!? Ta–tapi …."
"Acara di Kerajaan itu masih lama, Nona." Ramos tersenyum. Ia lantas menyandarkan diri di kereta kuda, menatap ke arah Ilona penuh arti.
[Kurang ajar!]
"Jadi … sekarang akan ke rumahmu? Kediaman Frederick?" tanya Ilona berhati-hati.
Ramos mengangguk. Tangannya terlipat tenang di depan dada. "Ya."
"Argh! Dasar pembohong!"
Ramos hanya tersenyum. "Kudengar kau selalu dipaksa di sana. Jadi, aku membawamu pergi ke rumahku."
"Ha?" Ilona mendongak dan menatap lurus. Ke arah Ramos. Pria yang selalu dapat membuat suasana seseorang menjadi aneh.
"Lalu, jangan memanggilku pembohong, Nona. Kita benar-benar akan ke Kerajaan, dua minggu lagi, mungkin," lanjut Ramos; yang kini mulai menutup kedua matanya.
Ia pasti kelelahan. Satu-satunya putra dari Duke Frederick. Mengurus semua hal, dan tugasnya juga cukup membuat penat.
Yah, Ilona harus menarik kata 'pembohong' dari Ramos.
Tokoh utama pria selalu benar seperti tebakan.
Ilona tidak akan menyia-nyiakan perjalanan. Jadi, perempuan itu terus terjaga di kereta kuda. Menatap ke arah tempat yang dilaluinya. Bahkan tanpa terasa saat kereta kuda ini berhenti.
Kemudian dengan tepat, Ramos mulai membuka kedua matanya lembut. Mendapati wajah cantik Ilona dan rambut pirang indahnya.
Ia tersenyum. Memposisikan tubuh menjadi lebih nyaman. "Kita sudah sampai, Nona," ucapnya memberi tahu.
Pria itu dengan mudah keluar dari dalam kereta kuda. Kemudian menitah dan menuntun Ilona untuk ikut turun.
Ilona sendiri.hanya ikut-ikut saja. Orang di ini, bukankah biasa melakukannya? Seperti, memegang tangan seseorang dengan elegan.
Hah, Ilona tidak terbiasa terus menggunakan sapu tangan. Ya, rasanya ia benar-benar ingin melepasnya. Jika saja tidak ingat bahwa tadi; Audrey telah memasangkannya.
Turun dari kereta kuda, Ilona dihadapkan oleh halaman yang luas. Ditumbuhi rumput hijau yang indah dan menarik.
Kemudian di ujung sana, berdiri bangunan megah yang begitu luas. Menara-menara pun berjejer rapi. Satu bangunan inti yang luas luar biasa, lalu bangunan-bangunan lainnya yang lebih dari empat.
Ini adalah Kediaman Duke Frederick.
Namun, rasanya bahkan Ilona berada di sebuah Kerajaan. Castle yang luas, juga megah. Bahkan Kediaman Duke Iloka bukan apa-apanya.
Perempuan itu takjub sendiri. Bahkan tak dapat menahan mulut yang mulai terbuka, mengagumi keindahan bangunan castle luar biasa di depan matanya memandang.
Ramos tersenyum. Atau lebih mirip dikatakan kekehan.
"Ayo, jangan terlalu kagum. Mulutmu terbuka seakan sedang melihat castle megah saja." Pria itu berucap riang.
"Seakan?" Ilona tak percaya. Menatap ke arah Putra Duke dari pemilik castle. "oke, oke. Tenang." Perempuan itu berakhir untuk tersenyum. Tahan saja. Ia sedang tak mempunyai selera untuk bertengkar atau adu mulut.
Setelah beberapa kali kagum. Ramos mengajak Ilona masuk. Rasanya? Tentu saja tak percaya. Semuanya terasa tidak nyata, mungkin karena ini adalah dunia novel. Karena, terlalu luar biasa.
Kemudian saat Ilona telah masuk, benar-benar masuk ke dalam kediaman serupa castle. Semuanya benar-benar bersih dan tertata rapi. Lalu, satu fakta yang tak akan terlupakan adalah; luas.
Ilona beberapa kali hampir terbelalak atau memekik. Saking banyaknya hal yang harus ia kagumi di dalam castle ini.
Tapi, ia kemudian sadar. Saat ada beberapa mata yang menatap ke arahnya bingung.
Oh? Mungkin salah bila Ilona berjalan berdampingan dengan Ramos Frederick. Kemudian dikawal oleh Albert— pemuda dengan pandangan tenang di belakangnya.
Seorang wanita terlihat berjalan mendekati Ilona, atau mungkin … Ramos?
Wanita itu mengenakan gaun yang indah, kemudian cantik. Hampir mirip Ramos, dan Ilona dapat menebak usianya yang di atas 30 tahun. Karena ternyata; ia sudah memiliki bayi yang berada di gendongan salah satu dayang di belakangnya.
"Ramos, kau … dari mana saja?" Suara itu terdengar lelah. "kau ini. Sudah hampir satu bulan tidak di rumah."
Ramos tersenyum. "Aku dari mana-mana, Kak. Itu biasa, karena aku memiliki banyak hal yang harus dilakukan." Sangat santai pria itu menjawab.
"Kau ini!"
[Ohh … wanita itu … kakaknya? Gawat!]
Ilona tidak tahu harus melakukan apa.