"Apa aku sudah boleh keluar kamar, Audrey?" Ini adalah ketiga kalinya Ilona bertanya. Berada di dalam kamar terus-menerus ternyata adalah hal yang buruk. Meskipun beberapa hari ini ia terbebas dari ketiga saudari dan ibu tiri.
Audrey terlihat ragu. "S-saya tanyakan pada Tuan Count dahulu, Nona."
Ilona menghela napasnya dengan kepala yang dianggukkan beberapa kali. "Baiklah, Audrey."
"Saya permisi, Nona."
Suara pintu terbuka, kemudian tertutup kembali dengan lembut. Adalah pertanda bahwa Audrey telah keluar dari kamarnya. Oke, Ilona akan mengandalkan dayang setianya.
Seperti kebiasaannya di dunia novel ini. Ilona lebih sering duduk pada sebuah kursi di pojok kamar. Kemudian di samping jendela yang dibuka. Membiarkan udara segar memenuhi ruangannya.
Sudah genap 13 hari lamanya Ilona menetap di kamar. Hampir dua minggu. Awalnya Ilona ragu dengan kondisinya sendiri, tetapi ternyata berangsur-angsur membaik. Oke. Ini adalah tokoh utama, ya, utama. Sekarang Ilona tahu, mengapa semua tokoh utama novel yang dibacanya akan selalu bahagia. Padahal sifat mereka ceroboh dan hanya bisa menangis.
Ilona ingat saat Count waktu itu pulang. Ia sempat marah besar melihat kondisi Ilona. Tapi, pernyataan yang didapatkan adalah, 'Ilona berlari dan jatuh sendiri ke lantai karena tersandung'.
Ya, kala itu Ilona sendiri sangat ingin memprotes. Namun, dirinya lebih ingat pada kondisi tubuh yang tak memungkinkan. Oke, lagipula, Jeanne merupakan orang yang membantunya.
Perempuan itu juga sangat tahu. Count khawatir bukan karena melihat putri kandungnya yang berdarah bercucuran darah. Pria paruh baya itu khawatir, sebab; Ilona adalah sumber kekayaan serta popularitasnya. Sejak Ramos datang ke sini, semuanya memang berubah.
"N–nona." Suara Audrey mengagetkannya. Membuka pintu kamar dan berjalan mendekati Ilona. "Tuan Count bilang, boleh … asal, tetap berhati-hati, Nona."
Ilona memperlihatkan tatapan kekagumannya. Jika boleh diungkapkan, ia merasa begitu senang. "Bagaimana jika latihan berkuda?"
"N–nona … yang itu sepertinya, tidak bisa."
"Oh, oke. Aku mengerti."
"Anda akan ke mana, Nona?" Audrey bertanya. Melihat pergerakan Ilona yang tampak bersiap-siap dan hendak keluar kamar.
Ilona menghentikan langkah. Menoleh ke belakang. "Ke kamar Kak Jeanne."
Jawaban itu dapat dipastikan membuat Audrey terkejut. Pada akhirnya ia memilih untuk menemani Ilona, takut terjadi apa-apa.
Padahal, hingga kini. Keduanya telah sampai di dalam kamar Jeanne. Dan sebenarnya, Ilona tidak mendapatkan masalah apapun. Audrey terlalu protektif.
Jeanne. Perempuan itu duduk di kursi depan meja yang sederhana. Lantas menatap ke arah Ilona dan dayangnya yang baru saja ia izinkan masuk.
"Kakak." Ilona memanggil terlebih dahulu. Nadanya ia buat seriang mungkin.
Jeanne tidak goyah. Ia malah memberikan ekspresi seperti biasanya. "Apa?"
Ilona melangkah mendekat. "Terima kasih. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih pada Kak Jeanne."
Perempuan itu mengernyitkan dahinya, setengah tak suka. "U–untuk? Aku sama sekali tak pernah berniat membantumu." Ia berkilah.
"Untuk semuanya. Terima kasih, Kak. Anda sangat baik." Ilona tersenyum lembut. Untuk pertama kalinya, ia mengutarakan perasaan yang begitu tulus kepada antagonis.
"A–ah." Jeanne terdiam. Bibirnya mengatup rapat tanda tak bisa membalas kembali. Ia hanya mengalihkan pandangan.
"Terima kasih atas waktunya, Kak. Saya permisi." Ilona menundukkan kepalanya kemudian menegakkan kembali. Membalikkan badan untuk keluar dari dalam kamar Jeanne. Disusul oleh Audrey yang sejak tadi hanya menonton pemandangan. Diakhiri dengan dayang itu, yang menutup pintu pelan.
"Ya …." Ini adalah suara Jeanne yang menjawab. Perempuan yang duduk sendirian di kamarnya.
Di lorong kediaman, Ilona hanya diam dan berekspresi seolah tak ada yang terjadi. Ingin rasanya Audrey bertanya, tetapi dirinya enggan.
"Audrey."
"Ya, Nona?"
"Tolong kirimkan makanan ke kamarku. Aku akan makan di dalam."
Setelahnya, Ilona masuk ke kamar. Menutup pintu kembali dan menyisakan Audrey yang kebingungan.
[Nona Ilona … keluar kamar, hanya untuk berterima kasih pada Nona Jeanne?]
Di dalam kamar, Ilona duduk di kursi seperti biasanya.
Bukan tanpa alasan ia berterima kasih pada kakak tirinya itu.
Jeanne telah membantunya. Ia bahkan rela menentang ibu tiri, untuk menyelamatkan kehidupan Ilona. Tentu, apa yang akan terjadi, jika Jeanne bahkan tak menolong Ilona?
"Dia orang yang baik." Ilona bergumam.
Tas itu. Semua tas yang ada di gudang kecil belakang kediaman.
Ilona tahu itu adalah milik Jeanne. Isinya ada beberapa mata uang, barang-barang, kemudian gandum yang setiap bulannya diisi, juga diambil.
Ilona tidak mengatakan bahwa Jeanne mencuri. Perempuan itu hanya … mengumpulkan, dari semua hal yang ia dapatkan di kediaman ini. Itu sebabnya, bahkan kamar Jeanne terasa begitu longgar. Bukan karena kamarnya yang luas. Tapi, karena barangnya yang tak seberapa.
Jeanne. Dia adalah yang tertua dari kedua adiknya. Ilona tahu bagaimana kisah Jeanne, yang sempat diceritakan sekilas pada novel.
Dulu, saat ibu tiri belum menikah dengan Count. Jeanne adalah perempuan yang selalu berusaha memberikan makan dan juga kebutuhan adik-adiknya. Bahkan, ibu tirinya sekalipun. Memiliki banyak sekali masa kelam, bahkan jika dibandingkan, hidup Ilona lebih layak dari Jeanne.
Jeanne selalu merasa dirinya 'mati'. Hanya menatap ke arah berbagai kehidupan bahagia orang-orang yang dilaluinya. Hidup Jeanne hanya untuk membuat kedua adik dan ibunya merasa kenyang. Sebagai anak sulung.
Ibunya? Ibunya juga selalu bekerja, sangat. Ia mengerahkan semuanya untuk mendapatkan uang. Tapi, bahkan dirinya pernah sakit-sakitan sehingga Jeanne merasa tak tega. Sejak saat itu, Jeanne adalah tulang punggung satu-satunya.
Lalu, begitu ibunya menikah dengan Count, apa yang dirasakan Jeanne? Perempuan itu bahagia. Melihat adik-adiknya dan ibunya bahagia. Hidup berkecukupan bahkan dapat makan tiga kali sehari.
Mereka tak mengharapkan kasih sayang Count. Mereka senang bukan karena hal itu. Mereka senang … karena tak perlu hidup seperti sebelumnya lagi.
Sebagai orang yang hampir memiliki nasib yang sama dengan Jeanne, Ilona berusaha pengertian.
"Yah. Memang tepat aku menjadi tokoh utama. Ternyata, diriku ini memiliki hati yang sangat baik." Ilona berusaha memuji dirinya sendiri.
***
Pagi ini, secara tiba-tiba. Sama seperti sebelumnya.
Kedatangan Putra Duke Frederick tak henti-hentinya membuat orang-orang kediaman terkejut.
Dia datang bersama Albert, yang mungkin saja merupakan orang kepercayaannya. Menanyakan keadaan Ilona, dan hendak mengajaknya ke Kerajaan.
Tentu, hal itu menambah kekagetan orang-orang.
Karena itu pula, sekarang Ilona sudah tampil menawan dengan gaun barunya. Berdiri menghadap Ramos. Pria tinggi dengan seragam bangsawannya yang selalu membuat terpana.
"Ayo." Bahkan tanpa basa-basi, pria itu langsung mengajak Ilona pergi.
Kemudian dengan pasrah pun, Ilona menganggukkan kepala. Ia diberikan waktu untuk pamit kepada keluarganya dahulu. Padahal, Ilona sama sekali tak ingin melakukan hal tersebut.
Ramos benar-benar tak bercanda. Ia mengajak Ilona seperti yang sebelumnya ia katakan. Bahwa, ia ingin agar Ilona menjadi pendampingnya, untuk ke sebuah acara di Kerajaan.
Lalu, Ilona tahu. Pasti, pembicaraan tadi, tak ada yang mengungkit mengenai Ilona yang sakit sebelumnya.