Chereads / Memanfaatkan Tokoh Pria / Chapter 11 - Mulai Mengambil Alih

Chapter 11 - Mulai Mengambil Alih

Orang kota yang tinggal di bawah jembatan. Kemudian menjadi seorang putri Count yang tak dipedulikan. Apa jadinya?

Tentu saja, kekacauan akan terjadi. 

Seperti di acara sederhana makan malam ini. Di mana pada sebuah ruangan minimalis dengan meja serta kursi ditata. Ruang makan khas bangsawan kelas bawah. 

Meski pun begitu, yang namanya bangsawan, ya, bangsawan. Mereka memiliki ego untuk tetap harus elegan dengan cara masing-masing. Padahal kediaman ini tidak begitu luas. Hanya gabungan dari luas dua toko bakery sederhana yang biasa Ilona lihat— di kehidupan sebelumnya. 

"Ayah, aku mau kamar yang layak."

Dimulai dari sebuah protes dari Ilona. Suasana makan malam tersebut berubah penuh kecaman. Apalagi saat ibu tiri menghentikan aktivitasnya, dan menatap tajam ke arah Ilona. 

Hening tuk menunggu Count yang menata kenyamanan duduknya. Pria paruh baya tersebut berdehem cukup keras. Tak pernah terpikirkan sebelumnya; bahwa putri lugu akan bersikap seperti ini. 

"Bukankah kamarmu sudah cukup?" Ia bertanya tanpa ada rasa bersalah.

Ilona tidak mau mengalah dengan gelengan kepalanya. "Kamar saya bahkan tak layak. Jika Ayah tidak percaya, Ayah bisa membandingkan bagaimana kamar saya dan kamar Sherly, Kak Shilla, ataupun Kak Jeanne."

"Ilona, Sayang. Kenapa kau-"

"Diamlah. Saya hanya meminta hak saya saja sebagai putri kandung ayah. Apakah memberikan saya kamar yang lebih baik, merupakan sebuah kesalahan besar?" Kini Ilona mulai memprovokasi. Menghentikan aksi ibu tiri yang tadinya bersikap lembut. Wanita penuh perhiasan palsu itu menggertakan giginya. Menahan kekesalan. 

"Hem, baiklah. Jika itu yang kau inginkan. Hanya sebuah kamar. Kau bisa menggunakan kamar ibumu jika ingin."

Perkataan Count membuatnya tersenyum senang. 

Tidak perlu diragukan lagi. Count memang orang yang terkadang keras. Tapi, pria paruh baya itu terlalu tidak peduli dengan putrinya. Apalagi dengan ketiga saudari tiri. 

Menjadikan hal tersebut, sebagai sebuah kesempatan. 

"Terima kasih, Ayah. Saya senang sekali."

Mendapati Count yang mengangguk seraya tersenyum, membuat Ilona merasa— bahwa dirinya memang tokoh utama. 

Perempuan itu melanjutkan makanannya. Mengabaikan semua pandangan yang ibu tiri juga tiga saudari tiri berikan. 

Jika dilihat secara baik-baik, Count bukanlah seseorang yang membela salah satu sisi. Dia tidak peduli, dan hanya berada di tengah-tengahnya saja tanpa memiliki niat apapun. Pria paruh baya tersebut— memang lebih mementingkan pekerjaan, dan bagaimana cara memperoleh banyak harta dari kerjanya. 

Tak heran. Count Berenice menjadi salah satu bangsawan Count; yang kekayaannya berada di atas rata-rata seorang bangsawan bawah. 

Dia sangat pintar mengembangkan bisnis busananya. Bahkan, mungkin beberapa minggu lagi, ia sudah mulai merencanakan bisnis baru. Hanya saja, semua ilegal.

***

Count benar-benar serius dan bersungguh-sungguh. 

Ilona kini memiliki kamar tidurnya yang layak. Luas, lebih bersih daripada kamar tiga saudari tirinya. 

Bahkan ranjangnya tak lagi hanya sebuah dipan. Kali ini, terasa lebih nyaman meskipun, yah, tidak terlalu nyaman juga. Tapi cukup baginya.

Jika begini, Ilona menjadi lebih tenang. Dia bisa tiduran di atas ranjang, seraya memikirkan berbagai hal. 

Ilona harus memiliki rencana. Memikirkannya, dan membuat rencana sebaik serta sedetail mungkin.

Berada di dunia yang rasanya masih sangat fana. Ilona harus berhati-hati, agar tidak terjerembab pada hal-hal yang tidak diinginkan.

"Plan ke- 1, buat semua orang di kediaman ini takut padaku. Tak semena-mena, dan juga memiliki batasan. Sebelum akhirnya ada kejadian itu— yang akan membuatku menjadi cinta pertamanya, Ramos." Ilona bergumam sendiri sembari tiduran. 

"Lalu, plan ke- 2. Langsung dekati terus Ramos dan buat pria itu sangat jatuh cinta. Kemudian hidup bahagia."

Sekarang, Ilona merubah posisi berbaring menjadi terduduk di atas ranjang. Ini sudah larut malam, dan mungkin hanya Ilona— nona yang masih terjaga.

"Tapi, sekitar dua tahun lagi, Count akan bangkrut. Bisnisnya yang ilegal diketahui oleh bangsawan kerajaan. Setelah semuanya lenyap, Count dan ibu tiri juga akan diberikan hukuman. Lalu aku dan ketiga saudari tiri, terpaksa terlantar dan menjadi pelayan bawah pada suatu kediaman. Kediaman Duke Frederick. Saat itulah, aku dapat bertemu terus-menerus dan membuat Ramos jatuh cinta padaku. Tapi … bukankah itu terlalu klasik? Rasanya jauh lebih buruk bila aku hanya menunggu, meskipun Ilona yang ini tidak akan bisa ibu serta saudari tiri permainkan."

Ilona menghela napas ringan. Ternyata, beban hidup di dunia novel dan dunianya dulu tak jauh berbeda. 

"Tapi, jika aku melakukan plan ke- 2, akan terasa jauh lebih ekstrim juga. Jika alur kubuat lebih cepat, apakah ada hal yang akan terjadi? Aku tidak tahu. Lalu, bisakah Ramos benar-benar tetap jatuh cinta padaku? Jika menjalankan plan ini, berarti aku harus terus-menerus membuat rencana tak sengajaan bertemu dengan Ramos. Setidaknya … mungkin meminta tempat tinggal dan perlindungan pada seorang Putra Duke, adalah hal yang mudah."

Ilona tersenyum. Sepertinya, plan ke- 2 jauh lebih mudah dilakukan. 

Dia hanya perlu mengingat-ingat isi novel. Kemudian, mencerna di mana saja tempat atau kejadian yang terdapat Ramos scene. 

Hanya saja … scene Ramos terlalu sedikit! Semua scene dari tokoh utama pria begitu tertutup.

Sebagian besar isi novel, adalah mengenai bagaimana penderitaan Ilona saja. Penulis bahkan tidak memberikan clue atau hal-hal lain mengenai tokoh sampingannya. 

Kemudian Ilona semakin larut ke dalam pemikirannya sendiri. Terus bertarung kuat melawan hari yang semakin larut. Rencana yang tepat, adalah sesuatu yang Ilona butuhkan. 

Menjadi tokoh utama itu mudah, karena pasti akan berakhir dengan kebahagiaan. Tapi, sebagai orang yang baru pertama kali atau tiba-tiba 'isekai', Ilona sangat mempertimbangkan segalanya. 

Dia masih ragu. Seolah dunia novel yang terasa fana serta nyata ini sangat rapuh. 

Terlalu berkutat dengan pikirannya sendiri, Ilona sampai tak menyadari bahwa; hari sudah pagi. Perempuan itu belum tidur sama sekali. Ya, mungkin sudah, tetapi hanya sebentar. 

Sampai-sampai ketika Ilona sudah mandi dan duduk pada salah satu kursi— yang mengelilingi meja makan. Sebuah fenomena yang orang-orang lihat mengerikan. 

Karena kursi yang Ilona duduki, adalah kursi yang biasa ibu tiri gunakan. 

[Memang kenapa? Tidak ada yang salah sama sekali.]

Ilona mengeluh dalam pikirannya. Dia baru saja bangun tidur dan dibasuh air dingin, tetapi kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul. 

"Ilona. Ini adalah tempatku."

Ketika Ilona menatap ke samping, sudah ada wajah ibu tiri yang marah. 

"Lalu, Ibu? Mengapa? Lagipula, masih ada kursi lain di ruang makan ini," ujar Ilona lugu. 

"Itu adalah kursi yang biasa ibu pakai, jadi.jangan duduk di situ." Sherly yang baru saja datang membela ibunya. 

"Kenapa? Bukankah hanya saya di sini yang memiliki darah dari Count? Tapi, ketika hanya duduk di kursi yang saya suka, semua mengatakan tidak boleh. Apa saya harus mengatakannya pada ayah?" Ilona mulai berkaca-kaca. Tidak terlalu jelas sebenarnya, tetapi tetap dapat dilihat. 

"K–kau!" 

Tudingan yang ibu tiri berikan, sama sekali tak merusak mental dan raga Ilona. 

[Aku pintar berakting, rupanya.]