Tidak salah lagi. Ternyata tokoh antagonis di cerita ini cukup pintar.
Begitu Ilona keluar dari dalam kamarnya, ia sudah dihadang oleh Jeanne dan Shilla. Tanpa diberi tahu pun, Ilona sudah lebih dulu mengetahuinya. Ya, apa lagi?
"Berkatalah yang jujur, kenapa kau bisa langsung berubah seperti ini?" Jeanne yang bertanya-- seperti biasa.
"Berubah? Maksud Kakak, berubah bagaimana? Saya tidak mengerti."
"Ilona, hentikan. Jawab yang benar!" Shilla sudah mulai menunjukkan kekesalannya.
"Saya menjawabnya dengan benar, Kak."
Jeanne menghembuskan napas. Sudah Ilona duga, perempuan itu memang yang paling dapat bersikap dewasa.
"Oke. Ilona, aku memberimu satu kesempatan lagi. Kau … sungguh sangat aneh. Setelah bangun karena sempat pingsan secara tiba-tiba. Aku bahkan berpikir, bahwa kau … sakit. Benar tidak?" Perkataannya menyindir luar biasa. Tidak ada bedanya dari saudari-saudarinya.
Ya, tetapi Ilona mengakui kepintarannya. Jika jadi Jeanne pun, ia akan melakukan hal yang sama. Maksudnya, bertanya, mungkin saja setelah pingsan ada sesuatu yang salah.
"Itu wajar bagi seseorang untuk terus berubah lebih baik, Kak. Saya hanya merenung, kemudian menyadari. Saya tidak ingin selalu ditindas. Saya ingin menjadi kuat," jelas Ilona dengan sedikit perubahan.
Puas mendapati wajah Jeanne dan Shilla yang terkejut. Barulah, Ilona mulai melangkah ke depan meninggalkan keduanya. Ada beberapa gumaman dari mereka, yang sama sekali tidak Ilona pedulikan.
Tindakan Ilona kali ini cukup beresiko. Di pagi hari, perempuan itu sudah berani mengetuk pintu ruang kerja Count. Apalagi ketika terdengar suara Count yang menyahut, pertanda itu adalah izin dari yang ada di dalam ruangan.
Ilona membuka salah satu pintu. Kemudian menutupnya kembali setelah dirinya masuk ke dalam. Memberikan senyum cerah pada Count, ayahnya.
Ruang kerja ini tidak terlalu luas, sebenarnya. Sama seperti pada umumnya. Hanya sebuah ruangan, yang diberi meja serta kursi biasa. Kemudian dengan dua buah rak yang berisi beberapa hal-hal penting.
Ini pertama kalinya bagi Ilona masuk ke ruangan ini. Ketiga saudari tirinya bahkan tak pernah melakukan hal yang Ilona lakukan.
Count menghentikan aktivitas menulis-nya. Beralih untuk menatap ke arah depan, di mana putri kandungnya berdiri.
"Ada keperluan apa?" Pertanyaan itu langsung to the point.
Sehingga, mau tidak mau, Ilona harus menjawabnya pula.
"Em, sebenarnya, saya ingin meminta izin persetujuan dari Ayah. Jika boleh, saya sangat ingin belajar menunggangi kuda. Kuda yang paling lemah pun, tidak apa. Saya hanya ingin belajar …?" Ilona dengan sengaja menautkan kedua jarinya. Seolah dirinya merasa gugup, dengan bibir bawah yang digigit pelan.
Count sedikit terusik. Pasalnya, kuda di kediaman Berenice ini bisa dihitung dengan jari. Lagi pula, Ilona akhir-akhir ini— meski Count tak terlalu memperhatikannya— tetap saja terasa menonjol. Ilona semakin aneh.
"Kau semakin aneh. Kuda hanya tersisa sedikit di kandang, tak terlalu banyak. Boleh, asal kau tidak membuat masalah."
Jawaban dari Count cukup membuat Ilona puas. Perempuan itu tersenyum, sebab ada kata 'aneh' yang Count lontarkan. Yah, ternyata Ilona tidak begitu pandai dalam hal berakting.
"Terima kasih banyak, Ayah."
Count menganggukkan kepalanya tak peduli. "Kau belajar dari pengurus kandang kuda. Dia juga pasti tahu cara berkuda " Pria paruh baya itu berujar.
Sementara, Ilona menganggukkan kepalanya. "Tentu, tidak apa-apa, Ayah. Terima kasih." Ia tersenyum riang. "kalau begitu, saya permisi."
Setelahnya, langsung keluar dari ruang kerja Count.
Ilona akan mencoba suasana baru. Tidak perlu bertanya di mana letak kandang kuda. Sebab hanya dengan ingatan tubuh tokoh utama, Ilona dapat mengetahuinya.
Perempuan itu tidak sembarangan ingin berkuda. Ilona memiliki tujuan khusus.
Di sini, di dalam novel ini, keahlian berkuda sangatlah penting. Ilona beberapa kali merenung, dan mengingat-ingat mengenai semua plot novel yang dibacanya. Kebanyakan dari masalah dalam novel, adalah hal-hal yang mengejutkan atau mendebarkan. Maksudnya, yah, cara yang mudah untuk meminimalisir kejadian seperti itu dengan; berkuda.
Ilona harus mahir dalam hal tersebut.
Kandang kuda berada di luar bangunan, ternyata. Ada di belakang kediaman, tempatnya tidak terlalu bersih. Yah, cukup sebenarnya. Luasnya juga sederhana, tidak sempit, juga tidak lebar.
Ilona dapat melihat sebuah kandang berpagar kayu. Di sanalah, ia dapat melihat ada sekitar tiga kuda yang bersemayam.
Yah, tidak ada yang bisa diharapkan. Kuda-kudanya memang jauh dari kata 'Waw'.
Ilona sampai berpikir, bahwa ia akan mengurungkan niat berlatih berkuda.
Seorang pria dengan sepatu panjang — boots dan juga topi, menyadari akan keberadaan Ilona. Lengan bajunya digulung ke atas, lalu berjalan mendekat; keluar dari pagar kandang kuda.
"Nona. Apa yang Anda lakukan di sini?" Pria paruh baya itu tampak terkejut. Tapi, suaranya penuh pengertian.
Ya, Ilona tahu. Pria paruh baya itu baik. Ada beberapa ingatan mengenai dirinya yang terkadang membantu Ilona.
Ilona menggelengkan kepalanya lembut. "Tidak. Saya hanya … ingin belajar berkuda …?"
Entah karena apa. Tapi, jawaban dari Ilona barusan membuat pria paruh baya tersebut— terkejut.
"Belajar berkuda? Untuk apa, Nona? Kuda-kuda yang ada di kandang ini, tidak terlalu baik. Maksud saya–"
"Tidak apa-apa. Saya berkuda juga bukan untuk memamerkannya pada sebuah acara atau apapun itu. Saya hanya ingin belajar saja, di sini. Di belakang kediaman," ucap Ilona memotong.
Pria paruh baya itu terdiam. Tapi, kemudian menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu, baiklah. Saya akan membersihkan kuda untuk Anda," ucapnya disertai senyuman lembut.
Ilona cukup kaget. "Tapi, bukankah Anda tadi baru saja mencuci ketiga kuda itu? Saya melihatnya."
Yang Ilona dapatkan lebih mirip sebuah kekehan lembut. "Tidak apa-apa. Akan jauh lebih nyaman belajar, jika kuda yang ditunggangi bagus, Nona," ujarnya baik hati. "Nona duduk di bangku sana terlebih dahulu saja. Atau jika tidak, beristirahat di dalam. Nanti saya akan ke sana dan memberitahu Nona jika kuda telah benar-benar bersih."
Ilona menggeleng kepalanya. "Tidak. Saya akan duduk di bangku sana saja seraya menunggu. Terima kasih."
Lalu seperti yang dikatakan.
Ilona duduk pada sebuah bangku kayu panjang. Kemudian di dalam kandang, pria paruh baya itu melakukan pekerjaannya.
Memang, rasanya cukup menyengat. Banyak sekali bau dari kandang yang bisa membuat seseorang tak tahan. Tapi, tidak apa.
[Namanya juga tokoh utama. Selalu tersakiti. Lagipula, mungkin 'aku' yang lalu, jauh lebih tersakiti dari ini.]
Baru sebentar Ilona duduk, perempuan itu sudah berdiri. Dia berjalan ke arah samping, di pojok dekat dengan semak-semak.
Ada sebuah tempat mirip gudang yang luasnya seukuran toilet umum. Terbuat dari kayu, dengan ventilasi bagian atas.
Ilona penasaran, apa fungsi dari tempat kecil tersebut?
Karena rasa penasaran pun, Ilona berakhir membukanya. Tidak terkunci. Tapi, perempuan itu tadi perlu untuk mengambil sebuah benda di bawah pintu yang mengganjal. Sehingga kini pintu dari kayu itu terbuka.
Ukurannya di dalam begitu mungil. Hanya ada beberapa … tas berukuran cukup besar?