Semuanya berlalu sangat cepat. Termasuk ketika Ramos yang membantu Ilona berdiri. Memapah perempuan itu dengan hati-hati.
Ilona yang hampir saja menangis karena tamparan dari Count, harus ia urungkan. Mana mungkin dirinya akan menumpahkan air mata, di hadapan pria setampan ini?
"Tidak apa-apa?"
Ilona menggelengkan kepala pelan. Ramos bertanya, dan dirinya harus berbohong. Tentu saja ini sakit, sangat! Tapi, seperti kebanyakan perempuan lainnya, Ilona malah berbohong. Hal itu memang selalu reflek dilakukan.
Ramos memindahkan tatapannya pada Count. Pria paruh baya yang bahkan kini tidak sanggup untuk berdiri. Kedua mata dengan ujung yang telah berkerut itu menatap ketakutan. Seakan sedang tertangkap basah melakukan tindakan ilegal.
Tanpa berkata-kata lagi. Count langsung menjatuhkan dirinya di lantai. Bersimpuh ketakutan.
"T–tuan … mohon maaf! Mohon maaf! Saya benar-benar tidak sengaja! Saya–"
"Ya, kau memang tidak sengaja. Sangat tidak sengaja sampai-sampai masih berani menatap tajam putrimu." Tatapan pria itu sungguh tajam. Menusuk tepat keberanian dari Count yang angkuh.
"T–tuan! Tidak, saya—"
"Albert," potong Ramos.
Seorang pria tak kalah mempesona berjalan mendekat. Ia menaruh telapak tangan kirinya ke dada kanan secara menyilang. Kemudian menghormat pada Ramos.
"Ya, Tuan."
"Perintah semua orang yang ada di sini untuk pergi. Terserahmu, yang penting, mereka tidak akan mengganggu pemandanganku," ujar Ramos.
Pria tinggi yang dipanggil Albert itu menganggukkan kepalanya. Lantas dirinya menatap ke belakang, di mana yang langsung semua orang mengerti apa maksudnya.
Semua yang tadinya menjadi penonton ketakutan, tanpa berpikir panjang lagi langsung berlari masuk ke dalam. Meninggalkan ruang utama yang dapat membuat jantung berdetak kencang. Entah itu; para dayang, tiga saudari tiri, ibu tiri, bahkan paman penjaga kandang kuda yang memilih keluar kediaman sekalipun.
Hanya masih meninggalkan Count, yang sepertinya ingin membela diri pada Putra Duke Frederick.
"T–tuan. Tolong dengarkanlah saya terlebih da—"
"Anda tidak boleh melawan," ucap Albert tenang. Menatap pada Count yang sudah dibantu dua pengawal untuk meninggalkan ruang utama ini. Wajah pria paruh baya itu awalnya marah, Count meradang. Tapi, ia tahu bahwa dirinya tidak bisa melawan. Jadi berakhir untuk lantas pasrah dan meninggalkan ruang utama ini.
Bagaimana pun juga, Count tidak akan bisa melawan Putra Duke. Terlebih, jika orang itu merupakan Ramos Frederick.
Sama seperti tadi. Albert memberikan penghormatan, sebelum akhirnya berjalan pergi. Tampaknya, pria tenang itu menuju ke luar kediaman. Maksudnya, akan menunggu di depan sana.
"Duduk?"
"O–oh … ya …." Terlalu serius serta terpana memperhatikan hal yang baru saja terjadi. Ilona sampai tidak sadar, bahwa Ramos masih berada di dekatnya. Salah satu tangan pria itu melingkar di memegangi pinggang Ilona. Lalu satu tangannya lagi, menggenggam tangan Ilona untuk menjadi keseimbangan perempuan itu.
Ramos membantunya untuk berbalik. Tapi, ketika hendak membantu berjalan, Ilona malah menghentikan.
"Saya bisa sendiri. Sebenarnya tidak terlalu sakit," ucap Ilona.
Namun, jawaban yang ia dapatkan hanyalah tatapan tak percaya. Menganggap bahwa ucapan Ilona sekedar basa-basi seperti lainnya.
Bahkan, ini rasanya seperti diremehkan. Ramos malah tak peduli dan tetap membantu Ilona berjalan.
Jangan memaki. Karena yang dilakukan Ilona selanjutnya adalah; menghembuskan napas secara kasar.
"Saya sungguh tidak apa-apa. Tidak perlu dibantu," ucapnya kesal.
[Yang sakit itu pipiku, bukan kakiku!]
"Jangan berbasa-basi atau memaksakan diri." Ramos malah berucap— seakan perkataannya benar.
Terpaksa. Kali ini dengan kasar Ilona langsung berjalan ke depan sendiri. Melepaskan diri dari pria itu yang mencoba membantu.
Ilona menatap ke belakang. Tepat ke arah Ramos.
"Mohon maaf sebesar-besarnya, Tuan. Tapi, yang sakit adalah pipi saya. Bukan kaki saya. Yang bengkak adalah pipi saya, dan bukan kaki saya," ujarnya cukup lantang. Dengan kepercayaan diri meningkat, tetapi setelah mengatakannya, kepercayaan diri Ilona langsung menurun drastis.
[Mulutku tidak ada rem-nya!]
Jujur saja, Ilona ingin menangis saat Ramos sudah mengubah ekspresi.
Pria itu membuat suasana jadi semakin aneh. Bahkan, bibirnya kini perlahan terbuka.
Hal yang langsung menjadi ancaman bagi Ilona.
[Gawat! Dia marah? Kalau dia marah, keterlaluan sebenarnya. Putra Duke tetapi pemarah, pendendam.]
"Maaf. Sebenarnya, saya tidak bermaksud mengatakannya, sungguh, Tuan," ucap Ilona kemudian. Lihat saja. Kalimatnya bahkan hampir mirip seperti tadi Count katakan.
[Apa aku harus kalah? Berpura-pura bahwa benar kakiku juga sakit?]
Kini, di kepala Ilona hanya dipenuhi oleh ide-idenya.
Ramos menggelengkan kepala. "Kalau kakimu tidak sakit, maka duduklah sendiri."
Ilona menganggukkan kepalanya. Seperti apa yang Ramos katakan, perempuan itu duduk di sofa dengan mudahnya. Sama sekali tidak ada kesulitan. Membuktikan bahwa kaki Ilona benar-benar tidak sakit.
Sementara Ramos berjalan mendekat. Ia menyimpuhkan salah salah satu pahanya ke lantai. Tepat di bawah kaki Ilona.
Pria itu mendongak. Rambutnya berwarna hitam dengan bagian warna ungu tua di ujung-ujungnya. Ia seperti ragu untuk mengatakan sesuatu.
"Pipimu masih sakit?" tanya Ramos.
Helena … berakhir menganggukkan kepala. Karena pasti sekarang, pipi putihnya itu sudah mendapatkan bekas luka tamparan. "Iya."
"Mau kuobati?" tawarnya. "akan kusuruh Albert untuk mengambilkan obat."
Ilona dengan secepat kilat menaruh kedua telapak tangannya di depan dada. Kemudian menggerakkannya cepat ke kanan- dan kiri, pertanda sebuah penolakan.
"Tidak, tidak usah. Saya bisa mengatasinya sendiri, Tuan." Ilona bahkan memberikan bonus senyumannya.
Lama Ranos menatap. Sampai akhirnya pria itu menganggukkan kepala. "Baiklah."
"Em, tapi …." Ini kesempatan bagus. Ilona menggunakan moment untuk dirinya sendiri. Ia sedikit memilin gaunnya, menatap ke depan di mana ada wajah Ramos yang tampan.
"Bolehkah saya berbicara dengan Anda sebentar, Tuan? Hanya sebentar," ucap Ilona dengan nada lembut. Wajah lugunya pun sangat mendukung. Meski tadi memang sempat berbicara cukup semena-mena.
Ramos menganggukkan kepala. Pria itu sekarang bangkit dari posisinya. Berdiri menatap ke bawah. Di mana Ilona sedang duduk pada sebuah sofa seraya masih terus menatapnya.
"Sebenarnya, ini bukan pembicaraan, mungkin. Seperti sebuah … permintaan?" Ilona memulai perkataannya. "ini tidak akan membuat Anda kesulitan atau merugikan Anda. Hanya permintaan yang pasti sangat mudah bagi Putra Duke lakukan."
"Apa itu?" Ramos menaikkan salah satu alisnya. Penasaran.
"Bolehkah Anda memberikan atau membuatkan saya sebuah tempat tinggal? Tempat tinggal seperti rumah biasa. Tak terlalu luas juga tak apa. Meski, tolong untuk usahakan yang luas. Jika bisa, didekatnya ada ladang, atau apapun itu," jelas Ilona.
"Tempat tinggal? Untuk apa?"
"Tentu saja untuk saya tinggal. Maksud saya, yah, em … ya, rumah." Ilona jadi kebingungan sendiri harus menjelaskan seperti apa. "apa Anda bisa mewujudkannya, Tuan?"
Ramos mengangguk. "Ya."
Saat itu juga, Ilona langsung membulatkan kedua mata. Bahkan senyumannya merekah dengan sempurna. Wajah cantik itu menjadi hal yang menyejukkan.
Ramos mengatupkan bibir.
Sejak kapan jantungnya berdebar kencang?