"Pasien atas nama Fania sudah keluar pak, sudah pulang sejak tadi pagi"
"Tadi pagi ?"
"Iya pak, sekitar jam 06.30 pasien sudah meninggalkan rumah sakit ini"
"Dia dijemput"
"Saya kurang tahu pak kalau masalah itu"
"Baiklah, terimakasih informasinya"
"Sama-sama"
Hendra kembali terdiam, berfikir kemana perginya Fania jika memang sudah pulang sejak tadi harusnya Fania sudah sampai di rumah dan Gina gak mungkin bilang kalau dia sendirian di rumah.
Hendra menggeleng dan melangkah meninggalkan tempatnya, Hendra kembali memasuki mobil dan melanjutkan perjalanannya untuk pulang ke rumah.
Hendra mendadak merasa cemas tentang Fania, apa yang terjadi pada Fania saat ini, dimana Fania sekarang.
Hendra menambah kecepatan laju mobilnya agar segera sampai di rumah, berharap saat dirinya tiba di rumah dan Fania juga sudah berada disana.
----
Fania sendiri masih asyik berada di Restoran bersama Farhan, mereka bercerita banyak hal tentang hidup masing-masing.
Farhan senang melihat Fania bisa bercerita dan tertawa tanpa beban.
"Fan"
"Hemm"
"Kamu mau kan kenalan sama keluarga ku ?"
Fania menganga mendengar pertanyaan Farhan, mereka baru saja bertukar cerita tentang diri mereka dan juga keluarga mereka.
Saat ini juga Farhan memberikan pertanyaan itu, Fania menghabiskan minumannya tanpa bernafas, Fania tak tahu harus menjawab apa pada Farhan.
"Fania"
Farhan meraih kedua tangan Fania, dan menatap dalam kedua mata Fania.
Fania merasakan kembali debaran hebat seperti pertama Fania bertemu dengan Farhan.
"Aku mau kita tidak membuang waktu percuma"
"Maksudnya ?"
"Aku sudah pernah kecewa dan kehilangan, sekarang aku gak mau mengalami itu lagi"
Fania mengernyit, tak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Farhan.
"Dulu aku memcintai seorang wanita yang juga mencintai ku, tapi dia pergi memilih orang lain dengan alasan aku terlalu membuang waktunya, dan sekarang aku gak akan membuang waktu lagi untuk seorang yang aku cintai"
"Terus kamu mau .... "
"Aku mau minta orang tua aku untuk melamar kamu pada orang tua mu"
"Secepat itu ?"
"Kita punya perasaan yang sama Fan, untuk apa lagi kita menundanya"
"Tapi Han, sekarang aku .... "
"Aku akan tetap sama kamu Fan, aku yakin kamu pasti sembuh dan kamu juga harus yakin Fan"
"Tapi aku .... "
"Sudahlah, jangan terlalu difikirkan, aku akan urus itu sendiri karena itu memang urusan ku"
Fania tersenyum dan mengangguk, Fania memang sedang tidak ingin memikirkan hal apa pun untuk saat ini.
Keduanya bangkit dan berlalu meninggalkan restoran setelah semua yang dipesan habis.
----
Hendra memarkirkan mobilnya dihalaman rumah, Hendra melihat Gina sedang duduk di kursi luar dan memang tak ada Fania disana.
"Mah, kalau sakit kenapa diam di luar ?"
"Fania mana Pah ?"
Gina bangkit dan melihat belakang Hendra, tapi tak ada Fania disana.
"Dimana Fania, Papah tidak menjemputnya ?"
"Fania sudah pulang sejak tadi pagi Mah, tadi Papah ke rumah sakit dan dia sudah tidak ada disana"
"Lalu kemana dia, tadi Farhan telpon Mamah katanya dia yang akan jemput Fania tapi sampai sekarang mereka belum juga datang"
Hendra mengangguk mendengar nama Farhan, Hendra merasa lega mendengarnya setidaknya Fania berada bersama orang yang akan menjaganya.
"Ya sudah ayo kita masuk, mungkin mereka sedang berkeliling sebentar lagian kan Fania sudah terlalu lama tidak menghirup udara segar"
Hendra membawa Gina masuk ke dalam rumah, mereka akan melanjutkan mengobrolnya disana.
"Bi, buat kan teh"
"Iya tuan"
"Ayo Mah duduk dulu, Mamah sudah makan"
"Mamah gak lapar, Mamah mau Fania segera pulang"
"Kalau Fania pulang, Mamah tidak boleh seprti ini, Mamah harus kuat, harus terlihat baik-baik saja agar Fania juga tidak drop lagi"
Gina terdiam, air matanya kembali menetes saat ingatannya mengingat perkataan dokter tentang Fania.
"Nangis lagi"
Hendra memeluk istrinya dengan sayang, Hendra mengerti dengan keadaannya.
Jika harus jujur, Hendra juga sangat ingin menangis mengingat keadaan Fania.
Tapi tidak, Hendra harus kuat dan bisa menjadi penguat yang lainnya termasuk Gina dan terutama Fania.
"Sudahlah Gina, kamu harus kuat, berikan kekuatan untuk Fania, kalau kamu terus seperti ini nanti Fania juga akan ikut terpuruk dengan kondisinya sekarang.
"Bagaimana Mamah bisa tenang jika tahu Fania tidak akan lama lagi berada ditengah kita pah"
"Jangan katakan itu Mah, dokter bukan Tuhan, kita jangan terlalu terpaku dengan ucapan dokter"
Gina terdiam, tangisnya semakin dalam, Gina tak bisa membayangkan jika dirinya harus kehilangan Fania.
Putri satu-satunya yang sangat dicintainya.
Fania dan Farhan terdiam mendengarkan pembicaraan mereka, 5 menit lalu mereka telah sampai dan Fania memutuskan tidak langsung menyapanya karena ingin tahu penyebab kesedihan Gina.
"Fan"
"Diamlah"
Farhan terdiam, tak ada yang bisa dilakukannya untuk menentang keinginan Fania saat ini.
"Bagimana Pah, jika waktu Fania habis dan kita harus kehilangan dia"
"Suuttt, Fania gak akan kemana-mana tenanglah, kita harus yakin kalau Fania akan kembali sehat"
"Papah ingat ucapan dokter, kesempatan Fania hidup tak akan bisa lebih dari satu tahun, itu bukan waktu yang lama"
Farhan dan Fania tercengang mendengar ucapan Gina, Fania limbung saat kakinya tak mampu menahan tubuhnya untuk tetap berdiri.
Farhan semakin kaget menyadari Fania terjatuh, Farhan lantas membantu Fania untuk berdiri.
"Tenang Fan"
"Satu tahun Han, apa itu benar ?"
Fania menangis tanpa bisa ditahan, saat menyadari orang tuanya berbalik menatap dirinya, Fania berlalu keluar.
Semua terasa gelap difikiran Fania, tak bisa dipercaya tapi mungkin itu kenyataannya.
"Sejak kapan kalian .... "
"Fania om"
Farhan berlalu menyusul Fania begitu juga dengan Hendra dan Gina.
Farhan menghampiri Fania yang menangis tersedu, Fania begitu lemah saat ini hidupnya begitu rapuh.
Saat mendengar penyakit yang dideritanya, Fania sudah sangat terpukul dan sekarang ditambah lagi kabar terbaru tentang penyakitnya.
"Fan kamu tenang ya, itu pasti salah"
"Sesingkat itukah hidup ku Han, apa hidup ku tidak berarti selama ini sehingga aku diberikan waktu sesingkat sekarang, hanya satu tahun saja"
Farhan tak sanggup menjawab, Farhan hanya bisa memeluk Fania dan berusaha menenangkannya.
Hendra dan Gina semakin sakit melihat keadaan putrinya, Hendra yang selalu berusaha untuk tetap terlihat kuat, kini tak mampu lagi menutupi kesedihannya.
Mereka sama-sama larut dan kesedihan dan kehancuran Fania saat ini, mereka yang tidak mengalaminya pun merasa sangat terpukul bagaimana lagi dengan Fania yang mengalaminya sendiri.
Betapa rapuh Fania saat ini, air matanya tak henti mengaliri pipi mulusnya.
Tiada daya lagi bagi Fania menjalani hidupnya untuk saat ini, Fania benar-benar hancur karena keadaannya sendiri.
Fania masih memiliki banyak mimpi, tapi apakah bisa Fania mewujudkan semuanya dalam waktu sesingkat itu.