Sahabat Fania saat ini berkumpul di rumah Fania, mereka berniat menjenguk Fania setelah lama tak menjenguknya karena kesibukan kuliah.
Andra juga berada disana dan termasuk juga Farhan, mereka berkumpul untuk bertemu Fania tapi sayang Fania tak ingin menemui salah satu pun dari mereka.
Hendra dan Gina pun telah habis cara untuk membujuk Fania, sejak kejadian siang itu dimana Fania mengetahui kabar tentang dirinya, Fania semakin terpuruk dan enggan untuk bertemu siapa pun.
"Tante sebenarnya ada apa, kenapa Fania seperti ini, waktu di rumah sakit Fania masih mau dijenguk sama kita"
Tanya Raka penasaran, mereka memang belum mengetahui kabar Fania begitu juga dengan Andra.
Baru hari ini Andra bisa datang ke rumah Fania untuk bertemu dengannya tapi sayang Andra justru tak bisa melihat Fania sekejap saja.
"Fania sudah tahu kondisinya sekarang ?"
"Bukankah sejak pertama masuk rumah sakit juga Fania sudah tahu kondisinya dan juga sudah membaik kan"
Wulan juga tak kalah penasaran dengan keadaan Fania, Gina berusaha tegar menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan padanya.
"Iya Fania memang tahu tentang kondisinya, tapi saat itu Fania hanya tahu penyakitnya saja"
"Lalu apa lagi tante, memang ada yang lain ?"
Tambah Gilang, semua yang ada disana sangat penasaran dengan kabar yang tidak mereka ketahui tentang sahabatnya itu.
"Waktu Fania masuk rumah sakit ke dua kalinya, dokter bilang kalau kesempatan hidup Fania sangat singkat"
"Apa maksudnya ?"
Anggi ikut bersuara menambah pertanyaan yang harus Gina jawab.
"Dokter bilang, dikondisinya sekarang, kesempatan hidup Fania tak kan bisa lebih dari satu tahun"
Gina benar-benar tak sanggup lagi bersikap kuat dan tegar, air matanya kembali mengaliri pipinya.
Semua tersentak mendengar ucapan Gina, tak percaya dengan apa yang mereka dengar, terpancar dari tatapan yang saling mereka lemparkan satu sama lain.
Andra menunduk dan menutup wajah dengan kedua tangannya, Andra berharap ini cuma mimpi dan Andra akan kembali ke dunia nyata dimana Fania berada dalam kondisi sehat dan baik-baik saja saat Andra membuka matanya nanti.
"Han, lo tahu tentang ini ?"
Farhan mengangguk menjawab pertanyaan Yuda, sejak tadi Farhan hanya berdiam diri tak berbicara atau bahkan menunjukan pergerakan sedikit pun.
"Kenapa lo gak kasih tahu gue ?"
"buat apa, lo juga gak akan bisa berbuat apa-apa kan ?"
Yuda mengernyit mendengar jawaban Farhan, Yuda menggeleng tak mengerti dengan semuanya.
Andra berlalu tanpa permisi pada siapa pun, Andra menaiki tangga rumah menuju kamar Fania.
Andra tak bisa menerima semuanya, penyakit itu kabar itu, semua tak bisa diterimanya.
Andra mengetuk pintu kamar Fania, sangat berharap jika Fania akan membuka pintunya.
1 menit 2 menit 3 menit sampai dengan 10 menit Andra menunggu dan terus mengetuk pintu kamar tapi tetap saja tak ada respon dari Fania.
"Fan, buka Fan, gue ingin bicara sama lo, Fania sebentar saja izinkan gue masuk Fan tolong buka pintunya Fan"
Andra menunduk ke pintu masih dengan harapan Fania akan membuka pintunya sehingga Andra bisa bertemu dengannya.
"Fania, lo dengar gue kan, buka Fan sebentar saja untuk kali ini biar gue masuk Fan"
Andra mengepalkan tangannya dan menggedor pintu dihadapannya, Andra tak peduli dengan tanggapan orang lain apa lagi pemilik rumahnya.
"Lo buka Fan, buka pintunya lo gak usah pura-pura tuli untuk tidak mendengar perkataan gue, buka Fania lo dengar gue kan ayo buka Fan, Fania buka gue mohon Fan"
Tanpa mendengar jentrekan kunci, Andra jatuh tersungkur ke dalam saat pintu tiba-tiba terbuka.
Andra melihat sekitar dan melirik Fania yang diam berdiri tanpa ekspresi.
"Fan, lo buka pintunya"
Andra bangkit dan langsung memeluk Fania, Andra tak bisa menahan sakitnya mengetahui kondisi Fania saat ini.
"Lo baik-baik saja kan Fan ?"
"Lo sudah tahu semuanya kan, untuk apa bertanya lagi ?"
Fania melepaskan pelukan Andra, Fania tak ingin siapa pun ada didekatnya saat ini.
"Fan, gue .... "
"Lo tahu kan kondisi gue sekarang, mending lo pergi dari sini gak usah temui gue lagi"
"Lo kenapa Fan, lo jangan seperti ini"
"Lo yang bilang dulu bahkan lo sering bilang kalau lo gak punya siapa-siapa lagi selain gue, dan sekarang lo tahu kondisi gue jadi mending lo menjauh dari gue, dan belajar hidup tanpa gue agar nanti saat gue pergi lo gak akan merasa kehilangan Dra"
Andra tersenyum acuh, Andra tak ingin mendengar perkataan Fania.
Apa pun itu Andra tak ingin mendengarnya, Andra hanya ingin bersama Fania saat ini.
"Ayo pergi"
"Gue gak akan pergi"
"Pergi gue bilang"
"Lo gak bisa seperti ini Fan, lo harus hadapi semuanya bukan menghindarinya"
"Pergi sekarang"
Andra menggeleng lalu menutup pintu dan menguncinya dari dalam, Fania mengernyit melihat tingkah Andra.
"Lo mau kurung diri dikamar kan, biar gue tamani"
"Gue bilang pergi sekarang"
"Enggak"
Andra menyentuh kedua pundak Fania, dan terdiam menatapnya.
Untuk sesaat Fania terdiam tapi kemudian memalingkah wajahnya dari Andra.
"Kenapa Fan, lo fikir dengan seperti ini lo bisa lebih tenang ?"
"Pergi gue bilang Dra"
"Lo lupa apa yang gue bilang, lo bisa sembuh dari penyakit lo dengan syarat lo harus selalu tenang dan bahagia, lo lupa ?"
Fania mendorong Andra dengan kesal, tak salah jika Fania merasa saat ini tak ada yang mengerti terhadapnya.
"Lo gak akan ngerti Dra, lo gak akan bisa ngerti dengan gue saat ini"
"Apa, apa yang gue gak ngerti, hati lo iya, perasaan lo atau apa, apa yang gue gak bisa ngerti ?"
Fania terdiam, matanya mulai berkabut terhalang cairan bening disana.
"Gak gue atau pun yang lain gak akan ada yang bisa ngerti kalau lo terus seperti ini, kita semua tahu lo sakit tapi kalau lo ingin kita semua mengerti lo harusnya gak gini Fan, apa gunanya lo ngurung diri dikamar seperti ini, siapa yang akan bantu lo nanti kalau tiba-tiba sakit lo kumat"
Andra kesal pada Fania, Fania mengambil keputusan yang salah saat ini.
Fania dalam kondisi yang buruk harusnya Fania menempatkan diri ditengah orang yang menyayanginya agar dia bisa merasa hidupnya masih sangat berarti.
"Fan, kita semua sedang berdoa dan berusaha meyakinkan diri kalau pada akhirnya nanti lo akan sehat kembali Fan, lo harusnya tanamkan keyakinan itu di diri lo sendiri, bukan seperti ini"
Fania menggeleng, tangisnya tak bisa ditahan lagi, keadaannya sangat membuat Fania rapuh.
Tak ada satu pun fikiran positif dalam kepala Fania, semuanya hanya kepahitan, kepahitan yang siap menjemputnya kapan saja.