Chereads / 361 Hari Nafas Fania / Chapter 26 - Marah-marah

Chapter 26 - Marah-marah

"Farhan harap, om sama tante mau memberikan Farhan kesempatan untuk hal itu"

"Apa yang bisa meyakinkan saya untuk itu"

Tanya Hendra tak kalah serius dari perkataan Farhan, Gina terdiam memperhatikan Farhan yang tampak grogi dengan pembicaraannya.

"Farhan gak bisa janji apa pun untuk saat ini, Farhan hanya minta kesempatan untuk bisa dekat dengan putri om dan tante"

"Kami sangat menyayangi Fania, Fania adalah satu-satunya harta kami dan kami tidak akan membiarkan siapa pun untuk mendekatinya kalau hanya untuk mengganggunya"

Fania mengernyit mendengar ucapan Hendra, apa pembicaraan mereka seserius itu, makan malam yang tadi terasa tenang kini berubah memcekam bagi Fania dan Farhan.

"Kamu ini siapa, berapa lama kenal sama Fania, punya kesibukan apa kamu ?"

Kini giliran Farhan yang menelan ludahnya dengan susah payah akibat pertanyaan Hendra.

"Kita baru kenal satu bulan, Farhan tidak bekerja om"

Hendra dan Gina saling tatap mendengar jawaban Farhan, Fania jadi Fanik dengan ekspresi yang ditunjukan kedua orang tuanya.

"Farhan gak kerja Pah, bukan pengangguran tapi pekerjaan Farhan sudah ada yang mengerjakan, Farhan memiliki banyak karyawan"

"Bos besar, pemilik perusahaan mana ?"

"Bukan om, Farhan cuma punya usaha kecil saja. Farhan punya usaha martabak syukurnya Farhan punya 4 outlet martabak sekarang"

Hendra mengangkat kedua alisnya dan mengangguk mendengar jawaban Farhan, itu cukup membuat Hendra bangga terhadap Farhan dipertemuan mereka yang baru pertama kalinya.

"Jadi martabak tadi resep kamu sendiri ?"

"Iya tante, itu resep Farhan, tante suka ?"

"Suka, martabaknya enak kok"

Farhan tersenyum mendengar pujian Gina, Hendra mengakhiri pembicaraannya dan meminta semua agar melanjutkan kembali makan malamnya.

Setelah makan malam selesai dan obrolan pun selesai, Farhan pun berpamitan untuk pulang.

Fania, Hendra dan Gina mengantarkan Farhan sampai keluar rumah.

"Om, tante, terimakasih banyak untuk makan malamnya"

"Sama-sama, jangan kapok ya datang lagi kesini"

"Iya tante, emmm om dan tante, jadi gimana keputusannya ?"

"Keputusan apa ?"

"Farhan boleh atau tidak dekat dengan Fania ?'

"Kenapa tidak, kalau memang Fania sendiri mau dengan hal itu"

"Jadi boleh ?"

"Boleh"

Jawab Hendra singkat, Farhan langsung menyalami keduanya berterimakasih untuk kedua kalinya.

Fania tampak mengepalkan kedua tangannya, menahan perasaan bahagianya atas jawaban Hendra.

Fania menahan nafasnya, andai Fania berada di kamarnya sendiri mungkin Fania sudah melompat kesana kemari karena kegirangannya.

"Ya sudah kami masuk duluan ya"

"Iya om, silahkan"

Hendra mengajak Gina untuk kembali masuk kedalam rumah, Fania masih saja menahan rasa bahagianya karena Farhan masih berada dihadapannya.

"Gimana Fan ?"

"Gimana apa ?"

"Kamu mau kan ?"

"mau ?"

"Lupakan, aku pamit pulang dulu ya udah malam, makasih untuk malam ini"

Fania mengernyit setengah tersenyum, ucapan Farhan bukan yang Fania inginkan.

Tapi ya sudahlah, Fania tak bisa apa-apa selain membiarkan Farhan untuk pulang ke rumahnya.

"Selamat malam Fania, selamat beristirahat dan sampai ketemu dilain waktu"

"Sama-sama, hati-hati dijalannya ya"

"Siap nona manis"

Fania tersenyum dan menyaksikan kepergian Farhan dari hadapannya, Fania kembali masuk setelah Farhan menghilang dari pandangannya.

----

Pagi hari, Fania kembali ke rutinitasnya dikantor.

Fania sudah siap dengan setumpuk berkas dimejanya.

"Ini semua gara-gara lo Fan"

Fania menghentikan niatannya untuk duduk saat Andra tiba-tiba datang dan memarahinya.

"Coba saja lo gak maksa untuk tinggal di Jakarta selama itu, pasti kerjaan gue gak akan sebanyak sekarang"

"Lo kenapa sih Dra, kerjaan gue juga banyak kali tuh lihat"

"Ya itu resiko lo"

"Lo kenapa sih, masih sensi saja, lo gak puas dari tadi dijalan lo udah diemin gue terus sekarang lo marahin gue, jahat banget sih Andra"

"Lo juga jahat, gue belum paham benar dengan pekerjaan gue, sekarang sudah setumpuk tuh yang harus gue kerjakan"

"Iya maaf"

"Maaf-maaf, makanya jadi orang jangan keras kepala, ribet kan jadinya"

Fania mengerucutkan bibirnya mendengar semua omelan Andra, Fania kesal karena Andra telah menghilangkan semangatnya dipagi buta seperti ini.

"Kalau gak sayang sudah gue apain lo Fan"

"Ya sudah sih, gak kering tuh tenggorokan ngomel terus kaya gitu"

"Ngejawab lagi lo"

Fania merapatkan bibirnya agar tak lagi berbicara pada Andra, Andra berlalu begitu saja setelah puas memarahi Fania.

"Jahat banget, masih pagi sudah marah-marah, kerjaan gue juga banyak kali Dra tapi gue gak marah kaya lo gitu"

Fania mendelik dan duduk dikursinya, Fania mulai mengerjakan berkas-berkasnya satu persatu.

Andra benar-benar merasa kesal terhadap Fania, andai saja Fania tidak keras kepalanya dan tidak memaksanya untuk tinggal lebih lama di Jakarta mungkin pekerjaan Andra tidak akan sebanyak itu.

"Faniiiaaaaaa euuuh gue jengkel banget sama itu anak satu, sekarang bagaimana gue mengerjakan sebanyak ini"

Andra menggaruk kepalanya kesal, Andra masih meraba-raba atas pekerjaannya dan sekarang harus mengerjakan semua dalam satu hari.

Andra harus menahan kekesalannya saat pintu ruangannya diketuk, Andra mempersilahkannya untuk masuk.

"Apa lagi Fania, lo ngapain masuk kesini ?"

"Gue bawa kopi nih buat teman kerja lo disini"

"Gak usah, kopi itu gak akan mengurangi pekerjaan gue ini"

Fania melirik setumpuk pekerjaan Andra, Fania sebenarnya ingin tertawa tapi Andra pasti akan semakin marah lagi padanya.

"Kopi ini buat bekal agar lo gak ngantuk mengerjakan semua pekerjaan lo itu"

"Ah sudahlah, sana pergi saja bukannya lo juga banyak kerjaan, gue bisa bikin kopi sendiri"

"Iya gue pergi, maaf udah ganggu waktunya"

"Ya sudah sana, apa lagi ?"

Fania menyimpan kopinya dan berlalu meninggalkan ruangan Andra, Andra mendelik dan langsung meneguk kopi yang dibawakan oleh Fania.

"Cuma satu gelas lagi, gak niat banget buat kopi, kerjaan sebanyak ini mana cukup satu gelas doang, gak peka"

Andra kembali meneguk kopinya sampai habis, Andra merasa sedikit tenang setelah meneguk satu gelasnya, seperti lupa dengan panasnya kopi tersebut.

Fania kembali duduk dikursinya, Fania masih heran dengan kemarahan Andra.

Bagaimana bisa Andra memarahinya sampai seperti itu jika pekerjaan Fania juga sama numpuknya seperti milik Andra, harusnya Andra tak perlu semarah itu karena Fania juga harus pusing karena setumpuk pekerjaannya saat ini.

"Gue gak akan lagi bicara sama lo, terserah lo mau marah sampai kapan juga gue gak peduli, enak saja terus-terusan marahin gue, lo fikir lo siapa hah bos besar, songong memang tuh lelaki satu, awas aja lo ketemu lagi"

Fania tak henti mengomel sendiri akibat kemarahan Andra, Fania merasa kemarahan Andra tak beralasan.

Alasan yang diberikan Andra sama sekali tak berarti bagi Fania, sekarang juga Fania jadi kesal pada Andra yang telah menghilangkan semangat Fania karena semua omelan Andra.