Fania menyimpan gelasnya di meja, sudah dua jam Fania hanya diam berbaring saja, rasanya saat ini tubuh Fania sudah sangat membaik.
Dari pantai tadi, mereka membawa Fania ke rumah Yuda karena memang rumah Yuda yang paling dekat.
Andra memaksa Fania untuk tidur saja beberapa saat, bagaimana pun Fania sempat tak sadarkan diri, jadi Fania memang butuh istirahat.
"Andra mana sih, gak masuk-masuk"
Ucap Fania yang bernajak turun dari tempat tidur, bersamaan dengan itu rupanya Andra juga memasuki kamar dan membuat Fania mengurungkan niatnya.
"Mau kemana lo ?"
"Mau pulang, udah sore banget"
"Ya udah ayo pulang, gue juga udah bosan disini terus"
Fania mengangguk, baguslah kalau memang seperti itu yang dirasakan Andra, jadi Fania tidak perlu susah payah membujuk Andra untuk membawanya pulang.
"Ke Dokter dulu ya"
"Gak usahlah, ngapain orang udah baikan"
"Yakin, lo mungkin memang harus periksa Fan, kepala lo sepertinya bermasalah"
"Iya bermasalah, karena lo yang terus aja jahat sama gue"
Andra mengernyit, kenapa jadi Andra yang disalahkan, sebelumnya juga memang Fania kerap kali bermasalah dengan kepalanya.
"Lo jangan cuek lagi sama gue, jangan marah lagi, jangan ngomel lagi, lo harus baik lagi sama gue"
"Apa hubungannya, bodoh"
"Ada, kalau lo gitu terus gue jadi kefikiran, jadi kepala gue juga sakit akhirnya"
"Euuuh ngeles aja lo, ayo buruan balik ah"
"Siapa juga yang ngajak ngomong dari tadi"
Andra menggeleng dan membantu Fania berjalan keluar kamar, keduanya beeoamitan lada mereka semua.
Fania melihat satu demi satu orang di hadapannya, kenapa Farhan tidak ada .... tadi pas dari pantai padahal Farhan masih ada.
"Ayo, katanya mau pulang"
Fania menoleh dan mengangguk, keduanya lantas pergi meninggalkan sahabatnya yang lain.
Rasanya tidak perlu khawatir membiarkan Fania pulang, karena ada Andra yang menemaninya.
"Dra, Farhan kemana ?"
Andra tak menjawab, hanya membukakan pintu mobil dan meminta Fania untuk masuk.
Fania juga tak berniat mengulang lagi pertanyaannya, mobil melaju setelah Andra juga memasukinya.
Keduanya terdiam, sibuk dengan fikiran masing-masing, Fania merasa aneh kenapa Farhan pergi begitu saja padahal Farhan tahu kalau Fania habis kecelakaan.
"Fan, kenapa ya .... gue kok jadi risih lihat kedekatan lo sama Farhan"
Fania menoleh dan terdiam menatap Andra, benarkah seperti itu dan kenapa harus seperti itu.
Bukankah Andra pernah bilang, kalau Farhan memang menyukai Fania dan Andra juga merasa senang, saat menerka kalau saja Fania juga menyukai Farhan.
"Lo suka sama dia, Fan ?"
"Enggak"
"Yakin, tapi lo selalu senang kalau dekat sama dia"
Fania terdiam, Fania tidak tahu bisa diartikan sebagai apa perasaannya terhadap Farhan.
Fania takut kalau Fania salah mengartikan semuanya, dan pada akhirnya justru akan jadi masalah saja.
"Kalau misal dia pergi dan gak balik lagi gimana ?"
"Pergi kemana, dan apa alasannya ?"
"Lo akan bertanya seperti itu ?"
"Iya .... tentu saja, karena saat ini gue memang masih ingin bisa melihat dan bisa bersama Farhan, entah untuk apa itu tapi gue ingin"
Andra terdiam, mungkin memang benar, mereka berdua saling meyukai, dan bukankah harusnya Andra juga turut senang mendengarnya.
Untuk pertama kalinya Fania bisa menyukai seorang lelaki, dan Andra bisa melihat dengan jelas pancaran kebahagiaan Famia ketika berada bersama Farhan.
Dan Andra akui, pada awalnya memang Andra ikut bahagia dengan itu, tapi entah kenapa makin kesini rasanya Andra semakin sulit menerima kedekatan mereka berdua.
"Andra, lo anggap gue apa selama ini ?"
Andra menoleh sekilas, tanpa memberikan jawaban apa pun untuk Fania.
"Farhan berkali-kali bilang sama gue, kalau sikap lo beda banget terhadap gue, Farhan juga sempat berfikir kalau mungkin lo suka sama gue sayang sama gue lebih dari sahabat dan bukan seorang adik"
Andra masih saja diam, entah apa yang ada difikiran Andra saat ini setelah mendengar kalimat panjang Fania.
"Farhan selalu menganggap, kalau lo memperlakukan gue seperti seseorang yang memperlakukan kekasihnya, bukan sahabat atau pun adik, dan dikatakan Farhan sampai berkali-kali"
"Lalu apa yang lo rasa dari setiap apa yang gue lakukan terhadap lo ?"
"Senang .... gue senang, gue bahagia, gue nyaman dan tenang, gue selalu merasa berada di tempat yang tepat bersama orang yang tepat juga, dan itu sama lo"
"Lalu lo anggap semua itu sebagai apa"
"Kakak .... gue hidup sendiri tampa kaka atau pun adik, dan saat ada lo datang gue merasa ada pelindung buat gue, dan menurut gue itu adalah sosok kakak"
Andra tersenyum mendengarnya, lalu untuk Fania mempertanyakan semua itu, kalau Fania sudah tahu sendiri jawabannya.
"Lo gak suka sama gue kan, Dra ?"
"Gue suka, gue juga sayang sama lo, kalau dua hal itu tidak gue rasakan bagaimana bisa gue seperti ini sama lo selama ini"
Fania balik diam, apa arti dari semua kata itu, apa benar atas semua yang dikatakan Farhan tentang Andra selama ini.
"Siapa pun kalau tidak ada rasa suka terhadap orang didekatnya, gak akan mungkin bisa sedekat kita Fan"
"Jadi apa intinya ?"
"Ya gue suka sama lo, gue juga sayang sama lo, kalau gak ada rasa itu untuk apa gue harus repot-repot jagain lo"
"Lo mau kalau gue jadi pasangan lo ?"
"Memangnya lo sendiri mau ?"
Fania mengernyit, kalimat Andra membuat Fania merasa terjebak dengan kalimatnya sendiri.
"Entah untuk artian apa pun itu, tapi gue suka dan sayang sama lo, keinginan gue untuk dua rasa itu datang dengan sendirinya, dan keinginan gue untuk selalu jaga lo juga datang dengan sendirinya"
Fania tak lagi berkata apa pun, mereka sahabat dan lebih jauhnya Andra adalah sosok kakak bagi Fania.
Segala yang dilakuan Andra terhadap Fania, adalah kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya, sebatas itu saja.
"Kenapa, lo takut gue halangi hubungan lo sama Farhan ?"
"Kan lo yang bilang, kalau sekarang lo gak suka sama kedetakan gue dan Farhan"
"Ya itu urusan guelah, lo sama Farhan urus saja urusan lo berdua"
Fania sedikit tersenyum menjawab ucapan Andra, tapi Fania juga tidak mau kalau Andra sampai pergi hanya gara-gara Fania yang dekat dengan Farhan.
Fania akan lebih sedih jika Andra yang menjauh dari pada Farhan, Andra memang sudah jadi sosok istimewa bagi Fania.
Sosok yang mampu membuat Fania tenang, dan Fania tidak mau kalau sampai kehilangan sosok itu hanya karena sosok baru.
Keduanya menoleh dan tersenyum bersamaan, apa yang harus mereka khawatirkan, bukankah mereka sudah cukup dewasa untuk bisa mengartikan setiap rasa yang tumbuh dalam hatinya, dan mampu membedakannya.