Arumi memasrahkan diri. Gadis itu terisak di atas ranjang yang berukuran king size. Nasibnya sungguh miris. Ingin memperbaiki ekonomi, yang ada ia harus ditumbalkan oleh sang majikan. Namun penyesalan hanya tinggal penyesalan. Apalagi yang bisa ia lakukan? Derit daun pintu terbuka. Sontak saja, membuat Arumi mengangkat kepala. Seorang pria berwajah tampan, menyembul dari balik pintu yang terbuka. Membuat Arumi menggigil secara tiba-tiba.
Benedict tersenyum. Sosok tubuh mungil yang dibalut lingerie berwarna hitam itu, menggigil. Ben menyadari jika Arumi tengah ketakutan. Pria itu terus berjalan mendekati ranjang. Spontan, Arumi memundurkan tubuhnya. Hingga punggung gadis itu telah mepet ke sandaran ranjang. Arumi menggigit bibir bawahnya.
"Apa yang akan kau lakukan?" Arumi menggigit bibir bawahnya. Suaranya terdengar serak.
"Aku?" Ben tersenyum menyeringai. "Tidurlah, ini sudah malam. Memangnya apa yang akan kulakukan?" Ben menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. "Aku lelah sekali. Kenapa kau seperti melihat hantu begitu?" Lihat, ini sudah jam berapa?" Tidurlah. Besok ada banyak yang akan kau lakukan," imbuh Ben.
Arumi mematung. Tubuhnya tak lagi menggigil, mendapati Ben justru menjatuhkan tubuhnya di ranjang tanpa tertarik ingin menyentuhnya. Gadis itu bernapas lega. Pasalnya, Ben benar-benar tertidur. Arumi meyakininya dari deru napas yang teratur. Lama Arumi dalam posisi duduk dan menekuk kedua lututnya. Ia masih tak habis pikir, jika akan ada hal yang cukup ambigu. Tapi, Arumi patut bersyukur. Mengingat malam ini ia masih selamat dan masih bisa mempertahankan mahkotanya.
Pada akhirnya Arumi memilih tidur, dengan menutupi tubuhnya menggunakan selimut yang tebal. Setidaknya mampu menyelamatkan hawa dingin, dari AC yang menerpa. Tanpa disadari, Arumi pun tertidur juga setelah termenung hingga tengah malam.
"Hei, selamat pagi," sapa Ben saat Arumi telah bangun dari tidurnya. Secepat mungkin Arumi baangun dengan posisi duduk dan waspada.
"Kenapa lagi?" tanya Ben. Saat mendapati Arumi yang terjingkat kaget. "Baiklah. Segera maandi dan kita akan turun bersama untuk sarapan."
"I-iya." Arumi turun dari ranjang dan segera melesat menuju ke kamar mandi. Membuat Ben tergelak lantang.
"Dia ketakutan?" Ben menggumam seraya tersenyum menyeringai.
"Memang siapa yang akan menyentuhnya? Aku saja untuk bisa ON sangat susah. Bagaimana aku bisa berbuat neko-neko? Tapi ini menarik. Dari sikapnya, gadis itu sangat tidak berpengalaman. Kurasa, dia pantas untuk dipertahankan. Sedangkan yang lain, hanya menunggu waktu aku akan mendepak mereka semua." Ben membatin.
Selang satu jam, Arumi dibimbing Ratih untuk turun ke bawah. Jam sudah menunjukkan waktu untuk sarapan. Arumi kali ini mengenakan dress selutut tanpa lengan berwarna tosca. Saat telah sampai di ruang makan, Arumi menghentikan langkah. Di sana ada tiga orang perempuan yang sangat cantik-cantik duduk dengan tegang. Lalu seorang pria otoriter, yang semalam suntuk membuat Arumi ketakutan.
"Nona, silahkan Anda duduk di sebelah kanan Tuan Benedict," ujar Ratih.
Membuat Arumi menganggukkan kepala, dan pada akhirnya melangkah maju menuju tempat duduk yang dikatakan oleh Ratih. Arumi duduk dengan takut-takut. Berbanding terbalik, dengan tiga istri Benedict yang menatap Arumi dengan garang.
"Ehem." Deheman dari Benedict membuat pandangan tak mengenakkan itu teralihkan.
"Perkenalkan, ini adalah Arumi. Dia akan menjadi madu ketiga untuk Ruri, istriku yang pertama. Lalu Arumi, perkenalkan ketiga wanita ini adalah istriku. Kamu, akan menjadi yang keempat!" Kata-kata Ben menyentak Arumi.
"Istri keempat?" Kedua mata Arumi membulat. Gadis itu menggelengkan kepala. "Tidak. Lebih baik, Tuan mengembalikan saya ke kampung."
"Tidak ada bantahan!" Suara Ben mulai meninggi.
Brak..
"Bukankah Anda sudah memiliki tiga istri? Untuk apa Anda memintaku menjadi istri Anda yang keemat. Tolong, Tuan. Kembalikan saya ke rumah orangtua saya," pinta Arumi.
Ketiga istri Ben mendelik. Menyayangkan sikap Arumi yang terkesan berani. Pasti setelah ini akan ada hal yang tidak diinginkan. Ketiga istri Ben menundukkan kepala. Tak ingin ikut campur, dengan akibat yang fatal.
"Mbak! Kalian harus tegas. Lihat suami kalian, di depan kalian saja ingin menikahi wanita lain. Ayo, Mbak. Kasih pelajaran untuk suami Mbak-Mbak sekalian! Pria tak tahu diri, sudah punya tiga istri masih ingin mempersunting wanita lain!" Arumi berseru lantang.
Ben mengangkat alisnya. Membuat Arumi tersentak bahkan tak ada ekspresi apapun di wajah pria itu. Ketiga istri Ben pun juga tak memberikan reaksi apapun. Begitu santai dan malah makan. Arumi melihat kejanggalan.
"Ke-kenapa kalian semua diam?" tanya Arumi kebingungan.
"Zu!" panggil Ben.
Pria bernama Zu berjalan menuju ke arah Ben. "Ada apa, Tuan?" tanya Zu seraya melirik ketiga istri Ben secara bergantian. Membuat ketiga wanita itu semakin menundukkan kepala. Kemudian beralih pada Arumi yang berdiri dengan berani.
"Seret wanita itu ke gudang. Jangan berikan makan apapun. Dia boleh keluar saat jam menunjukkan pukul 18:00 malam." Ben menoleh ke arah tiga wanita yang menunduk. Sudut bibirnya tertarik. "Hanya wanita yang berdiri, Zu. Yang sedang duduk mereka begitu patuh," imbuh Ben.
"Ah! Apa yang kau lakukan?" bentak Arumi saat Zu mencekal tangannya.
"Ah tunggu, Zu," sela Ben. Zu menghentikan langkahnya menyeret Arumi. "Arumi, disini jangan mencoba mengusikku. Lihatlah, kakak-kakak madumu begitu patuh. Di sampingku ini, bernama Ruri istri pertamaku. Yang kedua, bernama Emira. Yang ketiga adalah Sela. Jangan lupa nama-nama kakak madumu." Ben memperkenalkan nama-nama istrinya.
"Ayo ikut aku!" Zu menyeret Arumi tanpa belas kasih.
"Tolong! Maafkan aku. Lepaskan saya, Tuan. Saya mohon. Aaah!" Tubuh Arumi terlempar begitu saja di lantai marmer yang kotor.
"Nanti malam, saya akan membukakan pintu ini untuk Anda. Saya harap, Anda patuh terhadap perintah dan kata-kata Tuan. Itu termasuk dalam metode penyelamatan diri. Selamat pagi!" Zu menutup pintu gudang dan segera menguncinya.
Brak..brak..brak.
"Tuan tolong saya. Saya minta maaf. Saya harap Anda memberikan saya kesempatan! Tuan? A-apakah Tuan masih di luar sana?" tanya Arumi dengan suara yang bergetar.
Nihil. Tak ada jawaban. Arumi menoleh ke sekitar. Menyapukan pandangan, seketika membuat gadis itu meremang. Tidak ada kehidupan apapun di dalam sana. Kedua mata Arumi mengembun. Rasa takut menyergap dirinya. Sedikit gelap, karena jendela tertutup sempurna begitu pula dengan pintu.
"Ya Allah, bagaimana bisa begini? Mengapa nasibku selalu sial? Bagaimana dengan ibu? Masih ada Lily dan Lila yang sekolah. Mereka butuh biaya. Mengapa aku harus berakhir disini? Pria itu menyeramkan. Kenapa aku harus menjadi istri yang ke empatnya?" Arumi menggumam di sela-sela tangisnya.
Tubuh gadis itu melorot. Arumi menangis tersedu. Hatinya telah patah. Begitu pula harapannya yang pupus. Mimpi untuk kehidupan yang lebih baik, nyatanya tak akan menjadi nyata.
"Apa aku harus menerima posisi istri keempat?" lirih Arumi.