"Cepat pel! Kenapa masih bengong?" sentak Emira.
"Nyonya! Ini pekerjaan pelayan, bukan pekerjaan Nona Arumi!" Ratih yang tidak terima membela Arumi. "Bukankah tadi Nona Arumi juga telah membersihkan piring-piring itu?" Ratih memelas.
"Jangan mentang-mentang dia orang baru, dia harus malas-malasan! Di sini dia harus bekerja! Tidak ada yang gratis di rumah inu. Lagi pula, dia sebelumnya juga hanya pembantu! Cepat bersihkan lantai ini! Ratih, awas kau membantunya! Aku tidak akan segan memukulmu!" Kilatan emosi kedua mata Emira tergambar jelas.
Saat Ratih hendak kembali protes, Arumi segera mencekal tangan Ratih. Membuat gadis itu menoleh ke arah Arumi. Terlihat Arumi menggelengkan kepala. Ia tak ingin membuat Ratih lagi-lagi kena pukulan dan tendangan dari Emira. Arumi melirik ke arah Sela yang tengah duduk di sebuah sofa. Wanita itu tersenyum sinis saat melihat Arumi juga tengah menatapnya.
"Sudah, Ratih. Daripada makin panjang, oke?" Arumi segera menyambar gagang pel-pellan yang ada di tangan seorang maid.
Melihat Arumi mematuhi perintahnya, Emira tersenyum sinis. Lalu menjatuhkan bokongnya di sofa. Kedua wanita itu begitu angkuh. Arumi memulai menggerakkan tangannya. Sedangkan Ratih, mundur beberapa langkah ke belakang. Gadis itu hanya mampu memandang iba ke arah sang majikan.
"Eh, lihat tuh. Masih ada kulit kacang!" seru Sela.
Arumi menoleh. Terlihat Sela bahkan membuang kulit kacang sembarangan. Arumi yang melihatnya, mengambil sapu kembali dan segera menyapu kulit kacang tersebut. Setelah sampah masuk ke dalam tong sampah, Arumi kembali menyambar gagang pel dan kemudian mengepell lantai kembali.
Hal itu terjadi berulang kali. Membuat Arumi mengepalkan kedua tangannya. Hingga datanglah salah satu penjaga bertubuh kekar. Pria yang memiliki tinggi sekitar 170 cm tersebut berdiri di depan Emira dan Sela. Membungkuk hormat dan pada akhirnya berbicara.
"Nyonya, tuan sudah datang. Mobilnya memasuki pintu gerbang," ucap pria itu. Hal itu seketika membuat Emira dan Sela terperanjat kaget.
"Imah! Cepat sini bersihkan lantai ini!" teriak Sela. Seorang gadis yang namanya dipanggil, segera berlari menuju arh suara Sela. "Ambil gagang pel itu dan pel sekarang juga. Dan kamu gadis kampung, cepat pergi dari sini!"
Tanpa menjawab, Arumi kemudian berlalu. Tak ingin membuat Sela dan Emira berulah. Ratih pun pada akhirnya melengos pergi. Memang tugas utamanya adalah menjaga Nyonya Arumi. Ia sudah dibayar dengan sangat mahal untuk itu.
"Nyonya, kenapa Anda diam saja?" tanya Ratih.
"Kau merasa terbebani ya dengan majikan sepertiku yang lemah?" Bukannya menjawab, Arumi justru balik bertanya.
"Ish, Nyonya! Kenapa begitu? Ratih hanya tidak suka saja, mereka berlagak! Padahal kan, di sini Nyonya juga memiliki hak yang sama! Bukan hanya mereka saja. Nyonya, lapor saja kepada tuan," usul Ratih.
Arumi dengan cepat menggelengkan kepala. "Jangan bicara aneh-aneh. Memang benar, apa yang mereka katakan. Aku harus sadar diri. Usiamu berapa Ratih?" tanya Arumi. Gadis itu mengalihkan topik pembicaraan.
"Masih 21 tahun, Nyonya."
"Kau tidak kuliah?" tanya Arumi lagi.
"Tidak, Nyonya. Biaya kuliah juga mahal. Dari pada buang-buang uang untuk kuliah, lebih baik aku bekerja untuk biaya sekolah adikku," jawab Ratih dengan antusias. "Nyonya sendiri?"
"Aku? Ingin. Tapi, sama sepertimu. Mungkin ini juga sudah takdirku," tukas Arumi.
"Kau ingin kuliah?" Suara bariton menyentak Arumi dan Ratih.
Arumi dan Ratih menoleh. Membuat kedua gadis itu menyadari kehadirannya. Ben masih mengamati sosok Arumi. Wanitanya itu ternyata cukup menarik. Bukankah biasanya Ben selalu dipuja? Lantas mengapa bahkan sosok Arumi saja enggan mendekatinya.
Arumi menggelengkan kepala. "Tidak," ucapnya pendek. "Kau sudah pulang?"
Ben tersenyum. Pertanyaan dari Arumi sangat terdengar kaku sekali. "Kau kecewa karena ada yang mengganggu malam indah kita?" sindir Ben.
"Tadi aku ingin sekali ke markas. Tetapi aku ingat meninggalkannya di malam pertama kami. Tapi, kenapa dia baik-baik saja? Di markas sudah ada Jo dan Kaisar. Setidaknya aku bisa memantau dari kejauhan. Tapi lihatlah istri yang aku pikirkan dari kejauhan. Dia bahkan terlihat biasa saja." Batin Ben.
"Arumi, siapkan air. Aku mau mandi," pinta Ben.
"Baik," sahut Arumi. Ia segera berlalu dan mulai mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Ben. "Airnya sudah siap."
"Oh. Em, mulai besok aku akan menghubungimu kapan aku pulang. Agar kau bisa menyiapkan semua keperluanku. Mana ponselmu. Biar aku simpan nomormu. Ini tugas barumu." Ben mengambil ponselnya dari dalam celana.
Arumi menatap lekat Ben dan ponsel itu secara bergantian. "Aku tidak punya ponsel," ujar Arumi.
Dahi Ben bertaut. "Tidak punya ponsel? Kau yakin?"
"Tidak ada gunanya juga aku berbohong. Memangnya, aku dapat apa? Aku benar-benar tidak punya ponsel. Ada, tapi itu sebelum aku diseret paksa kemari," jelas Arumi.
Ben menatap jam arloji miliknya. "Masih ada waktu. Persiapkan dirimu. Aku akan membawamu mencari ponsel. Aku mandi dulu." Ben berlalu menuju kamar mandi.
"Ratih, apa maksud tuanmu itu? Nadanya tidak enak sekali didengar. Lagian kita mau kemana? Ini sudah hampir jam 7 malam," gerutu Arumi.
"Ayo, Nyonya. Saya akan membantu Anda bersiap. Cepat, Nyonya. Sebelum nanti tuan marah," timpal Ratih.
Tiga puluh menit kemudian, Ben telah selesai bersiap. Begitu pula dengan Arumi yang juga telah selesai. Ratih pun undur diri. Mengingat ada Ben di dalam kamar itu.
"Kita mau kemana?" tanya Arumi.
Bukannya menjawab, Ben justru menarik tangan wanitanya. Arumi ingin sekali protes, tetapi Ben sangat menyeramkan baginya. Sikap pria itu berubah-ubah. Bisa jadi sedikit hangat, tapi kadang juga menyeramkan. Arumi hanya mampu merutuk dalam hati.
"Aku tak mengerti tentang pria ini. Dia bisa menjadi baik, tetapi ia juga bisa menjadi sosok yang menyeramkan. Dibanding itu, aku sekarang menjadi istri keempatnya. Yang tidak tahu, kapan aku diberikan adik madu. Mungkin saja, setelah dia sudah bosan denganku. Lantas, bagaimana kehidupanku setelah dicampakkan? Apa aku harus tetap berdiam diri seperti para kakak maduku?" Arumi hanya mampu membatin.
Zu telah berada di samping mobil. Pria itu membuka pintu mobil bagian penumpang. Tentu saja Ben mendorong Arumi untuk segera masuk ke dalam mobil. Zu pun melajukan mobilnya. Membelah jalanan yang gelap gulita. Akan tetapi semakin lama, jalanan yang dilalui semakin ramai. Arumi menatap takjub ke arah luar jendela. Kehidupan malam di kota besar memang berbeda dengan kehidupan di kampung kecil.
Tak terasa mobil berhenti di sebuah parkiran pusat perbelanjaan. Arumi mengerjabkan kedua matanya berulang kali. Ini seperti mimpi. Ben lalu mengulurkan tangannya. Membuat Arumi menerima tangan kekar pria itu. Saat Arumi keluar dari mobil, pemandangan yang menakjubkan terhampar di depan matanya. Banyak sekali lampu warna-warni berkelap-kelip.
"Ya ampun, Arumi! Kau harus sadar posisimu. Jangan terbuai akan kemilau dunia yang fana ini. Ayo, Arumi. Jangan sampai terlena. Ingat dan pahami kondisimu!" rutuk Arumi dalan hati.