Chereads / Madu Ke-3 / Chapter 11 - Bab 11. Sekarat.

Chapter 11 - Bab 11. Sekarat.

Kedua kelopak mata Arumi perlahan bergerak. Gadis itu menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan di mana ia berada. Ruangan yang asing. Ratih dengan setia membersihkan tubuhnya dari cairan merah yang berbau amis.

"Ra-tih," panggil lirih Arumi.

Ratih segera menoleh. Wajahnya terlihat letih dan juga kedua mata Ratih terlihat sayu. Melihat sang nyonya yang telah sadar, Ratih segera berjalan mendekati Arumi. Meletakkan baskom berisi air hangat.

"Nyonya sudah sadar?" tanya Ratih dengan suara yang bergetar. 

Arumi memejamkan kedua mata, sebagai jawaban. "I-ni di mana?" tanya Arumi.

"Ini kamar baru milik Nyonya. Maaf, Nyonya. Tuan memindahkan Anda di kamar ini. Saya tidak tahu, kenapa Anda dihukum. Apa Nyonya melakukan kesalahan, tanpa saya tahu?" balas Ratih.

Arumi menggelengkan kepala. "Ti-dak. Hari ini aku hanya di kamar saja. Setelah minum jus pemberianmu," jawab Arumi.

Dahi Ratih mengerut. "Jus?" ulang Ratih memastikan ucapan Arumi.

Lagi, Arumi menganggukkan kepala. "Iya. Tadi ada pelayan yang membawa minuman. Dia berkata kamu yang memberiku jus. Jadi aku minum. Setelah minum jus itu, aku mengantuk. Aku tidak tahu, Ratih. Aku merasa tidur terlalu lama," papar Arumi.

Ratih meragu. "Tapi, Nyonya. Saya tidak meminta pelayan lain untuk mengantar minum kepada Anda. Apa benar Anda mengantuk setelah minum jus tersebut?" Ratih kembali bertanya.

Arumi mengangguk dengan cepat. "Lalu, jika bukn kamu yang memberiku minum, siapa?" tanya Arumi dengan nada yang nyaris tak terdengar.

Ratih menggelengkan kepala. Hal itu membuat Arumi sontak membungkam. Ada gelisah yang tiba-tiba menguasai hati. Bukan hanya Arumi yang terdiam, tetapi juga Ratih membeku di tempatnya.

"Jam berapa Anda tertidur?" tanga Ratih memecah keheningan.

"Sekitar masih pagi." Arumi tersadar. "Ratih, aku bukan pemalas yang bisa tidur sampai beberapa jam. Apa, ada sesuatu di dalam minumanku tadi?" tanya Arumi. Suaranya terdengar parau.

Ratih menghrmbuskan napasnya perlahan. Ia bisa menarik kesimpulan sekarang. "Ada yang berusaha berniat buruk pada Nyonya. Astaga, maafkan saya, Nyonya." Ratih tersedu. Gadis itu bersimpuh di lantai marmer. "Saya telah ceroboh meninggalkan Anda. Tapi … saat itu saya disuruh Nyonya Emira," imbuh Ratih. Gadis itu mengerjapkan kedua matanya.

"Ada apa?" Arumi tak sabar ketika ia menyadari raut wajah Ratih berubah menjadi pias.

"Sepertinya ini ulah Nyonya Emira!" tebak Ratih.

"Sshh. Jangan menuduh orang sembarangan, Ratih. Itu bisa menjadi fitnah," tukas Arumi.

Ratih memutar kedua bola matanya malas. Arumi terlalu polos. "Nyonya, apalagi memangnya jika Nyonya Emira tak memiliki niat yang jahat? Sedangkan kita tahu sendiri, jika wanita itu yang sengaja memisahkan saya dari Anda? Bahkan memberikan minuman yang aneh, lalu Anda berakhir seperti ini?" Ratih mencoba membuka mata Arumi.

Sejenak, Arumi bergeming. Pikirannya kacau. Pantas saja, ketika ia diseret oleh Ben, dua wanita jahat itu tersenyum yang memiliki arti. Tanpa sadar, cairan bening keluar dari pelupuk mata Arumi. Ratih yang melihatnya segera menyeka air mata Arumi. Gadis itu menggelengkan kepala.

"Anda jangan menangis begini. Anda berbeda dari mereka-mereka. Para wanita jahat itu sangat iri kepada Anda. Karena hanya Anda sampai detik ini, yang bahkan bisa menghabiskan malam bersama dengan tuan. Dasar picik!" Ratih menggeram marah.

Arumi terkesiap. "Apa maksudmu?" tanya Arumi.

"Selama ini tidak ada yang bisa tidur satu kamar dengan tuan, siapapun itu. Sekalipun, ketiga istri tuan yang lain," tutur Ratih.

Jantung Arumi bertalu-talu. Tidak mungkin! Lalu apa gunanya memiliki 3 istri sebelum dirinya! Arumi menyipitkan kedua matanya. Mengamati perubahan raut Ratih. Wajah Ratih tak menunjukkan satu kebohongan sekalipun. Arumi menggigit bibir bawahnya.

"Rasa iri para wanita jahat itu begitu besar, Nyonya. Jangan sepelekan hal itu. Maaf, Nyonya. Saya tak bisa memakaikan baju untuk Anda. Dikarenakan luka Anda yang terbuka. Tadi sudah ada dokter yang kemari. Beberapa luka di tubuh Anda terpaksa dijahit dan diperban. Saya melihatnya saja terasa ngilu. Ini lebih buruk dari luka Nyonya Sela," papar Ratih.

Arumi mendesah. Kata-kata Ratih mengisyaratkan jika Ben acap kali melakukan KDRT. Arumi memejamkan kedua mata sejenak. Dada Arumi terasa sesak. Hidup di mansion ini, ternyata tidak mudah. Menolak menjadi istri Ben, bisa saja ia berakhir mati. Tetapi menerima pernikahan dengan Ben, juga berakhir sekarat seperti ini.

"Apakah aku akan bertahan dalam pernikahan ini? Pernikahan baru berjalan 4 hari saja, aku sudah berakhir begini. Bagaimana seterusnya? Apakah aku akan mati?" Arumi membatin ngeri.

"Nyonya, Anda istirahatlah. Sebelum itu, saya bantu untuk minum obat," ujar Ratih. 

Seketika membuat Arumi tersenyum. Wanita itu mengangguk lemah. Ratih dengan telaten membimbing Arumi untuk minum obat. Ada banyak sekali obat yang harus diminum Arumi.

"Nyonya, mungkin luka ini akan membekas." Ratih menatap sedih pada luka-luka Arumi.

"Tidak apa." Arumi tak peduli jika nantinya semua luka itu akan membekas. 

Pikirannya buntu. Tubuhnya seolah mati rasa. Semua terasa teramat sangat sakit. Terlebih, hati Arumi yang sakit akan tindakan Ben. Pria itu tak segan untuk melukai tubuhnya. Kembali, Arumi menggigit bibir bawahnya.

"Tidurlah, Nyonya. Saya undur diri. Dua jam lagi, saya akan kemari membangunkan Anda untuk makan," kata Ratih seraya berlalu meninggalkan Arumi di kamar yang sempit.

Sepeninggal Ratih, Arumi menerawang. "Bagaimana dengan masa depanku nantinya? Akankah pria jahanam itu membebaskanku? Teganya pria itu membuatku sekarat seperti ini. Rasanya seperti mimpi." Arumi hanya bisa membatin resah.

Pikiran Arumi kini tertuju pada ibunya. Mungkin, ia bisa menjenguk keluarganya itu hanyalah mimpi belaka. Mengingat sikap Ben yang telah berubah padanya. Bahkan kini Arumi ditempatkan di sebuah kamar yang sempit. Berbeda jauh dari kamar sebelumnya.

Ceklek.

Saat kedua mata Arumi hampir terpejam, seketika iris coklat itu melebar tatkala melihat sosok yang telah berdiri di ambang pintu. Seorang pria yang tengah menjadi kegamangannya. Arumi menggigit bibir bawahnya, saat Ben mulai berjalan mendekati dirinya. Pintu kamar sempitnya bahkan sudah terkunci. Ben menarik sudut bibirnya, melihat Arumi hanya dalam balutan selimut tebal. Beberapa di tubuhnya terdapat perban yang menutupi luka hasil dari tangannya.

"Oh, istriku. Kenapa wajahmu ketakutan begitu? Bukankah kau seharusnya menyambutku? Aku bahkan sudah berbaik hati untuk meluangkan waktuku dengan menjengukmu," sinis Ben.

Pria itu menelisik dengan tatapan mata yang berkabut. Entah mengapa Ben hanya menginginkan tubuh Arumi. Sekalipun Arumi telah membagi tubuhnya dengan pria lain. Begitulah pikiran Ben terhadap Arumi. Di mana Ben mengabaikan kamera CCTV yang ada di kamarnya. Semua tentang Arumi seolah membutakan dunia pria itu.

"Kau pasti bertanya mengapa aku repot-repot sudi menginjakkan kakiku kemari 'kan? Aku menginginkanmu, jalang!" Ben menyibak selimut tebal milik Arumi. Membuat segala rahasia Arumi tersingkap begitu saja. Pria itu menyunggingkan senyum seringai tatkala melihat tubuh polos Arumi.

"Kau begitu indah," imbuh Ben. Pria itu segera menuntaskan hasratnya. Sekalipun, Arumi kini bagai mayat hidup.