Chereads / Madu Ke-3 / Chapter 17 - Bab 17. Wanita Tidak Tahu Diri

Chapter 17 - Bab 17. Wanita Tidak Tahu Diri

Arumi mengerjapkan kedua mata. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan. Ini bukan kamarnya. Ah, ia baru ingat. Seharian ia berada di ruang rahasia milik Ben. Setelah pergumulan panas itu, Arumi kelelahan dan tertidur. Manik coklat Arumi melirik jam yang menempel di dinding. Saat ini waktu menunjukkan pukul 10:58 WIB. Rupanya ia tertidur selama 2 jam. 

Arumi menggeliat pelan di atas ranjang. Kedua matanya mulai mencari pakaian yang dibuang oleh Ben dengan asal. Terlihat dress milik Arumi teronggok begitu saja di lantai, berikut dengan underwear dan bra. Arumi mendesah. Memang Ben seperti orang gila.

"Pria itu aneh. Kenapa dia selalu menyentuhku? Sedangkan dia memiliki 3 istri lainnya. Mengapa hanya aku yang terlalu sering ia sentuh? Atau mungkin karena aku barang baru, si brengsek itu bahkan belum juga bosan karena menyentuhku setiap hari. Lebih baik aku segera memakai baju. Takut jika dia menyerang lagi. Gila!" gumam Arumi.

Wanita itu bangkit menuju ke kamar mandi. Setelah beberapa waktu, Arumi keluar dengan rambut yang basah. Ternyata di dalam kamar mandi, ada shampoo yang bisa ia gunakan untuk keramas. Perlahan meraih dress berikut dalamannya. Dengan terburu wanita itu memakainya. Takut jika Ben akan meminta jatah lagi. Bisa remuk tubuhnya, bahkan ini masih siang bolong. 

Arumi berjalan cepat menuju kaca. Merapikan penampilannya yang berantakan. Beruntung, ia membawa lipgloss setidaknya bisa memerahkan bibirnya yang pucat. Kemudian menyisir rambut basahnya dengan tangan. Lalu ia mengeringkan rambut basah tersebut. Sesekali menghembuskan napas berat.

"Akhirnya, aku bisa tenang juga." Arumi menarik sudut bibirnya. 

Wanita itu benar-benar lega. Kelegaan belum bertahan lama, tiba-tiba terdengar suara derit pintu. Arumi terlonjak kaget. Perlahan mengurut dada. Untung saja, ia bergerak cepat. Sesuai dugaannya, Ben datang untuk menengok dirinya.

"Ada apa?" tanya Ben. Melihat Arumi yang terjingkat. Pria itu berjalan mendekati Arumi.

"Kaget. Kenapa kau kemari?" balas Arumi.

Ben mengulum senyuman. Tanpa menjawab dia menekan kedua bahu Arumi, dan mendudukkannya di kursi. Ben membuka laci dan mengeluarkan hairdrayer. Arumi tak mengatakan apapun. Wanita itu memilih mengamati gerak-gerik Ben.

"Jangan sampai masuk angin. Nanti akan ada orang yang mengurus make up dan pakaianmu di sini. Jangan khawatir. Apa kau lapar?" Ben menggerakkan tangannya. Mengeringkan rambut Arumi yang basah. Arumi enggan menjawab. Ia cukup terkesima dengan apa yang Ben lakukan pad rambutnya.

Imbuh Ben, "Baiklah. Sepertinya kau terlalu malu untuk mengatakan lapar setelah pergumulan panas kita. Kita akan makan siang di restaurant yang dekat dengan kantor. Itu akan menghemat waktu. Aku sedang banyak pekerjaan. Kau tidak masalah kan?"

"Bukankah ada kantin? Kenapa tidak ke kantin saja?" tanya Arumi dengan polos.

Ben terdiam. Ia bahkan menghentikan tangannya yang mengeringkan rambut Arumi. "Kau ingin ke kantin?"

"Em, bukan aku ingin. Tapi, biasanya kan tempat bekerja pasti akan ada kantin?" Arumi menoleh ke arah Ben.

"Benar," sahut singkat Ben. Ia kembali menggerakkan tangannya di rambut Arumi. Lanjutnya, "Tapi apa kau tidak ingin makan sesuatu?"

"Aku bisa makan apa saja. Tapi, aku sudah lama tidak merasakan masakan ibu," jawab Arumi dengan sendu.

"Katakan padaku, apa masakan ibumu? Kita bisa mencarinya," tukas Ben.

Arumi menoleh. "Benarkah? Apa itu tidak merepotkanmu? Em, bisa saja kau tidak senang dengan keinginanku."

"Katakan saja," tegas Ben.

"Rendang daging. Makanan terenak yang pernah dimasak oleh ibu. Tapi ibu jarang memasaknya. Karena harga daging yang mahal," ucap Arumi dengan hati-hati. Ia takut memicu emosi Benedict.

"Hanya itu? Kalau begitu kita ke restaurant di depan kantor. Aku melihat ada banyak menu masakan nusantara Indonesia. Nah, rambutmu sudah selesai. Aku keluar dulu. Tunggu sebentar lagi," ujar Ben seraya berlalu.

Arumi mematung di tempatnya. Wanita itu menepuk satu pipinya. Mungkin saja ia sedang bermimpi bukan? Tapi nyatanya pipinya terasa sakit! Jadi ini bukan mimpi. Arumi meringis. Padahal Ben adalah pria berkuasa. Arumi cukup bisa mengingatnya dengan para istri Ben yang begitu tunduk terhadap pria itu.

"Ini seperti mimpi. Kenapa pria itu berubah? Aku tak mengerti dengan kelakuan pria itu. Terkadang seperti iblis. Terkadang pula seperti manusia biasa lainnya."

Arumi menyugar rambutnya yang sudah kering. Pikirannya tentang Ben sangat kacau. Sikap Ben yang berubah-ubah, membuat Arumi menjadi dilema. Ia takut jika salah mengambil keputusan. Beberapa waktu, Arumi bergeming di tempatnya. Banyak sekali hal yang memenuhi otak kecilnya. Tanpa terasa, Ben telah kembali masuk ke dalam ruangan rqhasia miliknya. 

"Ayo," ajak Ben. Pria itu menarik tangan Arumi.

Dengan cepat Arumi menyambar tas kecil miliknya. Lalu mengikuti langkah kaki Ben pergi meninggalkan ruangan rahasia itu. Keduanya berjalan beriringan diikuti Zu di belakangnya. Setelah menyebrang, kini mereka telah sampai di restaurant depan kantor milik Ben. Arumi kembali dibuat takjub dengan restaurant mewah itu. Wanita itu duduk dengan mata yang berbinar. Ini adalah pertama kalinya ia menjejakkan kaki di tempat makan yang mewah.

"Ya Tuhan, makan di sini pasti mahal. Yah, baiklah. Dia memang orang kaya. Toh itu juga uangnya sendiri. Bukan uangku," ucap Arumi dalam hati.

Seorang pelayan datang dan memberikan buku menu. Ben segera memesan beberapa makanan yang dirasa Arumi akan menyukainya. Sedangkan Arumi, tak hentinya memperhatikan keadaan sekitar. Suasana nampak lengang. Padahal ini memasuki jam istirahat.

"Mengapa sepi? Bukankah ini memasuki jam makan siang?" tanya Arumi.

Ben tersenyum. Lalu mengibaskan tangannya, hingga pelayan membungkukkan badan dan pergi. "Kenapa?"

"Tempat makan semewah ini, mengapa sepi? Aku rasa melihat tempat ini bersih, seharusnya ramai bukan?" Arumi memberikan penjelasan.

"Belum tentu. Mengingat di sini harganya mahal untuk pegawai kantor. Jadi, kami menyediakan kantin yang akan cocok dengan uang mereka. Jika mereka semua makan di restaurant, tentu uang mereka akan habis untuk makan," ungkap Ben.

Arumi menganggukkan kepalanya. Ia paham. Dulu sebelum menjadi istri Ben, ia juga melakukan hal yang sama. Mengirit karena memang uang saku yang sedikit.

"Sekarang aku memiliki uang. Tapi, aku tidak akan boros. Justru aku harus banyak menabung. Siapa tahu, aku akan ditendang saat dia memiliki istri baru. Ya, aku harus menabung sebanyak-banyaknya, mengingat kemungkinan besar itu akan terjadi." Batin Arumi.

"Ben!" sebuah teriakan dari seorang wanita membuat Arumi mendelik.

Wanita yang memanggil nama Ben memberikan ciuman bibir sekilas saat ia berhasil mendekati Ben. Membuat Arumi segera memalingkan wajahnya.

"Aku sudah mencarimu di kantor. Tapi kau malah ada di sini." Wanita itu merajuk. Membuat panas hati Arumi seketika.

"Dasar wanita tak tahu diri! Di depan istrinya saja, dia berani mencium bibirnya!" gerutu Arumi dalam hati. Ia meremas ujung dressnya.