Arumi mengerjapkan kedua matanya perlahan-lahan. Wanita itu menatap langit-langit kamarnya dengan sesekali menguap. Pelan, Arumi bangkit. Ia menoleh ke samping di mana Ben biasa tidur. Kosong. Itu berarti Ben telah berangkat ke kantor. Cukup lama Arumi memandang sebelah ranjangnya yang kosong.
Wanita itu lalu mengedarkan pandangan. Seketika kedua mata coklat milik Arumi melebar. Tatkala ia mendapati jam telah menunjukkan pukul 9 pagi. Pantas saja, Ben telah berangkat ke kantor.
"Astaga. Aku tidur terlalu lama. Ini semua karena suamiku yang kelewat mesum itu. Membuat tubuhku remuk redam. Dia terus menggarapku sampai jam 3 pagi! Keterlaluan. Kemana Ratih? Mengapa tidak membawakan aku makanan?" lirik Arumi.
Arumi bangkit. Ia berlari menuju kamar mandi. Segera keramas dan membersihkan diri. Ia harus segera keluar dari kamar. Mengingat perutnya sudah keroncongan. Setelah selesai, Arumi keluar dari kamar mandi dengan menggunakan handuk kimono. Kini wajahnya sudah lebih fresh.
Ceklek.
"Nyonya?" Ratih menyembulkan wajahnya.
Kemudian menghilang sejenak dan kembali membawa nampan berisi sarapan untuk Arumi. Ratih lalu mengunci pintu. Melihat Arumi belum bersiap untuk apapun.
"Saya bantu, Nyonya." Ratih lalu masuk ke walk in closet milik Arumi.
Sedangkan Arumi, wanita itu duduk manis di depan cermin riasnya. Sembari menatap Ratih yang sibuk dari pantulan cermin. Bibir Arumi tersenyum. Ia beruntung memiliki teman seperti Ratih. Selain cekatan dan telaten, gadis itu bahkan sangat polos dan jujur.
"Setidaknya aku beruntung memiliki pelayan seperti dirinya," kata Arumi.
Ratih kembali dengan gaun untuk Arumi. Sebelum Ben berangkat bekerja tadi, Ratih sudah mendapatkan pesan untuk memoles Arumi secantik mungkin. Tetapi, tentu saja dengan make up yang natural. Ben cukup menyukai kinerja Ratih dalam mengurus Arumi.
"Aku sudah memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada pelayan yang lainnya. Tuan Ben sendiri tadi pagi yang telah mengumumkannya. Mungkin ini sudah menjadi rekeki. Aku harus bersyukur, hidupku lebih mudah dari sebelumnya. Maka dari itu, aku akan mengabdikan diriku untuk Nyonya Arumi. Tuan Ben saja, memperlakukannya dengan istimewa. Apalagi statusku sebagai pelayan?" Ratih membatin.
"Sepertinya tuan menyukai gaun-gaun itu ya, Ratih? Sepertinya semua bajuku, hanya berisi gaun yang mahal. Aku tidak mengerti situasi ini," ungkap Arumi.
"Anda bisa mendapatkan lebih dari ini, Nyonya. Asal Anda bisa menempatkan diri. Sudah kubilang, tuan hanya tertarik dengan Anda. Tidak pernah aku melihat tuan membawa istrinya yang lain ke dalam kamar utama," papar Ratih.
"Benarkah? Ratih, aku tidak percaya itu." Arumi menggelengkan kepala perlahan.
"Tapi itu adalah kenyataannya, Nyonya," elak Ratih. "Saya hidup di sini untuk waktu yang lama. Jadi saya tahu, bagaimana kondisi di sini. Anda jangan merasa tuan memiliki banyak istri, lalu dia bisa tidur dengan banyak wanita. Saya sudah mengamatinya selama saya tinggal di sini. Tuan tidak pernah bersama wanita manapun. Hanya Anda, yang bahkan bisa bersama tuan untuk waktu yang lama."
Arumi menatap kedua mata Ratih dengan lekat. Mencoba meresapi kata-katanya. Arumi juga mencari titik kebohongan yang disembunyikan oleh Ratih. Nihil. Ratih terlihat jujur dan tulus.
"Nyonya meragukan saya?" selidik Ratih. Gadis itu detik berikutnya mengukir senyuman. "Saya memang pelayan. Lalu saya juga dibayar oleh tuan saya, itu memang benar."
Ratih menghentikan kata-katanya. Lanjutnya, "Dulu saya sangat takut jika akan mendapatkan majikan yang arogan dan suka sekali memaki. Karena saya sering melihat tiga pelayan lain yang melayani para istri Tuan Ben, selalu saja dimaki dan direndahkan. Bahkan sesekali mereka akan dihukum."
Arumi menutup mulutnya karena terkejut. Iris coklat itu melebar. "Dihukum? Memangnya mereka melakukan kesalahan fatal?"
Ratih menggelengkan kepalanya perlahan. "Hanya sepele, itu kalau menurut saya. Seringkali mereka mengeluh saat malam tiba, Nyonya. Jadi, saya tahu apa yang terjadi pada mereka."
Arumi menghela napas. Itu berarti kehidupan semua orang di sini tidak mudah. Pikiran Arumi menjadi rumit. Tiga istri Ben yang lainnya, bahkan tak mendapatkan sedikit perlakuan manis dari pria yang bergelar suami itu. Meski mendapatkan fasilitas yang mewah, sebagai istri, sayangnya itu semua hanyalah palsu. Mereka tak pernah menjadi seorang istri seutuhnya.
"Sepertinya aku harus bertindak. Aku tidak boleh terlalu boros. Aku takut setelah aku tak lagi dicinta, maka aku dibuang begitu saja tanpa belas kasihan. Tapi, aku hanya bisa menunggu jatah bulanan darinya saja. Aku hanya lulusan SMA saja. Apa yang aku bisa?" batin Arumi.
"Nyonya?" suara Ratih membuyarkan lamunan Arumi. Membuat Arumi menoleh kikuk. "Lebih baik, Anda sarapan terlebih dahulu. Tuan meminta Anda untuk menyusul ke kantor nantinya."
Arumi mengangguk tanpa bersuara. Wanita itu mulai menikmati sepiring nasi goreng seafood kesukaannya. Di masa lalu, ia sangat jarang merasakan makanan mewah. Maka dari itu, Arumi sedikit bersyukur akan kehidupannya yang lebih baik. Setidaknya, kedua adiknya bisa sekolah tanpa bingung biaya lagi. Sekalipun ia mengorbankan masa depannya.
"Apa aku harus berangkat sekarang?" tanya Arumi. Wanita itu menyodorkan piringnya yang telah kosong.
"Tuan Zu belum menjemput Anda. Bagaimana kalau Anda melihat taman samping mansion? Sedikit untuk membuang waktu seraya menunggu Tuan Zu," saran Ratih.
"Tuan Zu? Apa tidak ada supir lainnya? Aku lihat, ada banyak mobil mewah yang terparkir di garasi," kata Arumi.
"Tuan Ben yang memberikan perintah, jika Tuan Zu yang akan menjemput Anda. Seperti yang saya bilang, Anda memiliki posisi penting di sini. Ayo, saya akan membawa Anda menuju taman," ajak Ratih.
Mau tak mau, Arumi bangkit. Ratih membawa piring kosong tersebut ke dapur. Disusul Arumi berjalan santai di belakang Ratih. Hingga di ruang tengah, Sela menghadang jalan Ratih. Pelayan Sela segera menarik Ratih menjauh. Membuat Sela kini berhadapan dengan Arumi.
"Heh, enak sekali ya kamu? Jam segini baru bangun, sarapan diantar ke kamar. Astaga! Seumur aku berada di rumah ini, aku tak pernah diperlakukan sepertimu!" hardik Sela.
Membuat Arumi tersentak. Arumi dapat melihat sorot mata Sela yang berkilat penuh amarah. Wanita itu mengambil kesimpulan, jika apa yang dikatakan oleh Ratih benar adanya.
"Aku tidak tahu, apa maksud Anda. Sedari aku bangun tidur, Ratih sudah menungguku dengan sarapan. Ratih berkata jika itu adalah perintah dari Tuan Ben," tukas Arumi.
"Sekarang aku sadar. Inilah wajahmu yang sebenarnya, jalang! Kau memakai apa sehingga Tuan Ben mau bersama denganmu? Kau sekarang semakin besar kepala ha? Apa kau juga diam-diam sedang menertawakan tiga istri tuan yang lainnya? Hanya karena kami ini adalah istri terdahulunya? Ingat, kau barang baru. Sudah pasti tuan menginginkanmu. Tapi siapa yang tahu, kau akan ditendang dari rumah ini?" Sela tersenyum menyeringai.