Arumi dan Ben mereguk nikmatnya perpaduan dua tubuh yang bersama mencapai puncak. Keduanya terkapar lemas di atas ranjang. Terlebih, Arumi yang sudah berkali-kali mencapai puncak itu. Lututnya pun lemas. Bahkan ia tak lagi mampu untuk sekedar berjalan menuju ke kamar mandi.
"Terima kasih, Sayang." Ben mendaratkan kecupan di kening Arumi.
Wanita itu tak menjawab. Ia mengedarkan pandangan mengitari ruangan itu. Jarum jam telah menunjukkan pukul 5 sore. Astaga! Kedua mata Arumi melebar. Itu menandakan ia dan Ben sudah lebih dari 3 jam mengarungi nikmat bersama. Tanpa sengaja, Arumi ingat akan janji Ben kepadanya.
"Tuan?" panggil Arumi.
Suara Arumi meski lirih, Ben masih mampu mendengarnya. Pria itu menoleh. Deru napas Ben masih tak beraturan. Membuat semburat merah muda terbit di kedua pipi Arumi.
"Bagaimana dengan janji itu, Tuan?" tanya Arumi.
Ben tersenyum. "Tentu saja kita akan ke kampungmu. Tunggu hari Sabtu besok. Kita berangkat pagi-pagi. Hari Jum'at, kau belanjalah untuk oleh-oleh keluargamu di kampung. Pakai kartu yang aku berikan."
"Kartu?" Dahi Arumi berkerut. "Kartu apa?"
"Kartu kredit tanpa limit. Kau bisa menggunakannya tanpa batas. Kau masih lelah?" tanya Ben. Pria itu bangkit.
Arumi mengangguk. "Lututku lemas. Eh?"
Tubuh wanita itu mengambang di udara. Ben ternyata telah menggendongnya. Arumi reflek melingkarkan kedua tangannya di leher Benedict. Pria itu bahkan memandikan tubuh Arumi. Tak hanya itu, setelah selesai memandikan Arumi Ben juga memakaikan pakaian bersih untuk Arumi. Kemudian pria itu bergegas mengganti baju.
"Sekarang kita pulang," bisik Ben mesra di telinga Arumi.
Lagi, Arumi digendong oleh Ben. Saat keluar ruangan Presdir, Ben masih saja menggendong Arumi. Tak ayal, semua mata yang melihatnya melongo dan menghentikan aktivitasnya. Hal itu membuat Arumi menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Benedict.
Setelah menempuh perjalanan, kini mobil telah berhenti di depan mansion. Lagi, Benedict menggendong Arumi sekalipun telah sampai di rumah. Seperti biasa, para pelayan dan ketiga istrinya yang lain menyambut kedatangannya.
"Selamat datang, Tuan." Semua penghuni mansion menundukkan kepala.
Semua orang kaget saat mendapati sang majikan berjalan dengan sedikit berlari. Membuat sedikit suara gaduh menggema di mansion besar itu. Saat Ben telah menapaki anakan tangga, semua pelayan lekas mengangkat kepala. Betapa kagetnya mereka, ketika Ben justru menggendong istri keempatnya.
"Ini tidak bisa dibiarkan! Bagaimana bisa si kampungan itu merebut hati tuan kita?" bisik Sela.
"Benar! Aku tidak terima tentang ini! Sudah cukup kita bersabar! Lagian kenapa dia manja sekali? Ini nggak adil buat kita!" jerit tertahan Emira.
"Bagaimana kalau kita bersatu untuk menendang si kampungan itu dari mansion?" Sela menyorot lantai dua dengan penuh kemarahan.
"Kalian kalau mau berbuat sesuatu, jangan libatkan aku. Aku tidak ingin kehilangan apa yang aku miliki sekarang," lirih Ruri.
"Eh, Ruri! Kalau kau masih punya otak, hentikan permainan gilamu sekarang! Sebelum tuan sadar, kelakuan murahanmu itu!" tunjuk Sela.
"Permainan gila? Sadar diri, Sela! Aku ini telah diabaikan bertahun-tahun! Aku sudah lelah, jika harus memuaskan diriku sendiri. Heh, iya ya. Kau wanita normal, kau pasti ingin juga dipuaskan hasratmu bukan? Jangan bohong, jika kau sama sekali tak ingin dipuaskan! Begitupun aku. Aku juga ingin dipuaskan, tapi tidak dengan tanganku sendiri! Permainan gilaku, masih lebih baik!" Ruri segera melangkahkan kaki menjauh dari dua orang istri Ben yang lain.
"Dasar gila!" sungut Sela.
"Sela, apa kau memiliki ide? Aku tidak terima jika wanita kampung itu mendominasi tuan kita! Aku takut, jika aku akan dibuang begitu saja," bisik Emira.
"Ikut aku." Sela menarik tangan Emira untuk ke kamarnya.
Apapun yang terjadi, ia harus menjauhkan Arumi dari Benedict. Pasalnya, perusahaan kedua orangtua Sela ada di tangan Benedict. Jika ia ditendang oleh Benedict, maka investasi Benedict di perusahaan kedua orangtuanya bisa dipastikan ditarik. Otomatis, keluarganya akan jatuh miskin dalam waktu satu malam.
"Emira, kita harus bekerjasama untuk menendang wanita kampungan itu dari sini. Jika dibiarkan, lama kelamaan tuan kita juga pasti akan membuang kita!" gerutu Sela.
"Kita harus pikirkan cara dengan matang. Jangan sampai kita terlalu terburu dan akhirnya membuat kita yang ditendang dari sini. Masalahnya, apa yang harus kita lakukan? Jika terlalu lama, kita juga yang harus gigit jari," tukas Emira.
"Iya, kau benar. Jangan sampai kita ditendang dari istana ini. Kita sabar sebentar. Bukankah, tuan kita itu pemarah? Aku yakin, kita jebak wanita kampungan itu dengan cepat tuan akan membuangnya karena terbukti bersalah. Kita susun rencana yang matang," ujar Sela.
"Aku akan memberimu pelajaran, wanita kampung! Lihat, bagaimana aku akan mengurusmu," batin Sela. Ia mengukir senyum seringai di bibirnya.
Arumi menatap Ben yang kini tengah sibuk dengan laptopnya. Pria itu sepertinya tidak lelah setelah seharian bekerja dan bercinta dengannya. Arumi masih was-was. Takut jika Ben akan ingkar kepadanya. Janji yang diberikan oleh Ben terlalu manis untuk Arumi. Terlebih, tentang keluarga yang dirindukannya. Wanita itu memainkan ujung gaun malam miliknya.
"Bagaimana jika pria itu lupa? Mengapa sedari tadi ia diam saja? Besok sudah hari Jum'at. Dia memintaku belanja. Tapi, apa benar jika hari Sabtu akan ke kampungku? Ya Tuhan. Bagaimana aku bisa memastikannya?" tanya Arumi dalam hati.
"Wanita itu terlihat gelisah. Apa dia takut jika aku lupa dengan janjiku? Padahal, aku tak berniat melupakannya. Aku hanya ingin melihat, sejauh apa ia menghargai pesanku. Aku sudah bertemu dengan berbagai sifat wanita selama ini. Tentu aku paham, jika mereka hanya menginginkan hartaku. Arumi, kau gelisah karena apa? Kita sudah dekat. Tetapi, sepertinya kau masih merasa kita sangat jauh. Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu percaya padaku?" kata Ben dalam hati.
"Kenapa menatapku seperti itu? Apa kau baru saja menyadari jika suamimu ini sangat tampan?" tanya Ben.
Pria itu mengangkat wajahnya. Menyadari tertangkap basah, Arumi segera memalingkan wajahnya. Sekuat tenaga Ben menahan tawa. Ben mulai bangkit dari posisinya yang duduk di sofa panjang. Kini ia menjatuhkan bokongnya di tepian ranjang di samping Arumi.
"Jangan gelisah begitu. Kalau kau ingin bertanya, maka bertanyalah. Apa ini tentang janjiku tadi siang?" Ben mulai memancing arah pembicaraan.
Benar saja. Arumi menoleh. "Apa Tuan serius tentang janji tadi siang?"
"Apa aku memiliki alasan untuk ingkar?" balas Ben.
Arumi bergeming. Sejenak ia mencoba mencari tentang alasan yang bisa dikatakan oleh Ben untuk menggagalkan janji kepadanya.
"Jadi, hari Sabtu nanti aku bisa ke kampung bertemu ibu?" Lagi, Arumi bertanya. Seolah benar-benar tak percaya dengan pria yang bergelar suaminya.
"Tentu. Besok belanjalah untuk oleh-oleh keluargamu. Jangan sampai pulang dengan tangan kosong. Takut digibahin tetanggamu," seloroh Benedict. Membuat Arumi tersipu.