Chereads / Madu Ke-3 / Chapter 27 - Bab 27. Angkuh.

Chapter 27 - Bab 27. Angkuh.

Mobil kini telah memasuki kampung halaman Arumi. Wanita yang setengah mengantuk itu sesekali menguap. Akan tetapi ia memaksa untuk tetap terjaga. Maklum saja, ia sudah tak pulang kampung selama 3 bulan semenjak menikah. Arumi juga berpikir jika ia tak akan menginjakkan kakinya di kampung kelahirannya itu.

"Sudah tidak sabar?" Suara bariton itu membuyarkan lamunan Arumi. Ben tengah menatap tajam Arumi dengan ekspresi datarnya.

"Iya, Tuan. Rasanya tak sabar. Ini pertama kalinya pulang ke rumah." Arumi mengulum senyuman. "Terima kasih, Tuan. Rasanya ini masih seperti bermimpi," imbuhnya.

"Asal kamu patuh. Apapun yang kau inginkan, aku akan mengabulkannya. Apa kau akan memanggilku tuan di depan kedua orang tuamu?" Ben menyudutkan Arumi. Membuat wanita itu meneguk ludahnya sendiri. Seulas senyuman tipis terbit di bibir Ben. Lanjut Ben, "Kurasa kau bisa mulai memanggilku dengan sebutan yang lain."

Arumi membisu. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Mengingat Ben seorang pria yang menyeramkan bagi Arumi. Masa iya memanggil suami? Rasanya lidah Arumi menolak memanggil begitu.

"Bagaimana jika kau memanggilku honey? Aku juga akan memanggilmu begitu," tukas Ben.

Arumi menatap Ben dengan tajam. Sikap Ben terlihat angkuh dengan tatapan yang lurus ke depan. Wajahnya tak memperlihatkan ekspresi apapun. 

"Kenapa diam?" Ben menoleh. 

"Tidak apa. Em, benarkah aku boleh memanggil begitu? Takutnya, aku akan dihukum," beber Arumi.

Ben tergelak keras. Pertanyaan dari Arumi benar-benar tak terduga. Membuat Ben semakin gemas. Bukankah mereka itu suami istri? Letak salah panggilan honey di mana? Mengapa Arumi takut? Ah, Ben sadar jika Arumi masih polos.

"Apa kau keberatan dengan panggilan itu? Orang tuamu akan mengira jika hubungan kita tidak baik-baik saja. Jangan membuat keluargamu khawatir." Ben menyelipkan anak rambut milik Arumi ke telinganya dengan lembut.

Arumi menjawab dengan anggukan kepala. Hening kembali menyelimuti mobil itu. Tak ada lagi pembicaraan sampai akhirnya mobil memasuki rumah Arumi yang … tampak berubah. Melihat rumahnya yang berubah, Arumi ragu jika itu rumahnya. Namun, terlihat di depan pintu kedua adiknya dan seorang wanita paruh baya yang bersimbah air mata.

"Ibu!" Panggil Arumi.

Ia kemudian berlari menuju sang ibu berada. Kedua adiknya juga memeluk Arumi yang berpelukan dengan ibunya. Suasana haru itu berlangsung beberapa saat. Ibu Arumi, Sekar. Melepaskan pelukan Arumi. Arumi lalu memeluk sang ayah yang tampak sayu. Seperti kehilangan setengah hidupnya.

"Bagaimana kabarmu, Nak? Kau baru menjenguk kami." Sekar menghapus air mata Arumi.

"Bu, maafkan Arumi. Karena dia menunggu saya memiliki waktu senggang. Karena di hari libur juga saya bekerja. Harap Ibu bisa maklum." Ben meraih tangan tua Sekar. Lalu menciumnya dengan takzim. Kemudian beralih ke ayah Arumi, Ramlan.

"Nak Ben. Terima kasih. Sudah memberikan kehidupan kami yang lebih baik. Saya maklum saja. Mari masuk. Rumah yang Anda renovasi sudah selesai. Saya benar-benar tak menyangka akan mendapatkan kebaikan dari Anda," papar Sekar.

"Benar, Nak Ben. Rasanya kami sudah sangat menyusahkan Anda. Tak menyangka Anda akan sudi berbaik hati kepada keluarga kecil ini."  Ramlan merasa tak enak hati.

Arumi menatap bingung ke arah ibu dan suaminya. Sepertinya ada banyak hal yang tidak ia ketahui. Termasuk rumahnya yang telah direnovasi. Mereka semua lalu masuk ke dalam rumah.

"Sebenarnya saya ingin membuat rumah yang lebih luas. Tapi Anda malah menoleh dan meminta rumah seperti ini. Saya rasa ini hanya hal kecil." Ben mengedarkan pandangan ke sekitar. 

Kata-kata Ben membuat Arumi tercenung. Entah ada hal apa lagi yang akan ia ketahui. Jelas-jelas Ben orang yang arogan. Tetapi mengapa merenovasi secara diam-diam rumah ibu Arumi? Ah, hati Arumi terasa hangat. Semuanya duduk di ruang tamu.

"Lily, buatkan minuman. Lila biar cari suguhan," titah Ramlan.

"Baik, Ayah." Dua gadis itu tak membantah. Sekalipun ia rindu sang kakak tapi masih harus menahan kerinduan itu. Mengingat ada seorang pria yang cukup keduanya takuti.

"Bagaimana kehidupanmu di sana, Arumi? Ayahmu itu khawatir sekali. Khawatir jika para madumu akan bertindak tak menyenangkan terhadapmu," lirih Sekar.

Hal itu mencubit hati kecil Arumi. Padahal suami Arumi sendiri juga bersikap buruk. Arumi melirik Ben yang duduk tenang di sofa lain. Entah pria itu mendengar atau tidak. Arumi tak peduli. Mengingat kebaikan hati Ben yang sudah membuat kehidupan keluarga Arumi menjadi lebih baik. Rasanya tak elok jika Arumi membalasnya dengan kejujuran sikap Ben yang bersikap seenaknya.

"Bu, Ayah. Jangan khawatirkan aku. Ben memperlakukan aku dengan baik. Jika tidak, aku bahkan tidak akan bisa kemari. Oh iya. Ratih kemari." Arumi mengisyaratkan tangan. Membuat Ratih paham dan ia mendekati Arumi.

Lanjut Arumi, "Dia Ratih, Bu. Dia orang yang ditugaskan Ben untuk mengurus Arumi. Jadi di sana Arumi hidup dengan sangat baik. Maka dari itu, Ayah dan Ibu jangan berpikir yang aneh-aneh lagi." Arumi berusaha meyakinkan ayah dan ibunya agar tetap tenang serta khawatir yang berlebihan.

"Benar, begitu?" Ramlan bertanya kepada Ratih yang berdiri di samping Ratih.

"Benar, Tuan. Tugas saya mengurus semua keperluan Nyonya Arumi dengan baik. Jika saya melakukan keasalahan, tentu saya akan mendapatkan hukuman dari Tuan Ben." Ratih berbicara dengan sangat sopan.

"Si-silahkan." Lily membawa nampan ke ruang tamu. Gadis belia itu tampak gugup. Pasalnya sebelum ini, Lily membenci suami kakaknya yang tega menjadikannya sebagai istri keempat.

"Minumlah, Nak. Setelah itu kalian istirahatlah. Di sini ada kamar khusus untuk kalian berdua. Lily yang akan mengantar," kata Ramlan memecah kecanggungan. Melihat gelagat Ben yang tampak tenang dan datar.

"Ayo, Kak." Lily menarik tangan Arumi. 

Diikuti Ben yang beranjak tanpa sepatah kata pun. Kedua orang tua Arumi menghela napas lega. Berada di dekat Ben nyatanya membuat keduanya sesak. Ramlan menatap dua sosok manusia yang masih berdiri tanpa bergerak satu senti sekalipun.

"Bu, mereka bagaimana?" tanya Ramlan.

"Em, mbak Ratih sama Lila saja, Pak. Terus kalau Mas yang itu biar di ruang tamu. Nggak apa-apa kan, Mas?" Sekar bertanya dengan hati-hati kepada Zu.

"Tidak masalah di manapun. Asal bisa beristirahat." Zu menjawab asal.

Di sebuah kamar yang indah dan lebih mewah dari ruangan yang lainnya. Arumi mematung tak percaya. Memang tanah Ramlan sangat luas. Akan tetapi Ramlan yang notabenenya tukang becak tak mampu untuk sekedar memperbaiki atap genteng yang bocor. Untuk itulah sekarang rumah Ramlan terlihat luas.

"Sejak kapan?" Arumi tak lagi mampu membendung rasa penasarannya.

Ben tersenyum. Pria itu dengan santainya melepaskan pakaian dan bertelanjang dada. Lalu ia menjatuhkan bobok tubuhnya di samping Arumi.

"Sejak hubungan kita berdua menjadi lebih baik. Saat kau baru sembuh dari sakit. Aku merasa bersalah. Jadi, hanya bisa menebusnya dengan ini. Maaf, aku belum menjadi suami yang baik untukmu." Ben menatap langit-langit kamar dengan sendu. Lagi-lagi perkataan Ben membuat Arumi tersentuh.