Dahi Arumi bertaut. "Aku tidak mengerti. Apa yang Anda katakan. Sepertinya hati Anda dipenuhi kebusukan. Maka dari itu, Anda tidak bisa menerima takdir Anda sendiri."
Arumi hendak berlalu. Wanita itu cukup malas untuk berdebat dengan Sela. Wanita yang cukup arogan dan tidak sopan. Namun, saat Arumi hendak melangkah pergi justru Sela menarik rambut Arumi dengan keras.
"Nyonya Arumi!" teriak Ratih. "Lepaskan aku! Brengsek! Hentikan, Nyonya Sela!"
"Argh!" pekik Arumi.
Sela menghempaskan tubuh Arumi hingga terjatuh di lantai marmer yang dingin. Sudut bibir Sela tertarik membentuk senyuman seringai licik. Wanita itu justru dengan angkuh melipat kedua tangannya di dada.
"Kenapa?" ejek Sela.
Arumi menatap Sela dengan tatapan jijik. Hanya karena seorang pria saja, Sela nekat menyakitinya yang sesama wanita? Padahal dengan jelas, Sela melihat dirinya dipaksa untuk tinggal di rumah ini. Arumi bangkit berdiri.
"Kamu menjijikkan, Sela," ejek Arumi.
Ejekan dari Arumi seketika membuat Sela membelalak kaget. Bagaimana bisa, Arumi yang selama ini selalu diam kini berani bersuara? Tangan kanan Sela terangkat ke udara.
"Kau ingin menamparku, Sela? Bagus, dengan begitu aku memiliki bukti. Aku bisa mengadukannya kepada tuan kita bukan?" Arumi kini menantang Sela.
Benar saja. Tangan kanan Sela yang tadinya siap dilayangkan, kini turun secara tiba-tiba. Seketika wajah Sela terlihat memucat. Sedangkan dadanya naik turun karena emosi yang ditahan.
"Aku ini akan bertemu dengan Tuan Benedict. Kau berani ingin menamparku? Jelas kau sedang mempersiapkan kuburan untukmu sendiri, Sela. Lepaskan Ratih, sebelum aku datang terlambat memenuhi undangan tuan. Atau, kau ingin dihukum oleh tuan?" tegas Arumi.
"Lita, lepaskan pelayannya! Kita kembali ke kamar!" Sela menghentakkan kakinya ke lantai sebelum wanita itu berbalik dan pergi.
"Nyonya Arumi!" Ratih memekik dan berlari mendekati Arumi yang mematung. Ratih segera meneliti seluruh tubuh Arumi. Mencari di mana saja terdapat luka.
"Ratih, rapikan rambutku. Sebelum Tuan Zu datang kemari," titah Arumi.
Tanpa banyak bicara, Ratih segera membenahi rambut Arumi. Benar saja, Tuan Zu tak lama kemudian menampakkan batang hidungnya. Pria itu membungkukkan badannya.
"Selamat siang, Nyonya Arumi. Tuan Benedict meminta saya untuk menjemput Anda. Apakah Nyonya Arumi sudah siap?" tanya Zu.
"Sudah. Ratih, aku pergi dulu," pamit Arumi pada Ratih.
Arumi berjalan mendahului Zu. Wanita itu sudah mulai mengerti posisinya sebagai nyonya di rumah ini. Sampai di samping mobil, Zu membukakan pintu untuk Arumi. Wanita itu lalu masuk ke dalam mobil. Sedangkan Zu, berlari memutari mobil. Lalu membuka pintu dan menjatuhkan bokongnya di balik kemudi. Zu mulai menjalankan mobilnya.
Setelah empat puluh lima menit, mobil mulai memasuki area parkir. Setelah berhenti, Zu turun dari mobil. Lalu membuka pintu mobil untuk Arumi. Wanita itu turun dengan anggun. Akn tetapi, Arumi begitu was-was. Takut jika Ben akan melakukan hal yang sama seperti kemarin.
Semua karyawan menunduk begitu melihat Arumi datang. Pasalnya, ada Zu yang tepat berjalan di depan wanita itu. Siapa yang tidak mengenal Tuan Zu? Orang kedua setelah Benedict.
"Tuan," sapa Arumi begitu menjejakkan kakinya di ruangan Ben.
Benedict mengangkat kepala. Lalu mengulum senyuman ketika melihat siapa yang datang. Ben segera berdiri dan menarik tangan Arumi menuju kamar rahasia miliknya. Ketika Arumi menjejakkan kaki di sana, wanita itu dikejutkan dengan satu lemari tambahan.
"Itu lemari milikmu. Lihat, ada banyak gaun baru untukmu," ucap Ben.
Arumi menatap tak percaya pada Benedict. Pria itu bahkan membeli gaun yang sangat indah untuknya. Bahkan di bandrol paling sedikit 3 juta. Arumi berulang kali mengerjapkan kedua mata. Seolah tak percaya dengan apa yang dia lihat.
Ceklek.
Arumi menoleh ke arah sumber suara. Ben telah mengunci pintu ruang rahasia itu. Kembali membuat hati Arumi deg-degan. Ketakutannya kini menjadi kenyataan. Ben sepertinya akan memulai siang yang panas membara ini. Arumi tanpa sadar meneguk saliva. Saat Ben mulai berjalan ke arah Arumi berada.
"Sayang, aku sudah menunggumu dari tadi," kata Ben.
Pria itu menarik tubuh Arumi. Menjatuhkannya di atas ranjang begitu saja. Ben masih berdiri menatap penuh gairah pada Arumi yang telentang di ranjang. Tanpa pergerakan apapun dari Arumi, Ben sudah dibuat panas dingin. Perlahan, Ben melepas setelan jas hitamnya. Lalu pada kemeja putih yang menjadi penutup terakhir tubuh atas Ben.
"Em, Tu-Tuan." Arumi tak mampu berkata.
Lidah Arumi terasa kelu. Tenggorokannya tercekat. Arumi menyeret tubuhnya sedikit menjauh dari Ben. Namun, Ben menarik kedua kaki Arumi.
"Sayang." Ben menarik underwear milik Arumi. Menyentaknya hingga underwear tersebut teronggok di lantai.
"Tuan, bukankah tadi malam sudah?" Bibir Arumi bergetar.
"Hm. Iya, tapi itu untuk tadi malam. Aku mau lagi. Kau harus melayaniku dan membuatku puas. Aku akan memberimu satu kesempatan pulang bertemu dengan ibumu," ucap Benedict.
Kedua mata Arumi melebar. "Ber-bertemu dengan ibu? Kau memberikan ijin?"
"Iya. Kau bisa bertemu dengan ibumu. Kau bisa menginap di desa, selama 3 hari. Tidak lebih dari itu. Bagaimana? Kesempatan tidak akan datang dua kali. Aku tak sebaik itu, Arumi," pungkas Ben.
"Bertemu dengan ibu? Tiga hari di desa? Kesempatan." Arumi membatin bahagia.
"Arumi!" Ben berseru. Ia tengah diliputi gairah, akan tetapi Arumi masih sempat melamun.
"Kalau begitu, aku akan menggunakan kesempatan itu dengan baik. Terima kasih, Tuan," ucap Arumi.
"Ya! Tapi sebelum itu … Kau harus memuaskanku! Jangan menolak lagi, Arumi," tegas Ben.
Arumi menurut saat Ben membuka lebar-lebar kedua pahanya. Begitu melihat surga milik Arumi, Ben mengulum senyuman. Pria itu menyibak rok Arumi. Hingga kini terpampanglah hal yang diinginkan Ben. Pria itu lalu menenggelamkan kepalanya di inti milik Arumi.
"Oh!" Tubuh Arumi menggelinjang saat lidah milik Ben bermain di surga miliknya. "Tu-Tuan."
"Sayang, mendesahlah. Jika kau masih mendapatkan kesempatan itu," kata Ben. Di sela-sela lidahnya menyapu inti Arumi.
"Baiklah! Ini kesempatanku! Rasa malu, aku harus menggadaikannya untuk bertemu dengan ibuku!" Batin Arumi.
"Ah," desah Arumi.
Wanita itu mulai merilekskan tubuhnya. Menerima setiap sentuhan dari Ben. Pria itu begitu lihai bermain di inti Arumi. Hingga sesuatu yang sangat sangat dinantikan oleh Arumi itu datang.
"A-aku ingin ke kamar mandi, Tuan." Tubuh Arumi menegang.
"Lepaskan! Turuti kataku!" Permainan Ben semakin dipercepat.
Arumi lekas melengkungkan tubuhnya. Suara wanita itu menggema di sudut-sudut ruangan.
"Ah." Deru napas Arumi memburu. Tubuh wanita itupun bergetar hebat.
Tampaknya ini adalah pelepasan yang sempurna dan baru pertama kali diraih Arumi. Wajah Arumi merona merah jambu. Di depan Ben menatapnya lekat. Mengamati ekspresi pelepasan pertama yang diraih Arumi. Ben mengukir senyuman.
"Kau bagai candu untukku, Arumi," lirih Benedict.