Sela dan Emira melebarkan kedua mata. Saat mendapati Arumi dan Ratih membawa banyak belanjaan. Meskipun setiap bulan mereka mendapatkan jatah belanja, tetapi mereka tidak akan mendapatkan izin untuk berlaku seenaknya. Terlebih, membawa pelayan berbelanja keluar dari mansion di luar jam kerjanya.
"Belagu banget sih! Jangan sok deh. Aku yakin, tuan pasti akan marah besar melihat kalian pergi seenaknya dari mansion." Emira menunjuk wajah Ratih dan Arumi secara bergantian.
Tiba-tiba Emira dan Sela mundur beberapa langkah. Mendapati dua orang bodyguard, kini berada tepat di depan mereka. Keduanya bahkan saling bergandengan tangan. Tak menyangka, jika Arumi bahkan memiliki dua bodyguard yang membawa belanjaan Arumi. Sangat tidak adil. Begitulah pikiran mereka.
"Lo, kenapa Nyonya Emira dan Nyonya Sela mundur? Tadi aja, kelihatan ganas. Kan sudah saya bilang, kami ini pergi dengan izin tuan. Jelaslah, ada yang bawain belanja. Nggak kayak kalian, keluar mansion aja hanya seminggu satu kali." Ratih dengan beraninya mengejek dua istri tuannya itu.
Di tangan Ratih, ada banyak sekali barang yang dibeli bersama Arumi. Beberapa miliknya, awalnya Ratih menolak. Tetapi, Arumi terus memaksanya. Ratih yang memahami ketulusan Arumi, bertekad akan terus membelanya. Serta menjauhkan Arumi dari kebencian tiga istri Ben yang lain.
"Nyonya, barang-barang Anda ditaruh di mana?" tanya Rasya.
"Eh, sebentar. Ikuti kami." Arumi berjalan mendahului dua bodyguard tersebut dan Ratih.
Mereka semua berjalan menuju lantai 2. Di mana kamar utama itu berada. Setelah membuka pintu kamar, Ratih mengulurkan tangan untuk menerima barang belanjaan dari Fauzi dan Rasya. Hal itu dilakukan, agar mereka berdua tak memasuki kamar dengan seenaknya.
"Terima kasih, Tuan-Tuan," ucap Ratih.
"Sama-sama. Nyonya, saya permisi," pamit Fauzi.
Ceklek.
"Nyonya, terima kasih untuk hari ini. Saya mendapat banyak baju serta makanan enak dari Anda," kata Ratih dengan tulus. Kedua matanya terlihat berkaca-kaca.
"Jangan sedih gitu. Harusnya kan kamu senang. Anggap aja, itu sebagai rasa terima kasihku. Kamu sudah mau menemaniku berbelanja. Takutnya kaku bosan, sudah menungguku memilih. Jadi lebih baik kamu beli sekalian. Lumayan kan, uang gajimu bisa kamu kirimkan ke rumah," timpal Arumi.
Wanita itu tengah menata barang belanjaannya. Lalu Arumi mulai memasukkannya ke dalam koper. Melihat ada koper, dahi Ratih mengernyit.
"Nyonya, memangnya Anda mau kemana?" tanya Ratih.
"Oh ini. Besok aku dan tuan mau pulang ke kampung. Tidak lama, hanya 3 hari saja. Ini adalah hari yang aku tunggu-tunggu." Arumi mengukir senyuman.
Plak. Terdengar suara tamparan. Seketika Arumi menoleh ke arah Ratih. Wajah Ratih tak menampakkan kesakitan. Bukan hanya menampar pipinya sendiri, tetapi Ratih justru juga mencubit lengannya.
"Ratih, kamu ngapain?" tanya Arumi sedikit berjingkat.
"Nyonya, katakan ini mimpi!" seru Ratih.
"Mimpi? Kenapa mimpi?" Arumi menatap Ratih dengan kebingungan.
"Tuan selama ini, tidak pernah mau mengurusi urusan ketiga istrinya yang lain. Tetapi, hari ini aku mendengar, tuan akan menemani Nyonya untuk pulang ke kampung?" tanya Ratih. Arumi menganggukkan kepala. Tiba-tiba Ratih berteriak.
"Ini seperti mimpi, Nyonya. Sumpah! Hanya Nyonya yang bahkan diberikan dua bodyguard untuk menemani Anda berbelanja!" jerit Ratih. Tiba-tiba tubuh Ratih lunglai di atas ranjang. "Ini benar-benar seperti mimpi, Nyonya. Astaga! Aku benar-benar manjadi saksi mata, melihat kebaikan hati tuanku."
Arumi terkekeh. "Mungkin, dia sedang berbaik hati. Ayolah, Ratih. Bantu aku mengepak oleh-oleh ini."
Ratih dengan cepat bangkit. Lalu mendekati Arumi dengan semangat. "Nyonya, bawakan aku oleh-oleh ya? Pasti banyak sekali kue-kue lezat khas kampung."
"Kau rasanya belum pernah pulang kampung, Ratih?" tanya Arumi.
Ratih menggeleng. "Bekerja di sini, seperti bekerja di luar negeri. Gajinya besar. Saya hanya pulang, ketika sudah 3 bulan. Em nggak pasti sih. Tuan juga baik hati. Memberikan cuti satu minggu. Jadi, saya cukup puas dengan apa yang ada sekarang."
"Benarkah si bajingan itu berbaik hati kepada para pelayannya? Bahkan dulu ketika aku di tempat Pak Surya saja, tidak diperlakukan dengan baik. Baiklah, setidaknya dia masih memiliki hati nurani." Arumi membatin.
Malam harinya, Benedict beserta Zu telah sampai di mansion. Seperti biasa, ketika mendapatkan kabar 15 menit sebelum mencapai mansion maka semuanya wajib bersiap. Tak perduli pelayan ataupun para istri tuan majikan. Semuanya wajib menyambut kepulangan sang tuan.
"Selamat datang, Tuan," sambut para keempat istri Benedict.
Kedua mata Ben menyipit. Lalu berjalan dan berhenti tepat di depan Arumi. Tangan kanan Benedict menaikkan dagu Arumi. Mengamati iris mata coklat itu dengan penuh cinta.
"Untukmu, jangan lagi menundukkan kepala. Sambut aku, dengan senyuman. Ini tasku. Kau harusnya paham tugas sebagai seorang istri bukan?" Ben menekankan kata istri.
Arumi menganggukkan kepala. Lalu menerima tas yang disodorkan oleh Benedict. Mengikuti jejak langkah pria yang kini naik ke lantai dua. Meninggalkan ketiga istri Ben yang lain.
"Sialan!" desis Emira.
"Sudah jelas, kita ini bukan istrinya. Hanya wanita kampung itu yang menjadi istri sesungguhnya untuk tuan. Jadi, untuk kalian berdua jangan terlalu bermimpi. Sudah ya, ada yang sedang menungguku untuk kepuasan kami. Daripada main solo," bisik Ruri.
Wanita itu tersenyum melihat dua wajah yang memerah. Apa yang ia katakan adalah kebenaran. Siapa yang tidak ingin dipuaskan hasratnya? Terlebih, Ruri pernah memergoki Sela sedang bermain solo. Ruri berjalan meninggalkan dua orang itu.
"Sialan! Mentang-mentang dia puas ada pisang gede!" teriak tertahan Emira.
"Dia gila!" desis Sela.
Wanita itu memilih meninggalkan Emira begitu saja. Mendengar main solo, hasrat Sela tiba-tiba terbakar. Sesampainya di kamar, Sela segera menutup pintu. Wanita itu terlalu terburu hingga melupakan pintu bekum terkunci.
"Sialan, gara-gara Ruri aku jadi begini." Sela berjalan lemari miliknya.
Mengambil sesuatu yang serupa milik seorang pria. Sela segera menuju ke kamar mandi. Duduk di atas toilet duduk yang tertutup. Sela segera menanggalkan underwear miliknya. Perlahan, Sela mengusap miliknya. Sembari membayangkan jika tangan tersebut adalah tangan milik Benedict.
"Oh, Ben. Aku menginginkan ini," desah Sela.
Kini ia memasukkan alat tersebut ke inti miliknya. Sela sesekali memejamkan kedua matanya. Sesuatu yang nikmat menjalar di sekujur tubuh. Tangan Sela mulai mempercepat gerakannya. Tanpa menyadari, jika Emira membuka pintu kamar mandi itu.
"Oh, em." Sela terus mendesah. Akan tetapi kedua matanya melebar saat mendapati Emira telah berdiri menatapnya. "Oh, Emira." Sela gelagapan hendak mencabut alat yang membuat dirinya terbakar hasrat. Tetapi, Emira justru menahannya. Kini ia malah mengeluar masukkan benda panjang tersebut di inti milik Sela.
"Ayo, Sela. Aku bantu. Buka lebar-lebar kedua kakimu," imbuh Emira.
"Emhh. Emira, a-aku bukan lesbi," cicit Sela.
"Dalam keadaan kesepian, apa masih bisa kita berada dalam kewarasan. Nikmatilah, Sela. Kau juga harus membantuku nantinya. Aku juga ingin dipuaskan," kata Emira.