Chereads / Madu Ke-3 / Chapter 26 - Bab 26. Pulang kampung.

Chapter 26 - Bab 26. Pulang kampung.

"Kau sudah bangun?" Sebuah suara bariton menyentak Arumi yang tengah mematung diri di depan cermin rias. 

Arumi menoleh. Terlihat Ben telah bangun dalam kondisi terduduk. Sudut bibir Ben tertarik. Lalu ia mengisyaratkan tangannya agar Arumi mendekat.

"Kemarilah," pinta Benedict.

Arumi tanpa membantah mendekati ranjang di mana Benedict berada. Benedict lalu menyentuh bibir Arumi. Lagi-lagi pria itu tersenyum tanpa Arumi pahami. Pria itu mendaratkan sebuah kecupan singkat untuk Arumi. Mesra dan dalam.

"Morning kiss, Sayang. Mulai sekarang biasakan hal itu." Benedict beranjak dari ranjang. 

Pria itu terlihat hanya mengenakan celana boxer yang cukup ketat. Membuat sesuatu bagian bawahnya tercetak jelas. Benedict berjalan santai menuju kamar mandi. Membuat Arumi segera memalingkan wajahnya. Wajah Arumi memerah menahan malu. Arumi sadar, jika suaminya bertubuh atletis dan memabukkan kaum hawa.

"Arumi, kau sekarang sangat mesum!" lirih Arumi dengan menekan dada. Mencoba menetralkan debaran jantungnya yang berdetak lebih kencang.

Arumi kini memilih bermain ponsel. Ia berselancar di dunia maya untuk menghilangkan kegugupannya. Tiba-tiba sebuah chat pesan masuk ke dalam aplikasi berwarna hijau. Dahi Arumi bertaut. Ia pun segera membuka pesan dari nomor tak dikenalnya itu.

"Lily? Mereka punya ponsel?" Arumi menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Rasa bahagia tiba-tiba membuncah hebat memenuhi rongga dadanya.

"Halo?" Arumi memutuskan untuk menelpon Lily adiknya.

"Halo, Kak Arumi! Ini Lily! Kenapa baru menghubungi? Padahal Lily dan Lila sudah menghubungi kakak dari tadi malam!" Terdengar Lily begitu antusias.

"Maafkan kakak. Kamu punya handphone baru, Ly?" tanya Arumi penasaran.

"Punya! Kemarin ada orang suruhan suami kakak kemari. Dia membelikan aku dan Lila handphone baru. Juga membelikan untuk ibu dan bapak. Dengar-dengar Kak Arumi akan kemari hari ini?" Perkataan Lily menyentak Arumi.

"Suami? Bukankah itu berarti tuan? Jadi tuan mengutus orang untuk membelikan handphone baru untuk keluargaku?" Arumi membatin tak percaya.

"Kak Arumi? Kenapa diam?" tanya Lily.

"Eh oh. Iya hari ini kakak dan suami kakak akan kesitu. Maaf ya, kakak baru mau jenguk ke kampung." Arumi meminta maaf. Akan tetapi ia juga tak ingin membuka aib rumah tangganya.

"Kami akan menunggu. Kak Arumi baik-baik saja kan? Aku, Lila, ibu dan bapak sebenarnya kemarin saat ijab qabul ingin tanya kepada Kak Arumi. Apa Kakak bahagia menjadi istri keempat? Jujur, kami semua sedih mendengar hal itu, Kak. Bapak dan ibu tidak mengatakan apapun ke para tetangga. Kami semua menunggumu, Kak. Ingin melihat keadaanmu. Tolong, pulanglah sebentar ya," ucap Lily dengan sedikit terisak.

Hati Arumi sakit mendengar kata-kata Lily. Tapi setidaknya semua tak sesuai pemikiran Arumi yang buruk. Dibalik kekejaman Benedict sebelumnya ternyata pria itu masih memiliki hati nurani. Bukti nyata kedua adiknya memiliki handphone baru yang sebelumnya mustahil untuk dibelikan Arumi.

"Tentu saja! Tunggu kedatangan kakak. Kalau begitu kakak matikan ya teleponnya. Kakak juga harus bersiap," pamit Arumi kepada Lily sebelum akhirnya sambungan telepon itu telah terputus.

Arumi mematung di tempatnya. Rasa sesak memenuhi rongga dadanya. Tapi apa yang harus ia lakukan? Meski hanya sebagai istri keempat Arumi tak menampik jika Benedict belakangan bersikap manusiawi. Pria itu lebih sering tersenyum.

"Kenapa bengong di situ?" Suara Benedict membuat Arumi terhenyak kaget.

"Em, ada telpon dari rumah. Em, Tuan membelikan adik-adikku handphone?" Arumi bertanya dengan hati-hati.

"Ya. Kurasa adik-adikmu membutuhkan handphone juga untuk menghubungimu. Kupikir kalian tak memiliki akses untuk saling bertukar kabar. Apa adikmu menyukai handphone barunya?" Benedict berjalan menuju ruang ganti miliknya. Pria itu bergegas mengenakan pakaian.

"Tuan, terima kasih. Berkat Anda aku bisa menghubungi adik-adikku. Mereka tentu saja senang. Dari mana Anda tahu alamat rumahku?" Arumi memberanikan diri. Bukankah pria itu lebih hangat dari sebelumnya? Mungkin juga Benedict bersedia menjawab.

Lagi-lagi Benedict tersenyum. "Masih meragukan seorang Benedict?"

Senyuman Ben seketika membuat Arumi menundukkan pandangan. Arumi tiba-tiba merasakan desiran aneh di hati. Pria itu memang begitu mempesona di kedua mata Arumi. Namun sebelumnya Arumi selalu menilai Benedict adalah pria yang brengsek. 

Maka Arumi juga mengabaikan pesona Benedict yang terlalu bersinar. Seketika membuat Arumi sedikit minder. Pria yang sempurna bersanding dengan gadis kampungan biasa. Arumi menghela napas dalam-dalam. Mencoba menyingkirkan perasaan sesak yang bergelayut di hatinya.

"Kenapa kamu berdiri saja? Sudah siap semuanya? Ayo, kita ke mobil." Ben menarik tangan Arumi. Menyentak gadis itu untuk segera mengakhiri lamunannya.

Arumi hanya mampu mengikuti langkah kaki Ben. Saat membuka pintu terlihat Ratih dan Ryu yang sudah bersiap. Ratih yang paham pekerjaan segera mengambil barang-barang yang akan dibawa oleh Arumi. Dibantu dengan Ryu untuk membawa sebuah koper besar yang sebelumnya telah disiapkan oleh Arumi.

"Terima kasih, Tuan Ryu." Ratih memilih membuka suara. Ia tak enak hati lantaran itu sudah menjadi tugasnya.

Hening. Ryu begitu enggan untuk menjawab. Ratih pun tak ambil pusing. Keduanya turun ke bawah dan segera memasukkan barang ke dalam mobil. Di sisi lain, Ben dan arumi kini tengah menikmati sarapannya. Keduanya mendapatkan lirikan tajam dari tiga istri Ben yang lain.

"Aku tahu kalian penasaran." Ben akhirnya membuka suara. Hal itu membuat tiga istri Ben mengangkat wajahnya. Tanpa menatap para istrinya, Ben terus berkata, "aku akan menemani Arumi pulang ke kampung halamannya. Aku harap, kalian di sini tidak berulah. Ada banyak mata yang sedang mengawasi kalian. Jika aku tahu kalian pergi seenaknya, kalian paham kan apa yang akan menanti kalian? Tentu saja sebuah hukuman tengah menanti kalian semua. Apa kalian mengerti?"

"Mengerti, Tuan." Ketiga istri Ben menjawab lirih. 

Emosi kini menyeruak di dalam dada mereka. Bahkan kedua tangan Sela mengepal kuat. Sungguh tidak ada keadilan sama sekali. Ingin rasanya ia marah dan memaki Arumi. Sayangnya, semua hanya angan saja.

"Sialan! Apa yang dilakukan oleh wanita kampungan ini? Mengapa tuan justru terus saja memberikan kelonggaran untuk dia? Apa yang kurang dariku? Aku ini model terkenal sebelum menjadi istrinya. Sangat jauh jika dibandingkan dengan wanita itu. Awas saja kamu wanita kampung!" Sela melirik Arumi penuh kebencian.

"Ya ampun. sepertinya setelah ini hidupku pasti tak akan mudah di rumah ini. Mereka semua terlihat membenciku yang ternyata memiliki kesempatan untuk pulang kampung. Lagian itu kan keputusan tuan. Bukan aku." Arumi membatin cemas.

"Aku harap Ruri tetap di villa Lili. Emira tetap di villa tulip. Terakhir Sela tetap di villa mawar. Jangan sampai kalian keluar dari kediaman ini. Ada banyak mata yang akan mengawasi kalian." ben mengangkat kepala. Menatap satu-persatu wajah istrinya.

"Baik, Tuan." Suasana mendadak mencekam. Lalu pandangan Ben mengarah kepada Arumi yang membisu. Ia cukup kaget dengan kenyataan semua istri Ben memiliki rumah sendiri-sendiri.

"Seberapa besarnya kediaman ini? Aku juga melihat jika tembok yang mengelilingi halaman ini tinggi dan terlihat kokoh. Siapa sebenarnya suamiku ini?" Arumi membatin gelisah.

"Sudah selesai? Kalau begitu ayo kita berangkat." Ben menarik tangan Arumi. Membawa wanitanya untuk segera memasuki mobil. Setelah Ryu dan Ratih masuk ke dalam mobil, Ryu melajukan mobilnya.