Chereads / Madu Ke-3 / Chapter 28 - Bab 28. Grebek

Chapter 28 - Bab 28. Grebek

Keesokan paginya semua keluarga itu pun berkumpul. Arumi dan Sekar telah memasak untuk sarapan pagi. Beruntung, Arumi telah mengabari jika akan pulang ke rumah. Jika tidak, maka tidak akan ada bahan makanan yang cukup untuk sarapan. Mengingat satu keluarga saja sudah banyak.

"Kenapa Anda repot-repot memasak sebanyak ini, Bu?" tanya Ben. Pria itu merasa tak enak hati.

"Sudah. Ada menantu datang masa tidak memasak enak." Sekar meletakkan mangkuk yang berisi konro bakar.

"Wah, masih pagi lo, Bu?" Ben sepertinya senang dengan menu yang terakhir.

"Tidak apa-apa, Nak. Supaya Nak Ben tidak kapok jika Arumi ingin pulang kampung. Ayo dicicipi." Sekar mendudukkan bokongnya di kursi.

"Aku sudah mengatakan pada Ibu untuk tidak masak terlalu banyak. Maklumi saja. Mungkin Ibu terlalu bahagia aku pulang, Mas," ujar Arumi dengan lembut.

"Lain kali masak seadanya, Bu. Ngomong-ngomong, selama di sini kita mau kemana, Sayang?" Ben bertanya pada Arumi.

"Bagaimana jika pergi ke telaga? Eh iya! Telaga buatan, Kak Rumi. Bagus sekali lo. Mau kesana?" tawar Lila.

"Di kota jarang sekali ada danau. Kau mau ke sana, Sayang?" tanya Ben.

Arumi terdiam sejenak. Lalu menatap Lily dan Lila. Kedua gadis belia itu menatap Arumi penuh harap. Sepertinya dua gadis itu sangat ingin pergi.

"Boleh, Mas. Em, ajak Ayah dan Ibu?" Ayumi bertanya dengan hati-hati.

Ben tersenyum. Sepertinya dia paham maksud dari pertanyaan Arumi. Ben membuka suara, "Tentu saja. Ada mobil lagi yang ada di depan. Cukup untuk semua anggota keluarga." 

"Asik!" Lily dan Lila bersorak kegirangan.

Hal itu membuat hati Arumi menghangat. Wanita itu tersenyum. Rasanya masih seperti mimpi. Melihat keluarganya bisa menikmati makanan lezat tanpa harus bersusah payah. Arumi menatap haru ke arah Ben yang berbicara dengan sopan kepada ayahnya. Ben bisa menghormati orangtua rupanya. 

"Aku selama ini meragukan Ben bisa menerima keluargaku. Namun apa yang aku lihat nyatanya berbanding terbalik. Semua seolah Ben memiliki kepribadian ganda. Ben, apa aku telah salah menilaimu selama ini?" Arumi membatin.

"Honey? Kenapa diam? Sudah selesai sarapannya?" Ben bertanya dengan lembut.

"Eh, sudah, Mas. Berangkat sekarang? Aku bahkan belum bersiap apapun," jawab Arumi.

"Baiklah. Segera bersiap. Aku akan menunggu di mobil." Ben bangkit. Imbuhnya, "Bawa barang seadanya saja. Kita tidak menginap di sana." Ben berlalu. Diikuti Zu yang juga berjalan tegap di belakang Ben.

"Arumi. Suamimu memiliki hati yang baik. Meskipun ayah tak suka kamu menjadi istri keempatnya. Akan tetapi, entah mengapa ayah yakin kamu akan bahagia bersamanya. Mungkin dia seperti pria yang angkuh. Ayah juga pernah berpikir yang sama. Tetapi melihat dia memperlakukan keluargamu dengan baik, semua keraguan ayah seolah benar-benar tak berguna," terang Ramlan.

"Benar. Tadinya ibu kecewa karena kamu menjadi istri keempat. Namun melihatmu yang lebih gemukan dari sebelumnya membuat ayah dan ibu sedikit tenang." Sekar menyahut seraya memeluk Arumi.

"Iya, Bu. Di antara para istrinya, memang Ben bersikap lebih baik dan lebih manis. Aku, juga tidak pernah melihat Ben menghabiskan malam dengan mereka." Arumi menunduk. Mendapati tatapan kaget dari ayah dan ibunya.

"Lebih tepatnya tuan tidak pernah menghabiskan malam bersama istri tuan yang lain." Ratih menyahut. Lalu menyerahkan sebuah tas selempang kecil bermerk hermes. Imbuh Ratih, "Selama saya bekerja bersama Tuan Ben, saya hanya melihat Tuan bermalam dengan Nyonya Arumi. Ngomong-ngomong saya sudah bekerja di sana beberapa tahun."

Ramlan dan Sekar terkejut bukan main. Keduanya saling berpandangan bingung. Sedangkan Ratih tersenyum tulus. "Begitulah. Sudah waktunya Anda berangkat, Nyonya. Ayah dan ibu Anda akan masuk ke mobil yang lainnya."

"Ayo, Ayah, Ibu." Arumi bangkit. Diikuti Ratih di belakangnya. Sedangkan dua orang gadis berjalan dengan penuh antusias.

Saat Arumi memasuki mobil, terlihat Ben sedang sibuk dengan laptopnya. Sepertinya Ben masih mengerjakan pekerjaannya.

"Mas, jika Mas sibuk kenapa bersedia ke telaga buatan?" tanya Ratih. Ia tidak tega melihat Ben bekerja di saat-saat liburan.

Ben tersenyum. "Maklumi saja suamimu ini, Honey. Pekerjaan suamimu ini sangat banyak. Mengingat ada 3 perusahaan utama milik suamimu. Belum lagi 5 anak perusahaan cabang yang sedang merintis kejayaannya. Tidak masalah kok. Asal aku bisa menghandle nya."

Arumi terdiam. Semenjak ia sering keluar masuk perusahaan milik Ben, ia tahu bagaimana satu perusahaan itu berdiri. Lalu Ben baru saja mengatakan kepemilikannya akan perusahaan-perusahaan yang lebih dari satu itu. Rasanya Arumi menjadi ciut nyali. Ben terlalu sempurna dengan kekayaan dan ketampanannya.

Saat malam tiba, mobil telah memasuki halaman rumah. Ben turun sembari menggendong tubuh istrinya yang tertidur sepanjang perjalanan pulang. Hari ini Ben dapat melihat gelak tawa yang lepas dari Arumi. Ternyata membuat wanitanya bahagia itu mudah sekali.

"Sekarang sudah sampai di kamar kita, Honey. Ternyata sikapmu benar-benar polos. Sangat berdosa sekali jika selama ini aku memiliki sikap yang buruk." 

Setelah mendaratkan satu kecupan singkat di bibir Arumi, Ben melangkah menuju kamar mandi. Seluruh badannya terasa lengket. Ben keluar dari kamar mandi saat telah selesai melakukan ritual mandi. Namun, entah bagaimana tiba-tiba pintu terbuka lebar. Tampak banyak sekali orang-orang yang seperti sedang marah.

"Nah ini dia pasangan kumpul kebo!" seru seorang wanita paruh baya.

"Pantas sekali, sekarang Pak Ramlan dan Bu Sekar punya rumah gedong. Ternyata anaknya murahan gini ya?" Kali ini suara seorang gadis yang berbicara.

Mendapati suara ricuh, Arumi terbangun. Seketika kedua matanya melebar tatkala melihat ada banyak orang tepat di ambang pintu. Membuat tubuh Arumi bergetar hebat. Peluh bahkan membasahi keringatnya. Dengan cepat, Ben mendekati istrinya.

"Sayang, tenanglah. Jangan berpikir aneh-aneh. Sekarang carikan aku baju. Aku akan berbicara dengan mereka. Tenang ya?" Ben mengusap pucuk kepala Arumi. Sedikit membuat Arumi tenang.

Pandangan Arumi kini tertuju pada seorang gadis yang tersenyum sinis ke arahnya. "Sasya," lirih Arumi. 

Namun, Ben masih dapat mendengarnya. Ben segera bangkit dan berjalan menuju ambang pintu. Sekalipun ia hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya ia seakan tidak peduli.

"Bisa ikut saya keluar dari kamar? Rasanya tidak etis jika berdiri di sini. Saya akan menjelaskan apapun yang saat ini sedang menjadi kasak-kusuk." Ben mengukir senyuman ramah.

"Cih! Pasangan kumpul kebo sok ramah. Tapi baiklah. Ayo, para warga ke ruang tamu," ucap Sasya. Ia sesekali melirik tubuh Ben yang sangat menyilaukan mata.

Ben berjalan mendahului warga yang sedikit tenang. Lalu Ben mendudukkan bokong di sofa. Tak lama kemudian terlihat Arumi dengan tergopoh-gopoh membawa kaos milik Ben. Wanita itu hanya mengambilkan pakaian asal. Melihat Arumi mematung di tempatnya, Ben tersenyum.

"Kemarilah, Honey. Tidak kasihan suamimu ini masuk angin nantinya?" Suara Ben membuat semua warga terpaku mendengarnya. Bisik-bisik kembali terdengar. Arumi menyodorkan kaos kepada Ben. 

"Pakaikan dong?" Dalam keadaan genting, Ben masih bisa menggoda Arumi. Dengan wajah yang memerah, Arumi mengikuti perintah dari Ben.

"Terima kasih. Sekarang, ambil buku nikah kita. Kamu simpan baik-baik kan?" tanya Ben. Arumi pun menganggukkan kepala. "Baiklah, Honey. Ambillah." Arumi pun berlalu.

Ben kembali menghadap orang-orang yang menatapnya remeh. "Saya tahu, Anda sekalian bingung dengan keadaan kami. Kita tunggu istri saya mengambil barang bukti jika kami pasangan yang sah secara hukum dan agama."

"Lo? Ada apa ini rame-rame?" tanya Ramlan.

Rombongan mobil Zu ternyata baru sampai. Terlihat Ramlan, Sekar, Lila, Ratih dan Lily kaget dengan kedatangan banyak sekali orang.

"Bulek Parmi kenapa ini?" Kali ini yang bertanya Sekar.

"Halah, sok-sokan nggak tahu. Itu anak kesayanganmu yang pergi ke kota. Pulang-pulang bawa laki-laki sekamar lagi!" Wanita yang dipanggil Bulek Parmi tersenyum mengejek.

"Lo, Nak Ben. Belum kamu jelaskan jika kamu menantu bapak?" Ramlan mendekati Ben dan duduk tepat di sampingnya.

Ben tersenyum ramah. "Sudah. Saya sedang menyuruh Arumi mengambil buku nikah kami. Anda tenang saja. Ratih?"

Ratih pun berjalan mendekat. "Ya, Tuanku."

"Sepertinya Nyonya Arumi terlalu gugup mencari buku nikah kami. Bisa minta tolong panggil Nyonyamu kemari? Aku membayarmu untuk itu bukan?" Ben kini memasang wajah angkuh.

"Ya, Tuanku. Saya akan memanggilkan Nyonya." Ratih berlalu.

"Nyonya Arumi? Aduh, mimpi sekali." Sasya mencebikkan bibirnya. Dalam hati, ia sangat iri Arumi memiliki pria yang sangat sempurna.