Chereads / Madu Ke-3 / Chapter 29 - Bab 29. Kesempurnaan.

Chapter 29 - Bab 29. Kesempurnaan.

Selang beberapa lama, Arumi datang bersama Ratih. Hal itu disambut baik oleh Ben. Pria itu tersenyum lalu mengulurkan tangannya. Arumi yang paham segera memberikannya kepada Ben.

"Terima kasih, Sayang. Sini duduklah. Kenapa berdiri terus? Jangan gugup. Kita tidak bersalah. Kenapa kita harus takut. Kemarilah." Ben menarik tangan Arumi. Membuat wanita itu terduduk tepat di samping Ben.

"Silahkan Pak RT cek dan warga yang lainnya juga boleh cek." 

Ben memberikan dua buku nikah itu kepada Pak RT yang disegani. Lalu buku itu beralih ke warga yang lain juga. Hingga Bulek Parmi dan Sasya terhenyak kaget. Bukan itu saja, wajah Pak RT juga mulai berubah. Sedikit tak enak hati. Pria paruh baya itu menyodorkan dua buku nikah kepada Ben.

"Maafkan saya, Nak Ben. Saya hanya menjalankan tugas. Itupun saya mengetahuinya dari salah satu warga yang melihat ada pria menginap di sini. Terlebih, maaf. Pernikahan Nak Arumi dan Nak Ben ini memang belum didengar oleh kami para warga di kampung ini." Pak RT tampak tak enak. Terbukti dari wajahnya yang canggung.

"Tidak apa, Pak. Saya mengerti. Akan tetapi … Zu!" Ben memanggil Zu. Pria yang paham itu segera mendekati Ben.

"Ya, Tuanku."

"Ambilkan tasku yang berwarna biru," titah Ben.

Zu yang mengerti, berjalan meninggalkan keramaian. Sesuai permintaan Ben, Zu kembali dengan satu tas berukuran sedang. Zu memberikannya kepada Ben. Setelah menerimanya, Ben membuka tas biru itu dan mengeluarkan tiga gepok uang. Satu gepok uang tunai ratusan ribu itu tertulis sepuluh juta. Hal itu membuat semua warga terkejut. Ben menaruhnya di atas meja.

"Ini saya sumbangkan tiga puluh juta untuk masjid atau pembangunan di desa ini. Sebagai amalan kedua mertua saya. Bisa Pak RT?" Ben menatap Pak RT yang masih saja terkejut itu.

"Eh, i-iya. Ka-kalau begitu saya terima ya?" Pak RT menyimpan uang tersebut di dalam kresek hitam yang Ramlan berikan.

"Sialan! Suami Arumi kenapa kaya sekali? Kenapa harus Arumi? Kenapa bukan aku? Bukankah dulu Arumi bekerja hanya sebagai pelayan saja? Oh, apa iya Arumi bekerja di rumah pria ini? Lalu Arumi menggoda pria tampan ini? Ah, jika begitu aku akan meminta ikut bekerja di kota saja." Batin Sasya menatap Ben penuh minat.

Semua orang pun undur diri. Arumi dan keluarganya menghembuskan napas lega. Tanpa kata, Ben berlalu begitu saja. Membuat Arumi bingung dengan tingkahnya.

"Nak, susul suamimu. Dia pasti kesal karena digrebek tiba-tiba. Sudah, Nak. Sana, jangan buat suamimu tambah kesal. Dia itu baik lo. Harusnya dia marah sama warga. Ini dia malah nyumbang tiga puluh juta. Itu duit gede, Nak. Sana, urus suamimu." Ramlan pun menasehati Arumi.

"Baik, Pak." Arumi bangkit. 

Ia berjalan menuju ke kamarnya. Saat ia membuka pintu kamar, Ben sudah memakai celana. Arumi lalu merangkak ke atas ranjang. Merebahkan tubuhnya di samping Benedict.

"Mas." Arumi memanggil lembut. Ben sepertinya masih kesal. Arumi sadar. Ben merupakan seorang pria metropolitan. Hari ini justru ia digrebek bersama istrinya sendiri. "Maafin aku." Arumi berucap lirih.

"Memangnya kamu salah apa?" Ben berkata tanpa menoleh. Ia masih asyik dengan handphone miliknya.

"Kita digrebek warga. Mas pasti malu 'kan tadi?" Arumi menundukkan kepala.

Ben menoleh. "Aku tidak malu. Aku hanya kecewa. Mengapa tetanggamu tidak ada yang tahu jika kamu sudah menikah? Aku hanya berharap kamu benar-benar mengakuiku sebagai suamimu. Atau kau tidak pernah ingin mengakui pernikahan ini."

Arumi terdiam. Kata-kata Benedict benar adanya. Wanita itu meneguk ludah. Sangat bingung bagaimana ia akan menjawab pertanyaan Ben. Arumi bahkan menggigit bibir bawahnya. Membuat Ben tersenyum sinis.

"Ternyata benar dugaanku. Kau tidak ingin mengakui pernikahan ini." Ben berkata dengan nada ketus. 

Kemudian pria itu memilih untuk mematikan saklar lampu dan segera memejamkan mata. Hatinya cukup sakit saat mengetahui jika Arumi tak menganggapnya sebagai suami. Terlebih pernikahan mereka. Bukankah pernikahan mereka telah memasuki 5 bulan? Akan tetapi lihatlah kenyataannya. Arumi masih saja membentengi dirinya.

"Kenapa sesakit ini saat mengetahui jika wanita itu tak mengakui pernikahan ini? Apakah hanya aku yang berharap? Kenapa? Bukankah banyak sekali wanita yang berharap menjadi wanitaku? Kenapa Arumi seolah tak ingin mengakui statusku sebagai suaminya?" Ben membatin sakit hati.

"Mas? Kamu sudah tidur?" tanya Arumi.

Hening. Tak ada suara dari Ben. Entah Ben sudah tidur atau belum. Arumi menghela napas. Rasa sesak memenuhi rongga dadanya.

"Aku memiliki alasan kenapa aku meminta bapak dan ibu untuk menyembunyikan pernikahan ini." Arumi bersuara. 

Pernyataan Arumi sukses membuat Ben tertarik. Dalam cahaya yang remang, Ben beringsut duduk. Arumi dapat merasakan pergerakan ranjang. Menandakan Ben tertarik dengan kata-katanya.

"Karena aku tidak tahu isi hatimu yang sebenarnya. Lalu aku tidak mau jika tetanggaku tahu jika aku menjadi istri keempat. Pastinya keluargaku akan dihina dan dikatakan telah menjual anaknya hanya untuk bisa hidup lebih layak. Aku tidak akan tega melakukannya, Mas. Kasihan mental adik-adikku. Takutnya mereka akan trauma dan sedih mendengar orang menghina kakaknya." Arumi terisak pelan.

Mendengar hal itu, Ben mulai berpikir. Apa yang dikatakan oleh Arumi benar adanya. Ben menatap Arumi yang terisak di sampingnya. Nyatanya justru dirinyalah yang melukai hati wanita yang dicintainya. Arumi tidak bersalah. Jika tetangga Arumi tahu, maka Arumi akan diteriaki pelakor. Ben mengambil udara sebanyak-banyaknya. Lalu menghembuskannya perlahan. Pria itu perlahan turun dari ranjang. Kemudian berjalan keluar dari kamar.

"Arumi, sadarlah. Pria itu tidak akan menjadikanmu wanita satu-satunya dalam hidupnya. Kau sangat menyedihkan, Arumi. Harusnya kau sadar diri." Arumi menggumam pelan. Sebelum akhirnya ia masuk ke dalam selimut dan memilih tidur.

Keesokan paginya, Arumi membuka kelopak matanya yang sedikit perih. Mungkin saja akibat ia menangis tadi malam. Di sampingnya tidak ada sosok Ben yang menghuni ranjang di sebelahnya.

"Apa dia tidak tidur di sini tadi malam?" lirih Arumi sendu.

Arumi memilih bangkit. Melupakan rasa nyeri di hatinya. Ia pun berjalan menuju kamar mandi. Berendam air hangat untuk merelaksasikan diri. Sedikit melupakan rasa sesak di pagi hari. Setelah dirasa cukup, Arumi segera keluar dari bathup dan berpakaian. Saat akan melangkah keluar kamar, detik itu juga pintu kamar terbuka. Tampak Ben dengan wajahnya yang kusut. Tanpa menyapa Arumi, Ben berlalu menuju kamar mandi setelah menyimpan handphonenya di nakas. Namun saat Arumi hendak memegang handle pintu, Ben tiba-tiba bersuara.

"Zu akan mengurus perceraianku dengan tiga istriku yang lain. Setelah ini hanya kau yang akan menjadi satu-satunya istriku. Apakah kau puas sekarang? Oh, satu lagi. Aku tidak pernah bermalam dengan satupun dari mereka setelah bertahun-tahun aku menikahi mereka. Aku harap setelah ini kita tidak akan bertengkar lagi." Ben lalu kembali menutup pintu kamar mandi.

Arumi limbung. Cukup kaget dengan apa yang dikatakan oleh Benedict. "A-apa?"