"Bagaimana? Aku hanya memasak apa yang ada di dapur." Arumi menjelaskan kepada Ben. Pria itu tampak menikmati sarapannya.
Ben mengulas senyuman lembut. Menatap Arumi dengan penuh cinta. "Tidak masalah. Aku menyukainya, rasanya cocok di lidahku. Hari ini kamu ada agenda kemana?"
Sejenak Arumi terdiam. Wanita itu menggelengkan kepala pelan. "Aku tidak ada agenda kemanapun. Mungkin, menanam bunga lagi di taman belakang."
"Zu sudah mengurus administrasi ke Universitas Indonesia. Besok hari pertama-mu ke kampus. Lebih baik, hari ini kamu menyiapkan sesuatu untuk besok," terang Ben.
"Seharusnya tidak perlu." Arumi cukup malas sebenarnya, tetapi otaknya kembali berpikir. Bukankah ini kesempatan? Lagipula, Ben orang yang berpengaruh. "Em, aku nanti akan keluar dengan Ratih. Boleh?"
"Tentu." Ben dan Arumi tak lagi bersuara. Mereka menikmati menu sarapan dan tak lama kemudian keduanya telah selesai. Ben pun berangkat bekerja bersama Zu.
"Nyonya." Sebuah panggilan membuat Arumi menoleh. Ratih, kini berada di belakangnya dengan dua orang bodyguard.
"Tuanmu sudah mengatakan jika kita akan pergi hari ini?" Arumi menebaknya lantaran sudah ada dua bodyguard yang berdiri di belakang Ratih.
"Benar, Nyonya. Mari saya bantu untuk bersiap." Ratih membimbing Arumi menuju ke kamar utama. Tentunya membantu Arumi untuk bersiap.
Tiga puluh menit kemudian, Arumi telah bersiap. Dengan polesan make up yang tipis, serta rambut lurus yang kini sedikit bergelombang di ujungnya membuat Arumi semakin menguatkan kecantikannya. Wanita itu tersenyum lebar tatkala mendapati sosok cantik dari cermin yang memantulkan penampilannya saat ini.
"Terima kasih, Ratih. Ayo." Arumi mengambil tas bermerk Dior. Kemudian berjalan keluar dari kamar. Ratih pun mengikutinya tanpa bersuara.
Seperti biasa, bawahan Ben sudah menunggunya. Termasuk seorang supir dan mobil yang kini terparkir tepat di depan teras. Sopir itu membukakan pintu mobil untuk Arumi. Sedangkan dua bodyguard Arumi berada di mobil yang lain.
"Ratih, aku senang sekali. Rasanya lega, tuanmu sudah mengambil keputusan. Setelah ini semoga saja pernikahan kami langgeng tanpa adanya orang ketiga." Arumi berucap dengan senyuman yang mengembang di bibirnya. Sepertinya Arumi begitu lega memiliki Benedict seorang diri.
Arumi memejamkan kedua mata. Senyuman mengenbang di bibir ranum wanita itu. Ratih tanpa sadar menarik sudut bibirnya. Ia juga bersyukur akhirnya tuan dan nyonya majikannya itu bisa hidup selayaknya suami istri yang lainnya. Ratih juga bisa melihat binar kebahagiaan di wajah Benedict. Setidaknya rumah besar dan mewah itu akan adem ayem. Mengingat tak akan ada lagi perseteruan karena rasa iri dan dengki para wanita Benedict.
"Ratih, aku ingin memberikan hadiah untuk tuanmu. Menurutmu, apa yang dia sukai?" Arumi bertanya kepada Ratih. "Rasanya selama ini hanya tuanmu saja yang memberikan hadiah untukku. Aku ingin memberikannya sesuatu yang melekat di tubuhnya. Maksudku, sesuatu yang bisa dia pakai untuk kehidupannya setiap hari."
"Bagaimana tentang jam tangan? Tentu saja yang bermerek, Nyonya." Saran dari Ratih membuat Arumi tertarik. Pasalnya memang Ben sangat menyukai jam tangan.
"Baiklah. Sepertinya jam tangan boleh juga. Semoga dia menyukainya." Arumi mengulum senyuman.
Di sisi lain, Ben sangat sibuk. Terlebih ada banyak proyek yang harus ia kerjakan. Termasuk pembangunan resort dan hotel yang baru. Sedari pagi pria itu berkutat dengan pekerjaan. Zu juga tak lepas dari laptop miliknya di ruangan sebelah. Sekalipun Benedict sedang sibuk, akan tetapi pria itu justru sangat bersemangat untuk bekerja.
"Tuan, Anda terlihat bersemangat sekali?" Rere, sekretaris Ben yang datang untuk mengantarkan berkas-berkas yang akan dibahas pada meeting siang nanti.
Ben mengalihkan pandangan ke arah Rere. Lagi-lagi Ben tersenyum hingga membuat ketampanannya semakin sempurna. "Tentu saja. Bukankah kita kemarin baru saja memenangkan tender besar? Keuntungan perusahaan kita tentu akan lebih besar. Xander Grup, akan menjadi perusahaan yang mencapai keemasan di masanya nanti."
"Itu berkat Anda yang sangat bekerja keras. Anda sangat luar biasa, sehingga bisa memenangkan tender besar tersebut. Bahkan perusahaan ini semakin terkenal." Rere mencoba mengambil hati Benedict.
"Aku memang harus bekerja keras. Istriku sangat menyukai berbelanja." Ben mengatakannya tanpa beban disertai senyuman bahagia.
Mendadak senyuman di bibir Rere lenyap seketika. Benar sekali. Cukup lama Rere menyimpan keinginannya untuk mendapatkan kesempatan menjadi istri Benedict. Sekalipun Rere nantinya akan berbagi dengan istri-istri Ben yang lainnya.
"Kenapa aku tidak dilirik juga? Sekalipun aku menjadi istri dari keempat istrinya, aku pasti sudah bahagia. Tapi, kenapa dia tidak melirikku? Sepertinya aku harus menyusun rencana." Rere membatin dengan menyimpan segala kekecewaannya.
"Ini." Ben mengangsurkan dokuken yang telah ia tanda tangani. Rere menerima dengan senyuman terpaksa. Tanpa pamit, Rere berjalan pergi. Meninggalkan Ben termangu di tempatnya. "Ada apa? Biasanya dia selalu pamit ketika akan pergi."
Lamunan Ben buyar ketika ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk dari Ratih. Hal itu membuat Benedict bergerak cepat membuka pesannya. Sudut bibir Ben tertarik. Saat Ratih mengirimkan sebuah foto Arumi yang tengah memilah-milah lengirie. Pakaian tipis yang menjadi favoritenya.
"Sepertinya memang benar keputusanku kemarin. Menceraikan tiga istriku yang lain. Sekarang wanita ini lebih berekspresi. Padahal, hanya dengannya saja aku mampu bercinta. Aneh memang. Akan tetapi itu juga bukan wewenangku. Bukan keinginanku yang terlalu memilih." Tak lama kemudian, Ben mendapatkan satu pesan lagi.
"Tuan. Tuan besar dan nyonya besar akan kemari dalam satu minggu lagi." Zu tanpa basa-basi berdiri tepat di depan meja Ben.
"Aku tahu. Siapkan segala sesuatunya. Aku yakin mereka sudah mendengar kabar tentang aku yang menceraikan istri-istriku. Tidak masalah. Lagipula mereka tidak berguna." Ben menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
Lalu pria itu memejamkan mata untuk menahan emosinya yang bergejolak. Bukan tanpa alasan kedua orangtuanya akan bertandang ke rumahnya. Pikiran Ben kini tertuju pada Arumi. Wanita itu sangat polos sekali. Bagaimana jika mamanya memojokkan Arumi? Kepala Ben tiba-tiba pusing seketika.
Pukul enam malam, mobil Ben memasuki pintu gerbang mansion miliknya. Zu menghentikan mobil tepat di teras. Lalu pria itu keluar dari mobil dan berlari memutar membukakan pintu untuk Benedict.
Dengan wajah yang lelah, Ben berjalan menuju ke kamar yang terletak di lantai dua. Ketika ia membuka pintu, Arumi berada di atas ranjang dengan sebuah buku di tangannya. Tampaknya wanita itu terlalu fokus hingga tak menyadari kedatangannya.
"Ehem."
Mendengar deheman, Arumi mengangkat wajah. Senyuman seketika terbit di bibirnya. Ben berjalan mendekati Arumi setelah menutup pintu.
"Sudah pulang?" Arumi turun dari ranjang. Saat itulah, Ben menyadari jika Arumi telah memakai baju tidur transparan favoritnya. Bahkan yang membuat Ben terkejut, Arumi mencium bibirnya dengan lembut. "Selamat datang di rumah, Suamiku."