"Nyonya?" Zu membuyarkan lamunan Arumi.
Arumi melangkahkan kakinya memasuki restoran. Wanita itu disambut oleh banyak pelayan. Para pelayan itu menundukkan kepala saat Arumi berjalan melewati mereka. Wanita itu berjalan lambat dipandu oleh Zu. Pemandangan menakjubkan di kedua mata Arumi.
"Kenapa restoran sebagus ini sepi? Kemana para pengunjung restoran ini? Apa aku salah tempat, Tuan Zu?" tanya Arumi.
Zu terus melanjutkan langkah kakinya. Pria itu membawa Arumi ke tempat Benedict telah menunggu. Zu memilih mengabaikan pertanyaan dari Arumi. Hingga kedua orang itu telah sampai di meja milik Benedict. Pria tampan nan angkuh itu bangkit dari duduknya. Mengukir senyuman menawan di bibirnya. Zu menganggukkan kepala lalu pergi meninggalkan Ben dan Arumi.
"Kau kaget?" tanya Ben.
Arumi menganggukkan kepala. "Kemana orang-orang? Kenapa restoran indah dan mewah ini sepi sekali?"
"Aku sudah memesan satu restoran ini," sahut Ben.
Arumi melebarkan kedua matanya. "Satu restoran?"
"Benar. Untuk makan malam kita. Aku sudah menyiapkan ini semua," jawab Ben dengan senyum mengembang di bibirnya.
"Ini membuang uang Anda, Tuan." Arumi menggelengkan kepala tak percaya.
"Tidak. Aku bahkan bisa membeli restoran ini jika aku mau. Duduklah." Ben menarik satu kursi untuk Arumi.
Dengan kebingungan, Arumi mendudukkan bokongnya di kursi. Tak berapa lama, alunan musik yang lembut dan nyaman mulai terdengar di telinga Arumi. Kembali, wanita itu dibuat takjub. Sepertinya Ben telah menyiapkan semuanya. Tanpa sadar, Arumi tersenyum menikmati suasana yang begitu langka itu. Ini adalah pengalaman pertamanya.
"Kau menyukainya?" Ben duduk di hadapan Arumi.
Mendengar pertanyaan dari Ben, Arumi menganggukkan kepala. Wanita itu masih mengulum senyuman. Menatap para pemain musik yang ada di restoran itu. "Ini membuat saya santai."
"Baguslah. Aku takut kau tidak menyukainya." Ben mengangkat tangannya.
Seorang pelayan lantas tergopoh-gopoh mendatangi meja. Setelah Ben memesan makanan, pelayan tersebut membungkukkan badan kemudian berlalu.
"Saya suka. Bagaimana saya tidak menyukainya? Tapi, Anda membuang terlalu banyak uang. Sebenarnya, di rumah bukankah ada banyak makanan?" tanya Arumi. Ia cukup heran.
Ben mengulum senyuman. Wanita di hadapannya ini benar-benar sederhana. "Memang, tapi … Aku ingin meminta maaf padamu."
Kedua alis Arumi bertaut. "Minta maaf?"
Ben menganggukkan kepala. Wajahnya berubah menjadi sendu. "Benar. Aku minta maaf, karena aku telah berlaku tak adil padamu. Meskipun, aku sendiri bisa mencari tahu kebenaran. Tapi aku tidak melakukannya. Aku seolah menutup mata akan kebenaran. Pada akhirnya, aku justru membuatmu sekarat."
Arumi tak mampu menjawab. Pasalnya karena hal itulah, ia menjadi sedikit takut kepada Ben. Beruntung sekali, pria di hadapannya itu mencari dokter terkenal untuk bisa mengobati luka Arumi hingga tak berbekas sama sekali. Arumi menatap wajah Ben dengan seksama. Pria di hadapannya itu kini sedang meminta maaf. Arumi sendiri tak tahu harus berekspresi apa. Mengingat Ben bisa berubah hanya dengan mengedipkan kedua mata.
"Kenapa kau diam saja? Kau tidak mau memaafkanku?" tanya Ben.
"Saya memaafkan Anda," jawab Arumi dengan memaksakan senyuman.
"Aku tidak benar-benar memaafkanmu, tuan terhormat. Anda seenaknya melakukan hal keji terhadap istri anda sendiri. Oh iya, aku bukan istrimu yang sesungguhnya. Aku bahkan hampir mati kala itu. Tapi anda? Justru meminta maaf semudah itu. Padahal kau hampir saja membunuhku." Arumi membatin miris.
Tangan Ben terulur ke hadapan Arumi. Membuat Arumi mengernyitkan dahinya. Ben memberi isyarat dengan dagunya. Untuk meraih tangan Ben yang saat ini mengambang di udara. Arumi yang paham, wanita itu meraih tangan Ben dengan takut-takut. Setelah kedua tangan itu terpaut, Ben segera menarik tangan Arumi. Menyentak wanita itu untuk segera bangkit berdiri.
"Ah!" Arumi memekik.
Ben membawa tangan kiri Arumi dan menaruhnya di pinggangnya. Lalu satu tangan kanan Arumi ia sematkan di sela-sela jarinya. Tiba-tiba musik Piano Concerto no. 21 mengalun merdu. Ben mulai bergerak, membuat Arumi pun ikut bergerak. Entah mengapa Arumi merasa canggung saat berada dekat dengan Ben.
Wangi maskulin menguar di hidung Arumi. Tak hanya itu, wajah Benedict yang tampan dengan hidung yang mancung semakin membuat hati Arumi bergetar. Dari dekat, Arumi bisa menatap lekat wajah Ben yang nyaris sempurna bak pahatan dewa yunani. Tanpa sengaja, Arumi menginjak kaki Benedict. Membuat wanita itu terjingkat kaget saat melihat wajah Benedict meringis.
"Ah! Maafkan saya, Tuan. Maafkan saya. Saya sangat bodoh menginjak kaki Tuan," sesal Arumi.
"Tidak apa. Aku yakin ini pengalaman pertamamu bukan?" tanya Ben. Arumi menganggukkan kepala. Lanjut Ben, "Tidak masalah. Aku akan mencari guru dansa untuk mengajarimu. Supaya nanti, kita bisa berdansa bersama."
Ben tiba-tiba jongkok di depan Arumi. Membuat Arumi sekali lagi berjingkat kaget. Tangan kekar Ben menyentuh kaki Arumi hendak membuka sepatu wanita.
"Tuan, biar saya saja yang melepas sepatu saya," ucap Arumi.
"Menurutlah." Suara berat Ben menginterupsi.
Mengurungkan niat Arumi untuk melepas sepatunya sendiri. Wanita itu hanya berdiri kikuk di tempatnya. Tak lama, Ben berdiri. Kemudian kembali meraih pinggang dan tangan Arumi lalu menempatkannya ke tempat yang sama seperti sebelumnya.
"Taruh kakimu di atas sepatuku," titah Ben.
"Ya?" Arumi mendadak bingung. Apa maksud pria itu?
"Taruh kakimu di atas sepatuku. Aku akan membawamu berdansa," jelas Ben.
"Saya menginjak kaki Anda?" tanya Arumi takut-takut.
"Menurutlah!" tegas Ben.
Arumi menggerakkan kakinya dengan ragu-ragu. Lalu menempatkan kakinya di atas sepatu mengkilat milik Ben. Setelah kedua kaki Arumi berada di atasnya, Ben mulai bergerak.
"Nah, dengan begini kau tidak perlu repot-repot menginjak kakiku dengan sepatu runcing itu," ucap Ben dengan merekahkan senyuman di bibirnya.
"Ratih yang memilihkannya," kilah Arumi.
"Sepertinya, pelayanmu itu pintar sekali membuatmu terlihat cantik. Seperti malam ini, kau terlihat sempurna di mataku." Ben menatap lekat mata Arumi. Mata coklat yang membuat Ben tergila-gila.
"Te-terima kasih." Arumi tergagap. Merasa tidak kuat ditatap oleh Ben, Arumi memalingkan wajahnya ke arah yang lain.
"Wanita ini! Aku kan sedang menatapnya. Kenapa malah membuang wajah begitu? Apa dia malu? Astaga! Wanita lain jika dipuji pasti malah akan sombong. Tapi dia kenapa malah malu? Arumi, kau lagi-lagi mengoyak hatiku yang dingin. Perlahan kau memasukinya tanpa bisa aku cegah lagi. Kau menjadi duniaku setelah mamaku," kata Ben dalam hati.
Musik pun berhenti. Ben membawa Arumi untuk duduk di kursinya kembali tanpa alas kaki. Setelah mendudukkan Arumi, Ben berjalan dan mengambil sepatu Arumi. Pria itu berjongkok kembali. Ternyata Ben memasangkan sepatu tersebut ke kaki indah milik Arumi.
"Tu-tuan?"
"Kau bisa tidak sih menurut padaku?" tanya Ben.
Arumi membisu kembali. Terlihat kedua kaki Arumi kembali bersepatu. Ben berdiri dan mengangkat tangannya. Seorang pelayan wanita berpakaian indah, berjalan anggun dengan sebuah nampan di kedua tangannya. Wanita cantik dan seksi itu berhenti tepat di belakang Ben.
Pria itu memutar tubuhnya menghadap pelayan tersebut. Ben mengambil sesuatu di nampan tersebut. Kedua mata Arumi membulat sempurna ketika barang tersebut kini berada di lehernya.