Ben menjauhkan tubuh wanita yang telah lancang menyentuh tubuhnya. Pria itu menatap sosok wanita yang mencebikkan bibirnya dan bergelayut manja di lengannya.
"Apa yang kau lakukan?" bentak Ben.
"Ben! Aku Angelina! Mengapa kau lupa padaku?" suara wanita itu terdengar begitu manja.
"Jangan kurang ajar! Zu!" Ben berdiri dengan sigap. Menghindari kontak fisik dengan wanita yang tentu saja kaget saat Ben membentaknya.
"Ya, Tuanku?" Zu seolah mendengar panggilan Ben. Tiba-tiba saja pria itu telah berada di dekat Benedict.
"Seret wanita lancang ini keluar. Bisa-bisanya dia menyentuhku sembarangan." Benedict menatap tajam ke arah wanita yang masih saja membeku di tempatnya.
"Ben! Aku adalah model dari agensimu! Apa kau melupakanku? Waktu itu saja, kau selalu memujiku cantik dan sexy," ucap Angelina sembari melirik Arumi.
Mendengar Angelina masih merengek, telinga Ben semakin sakit mendengarnya. Pria itu semakin murka saja.
"Zu! Cepat seret wanita gila ini keluar! Dia telah lancang menyentuhku!" Ben semakin mengeraskan suaranya.
Hal itu, membuat banyak pengunjung menoleh ke arah mereka. Zu yang mendengar titah dari Ben, segera menarik tangan Angelina dengan kasar dan brutal. Bahkan wanita itu terjatuh, Zu tetap menyeretnya dengan kasar. Tak hanya itu, lutut Angelina yang mengenai lantai karena terseret terlihat terluka. Angelina meringis menahan sakit, seraya mulutnya memaki dan mengumpat.
"Lepaskan, aku. Ini sakit. Aku mohon ampun! Argghh." Angelina memekik saat tubuhnya dilempar begitu saja keluar restaurant. Wanita itu tersungkur di lantai marmer. Kejadian itu menyita perhatian orang-orang sekitar.
"Maafkan saya, Nona. Tetapi saya hanya menjalankan tugas!" tegas Zu. Pria itu berjalan masuk ke dalam restaurant.
Arumi terperangah tak percaya melihat kejadian itu. Selama ini ia hanya melihat Ben selalu dikelilingi oleh banyak wanita. Bahkan istrinya saja ada 4 orang. Namun, mengapa Ben seperti kesal saat perempuan itu menyentuhnya? Bahkan kini Ben membuka jas mewahnya dan melemparkannya dengan marah ke lantai.
Setelahnya, Ben menarik tangan Arumi. Pria itu cukup kesal dengan tingkah wanita yang lancang tersebut. Membuat selera makannya menguap begitu saja. Zu menaruh beberapa lembar uang berwarna merah di atas meja. Kemudian berjalan menuju mobil. Setelahnya, Zu mengemudikan mobil membelah jalanan kota.
Arumi mencebikkan bibirnya. Perutnya sudah mulai berdemo ria. Berbagai menu masakan kediaman Ben, membuat Arumi semakin keroncongan. Wanita itu menghela napasnya berulang kali. Ben melirik sekilas ke arah Arumi. Terlihat jelas, wanita itu seperti kesal.
"Apakah dia cemburu? Wajahnya terlihat kesal. Aku ajak saja dia makan di tempat lain," batin Ben.
"Zu, kita cari ramen. Kurasa, siang-siang begini cocok dengan berkuah," kata Ben.
Mendengar berkuah, Arumi menoleh. Cukup lega dengan apa yang dikatakan pria aneh yang duduk di sampingnya itu. Setidaknya, ia tidak akan kelaparan lebih lama.
"Yah, itu lebih baik daripada aku kelaparan. Aku sudah kehabisan tenaga sejak tadi. Ternyata dia masih memiliki hati nurani. Sebenarnya aku tidak tahu apa itu ramen. Sudahlah, daripada aku kelaparan," kata Arumi dalam hati.
Mobil berhenti di depan restoran sederhana. Arumi menatap tempat makan yang berdesain unik. Tulisannya tampak asing di mata Arumi. Wanita itu mengerjapkan kedua mata. Tiba-tiba sebuah tangan kokoh sekali lagi menarik tangannya untuk masuk ke dalam restoran. Keduanya memilih meja yang berada di dekat jendela.
"Di sini, makanannya cukup enak. Semoga kau suka. Pilihlah menu sesuai seleramu," ucap Ben.
Arumi menatap buku menu yang disodorkan oleh Ben. Menu-menu di sana tampak menggugah selera Arumi. Bahkan terlihat menu yang cukup pedas dan menggiurkan.
"Mengenai wanita itu. Aku tidak mengharapkan kedatangannya." Ben mengawali bicara setelah pelayan pergi membawa menu pesanannya.
Setelah makan siang, Zu mengantar Arumi untuk pulang ke mansion. Hal yang tak pernah menjadi kebiasaan Zu untuk mengantar istri-istri Ben sebelumnya. Hanya Arumi saja yang memiliki kewenangan atas Zu. Sedangkan Zu, pria itu paham posisi Arumi yang penting untuk Ben. Zu juga menyadari jika Ben menaruh Arumi di kamar utama. Semakin menyuarakan status Arumi sebagai nyonya utama di mansion.
Ratih yang melihat kedatangan Arumi bersama Zu, melebarkan matanya. Pemandangan ini begitu langka. Ketiga istri Ben yang lain, melirik sinis ke arah Arumi. Saat Arumi tersenyum ke arah mereka, justru ketiganya melengos pergi meninggalkan Arumi. Seketika senyum Arumi raib.
"Aku tidak mengerti. Sesama istri si brengsek itu, mereka bertiga terlihat akrab. Mengapa hanya denganku saja mereka terlihat membenciku?" batin Arumi.
"Nyonya, saya undur diri. Saya harus kembali ke kantor," pamit Ben.
"Okay. Terima kasih telah mengantarku," sahut Arumi seraya mengukir senyuman.
"Sudah menjadi tugas saya, Nyonya." Zu melirik ke arah Ratih. "Jaga Nyonya lebih dari nyawamu sendiri. Jika tidak, Tuan Ben akan memberimu pelajaran yang akan kau sesali," ancam Zu. Pria itu memutar tumit dan kemudian berlalu masuk ke dalam mobil.
"Nyonya!" jerit Ratih.
Gadis itu tersenyum riang. Membuat Arumi menautkan kedua alisnya. Bahkan yang lebih mengejutkan, Ratih memeluk Arumi dengan erat. Semakin membuat Arumi bingung.
"Ada apa, Ratih?" tanya Arumi.
"Ini luar biasa!" Kedua mata Ratih berbinar. Lanjut Ratih, "Nyonya bisa diantar oleh Tuan Zu, itu sangat luar biasa. Bahkan nyonya yang lain tidak pernah mendapatkan keistimewaan itu. Sekarang katakan padaku, Tuan Ben membawa Anda kemana?" Ratih menaik turunkan alisnya. Wajahnya benar-benar menyiratkan kebahagiaan.
"Apa maksudmu, Ratih? Tuan Zu mengantarku, memang karena Tuan Ben tidak bisa mengantarku pulang. Setelah makan siang, ia langsung kembali ke kantor," kata Arumi santai.
"Ih, Nyonya! Dengar, semua istri Tuan Ben bahkan tak pernah bepergian bersama dengan Tuan Benedict! Jika mereka ingin keluar dari mansion, mereka hanya ditemani supir dan seorang bodyguard untuk menjadi mata-mata Tuan. Tidak seperti Anda, bisa berada satu mobil dengan Tuan Benedict! Itu hebat sekali," pungkas Ratih dengan jumawa.
Arumi terdiam. Kata-kata Ratih sedikit mengusik hati nuraninya. Selama menikah, Benedict juga lebih memilih untuk tidur satu kamar dengannya. Tanpa memperdulikan istrinya yang lain. Hatinya kini bertanya-tanya, mengapa Benedict memiliki istri 3 sebelum dirinya. Jika pria itu bahkan lebih memilih untuk tidur dengannya.
"Tidak. Aku tidak boleh berpikir jika pria itu hanya menginginkanku. Mungkin saja, karena aku adalah istri barunya maka dia masih belum bosan terhadapku. Lagipula, pria itu memiliki banyak wanita diluar sana. Aku sudah melihatnya sendiri," batin Arumi.
"Ratih, jangan bahas lagi hal itu. Aku lelah." Arumi berlalu tanpa menoleh lagi ke belakang. Mengabaikan teriakan dari Ratih yang terus memanggil namanya.
Di sisi lain, Benedict mengecek CCTV yang telah ia pasang sebelumnya di dalam kamar utama. Pria itu terus merutuki apa yang telah ia lakukan terhadap Arumi.
"Ya Tuhan, betapa bodohnya aku," lirih Benedict.