Benedict terus mengulang rekaman CCTV tersebut. Pria sesekali mendesah dan gelisah. Hatinya kalut. Tidak mungkin Benedict melupakan ulahnya menghukum Arumi tempo hari. Pria itu menjambak rambutnya dengan gusar. Pantas saja, Arumi seperti menjaga jarak dengannya.
"Benar-benar brengsek!" umpat Ben.
Zu hanya bisa mematung di tempatnya berdiri. Tak sekalipun ia ingin membuka suara. Saat ini Benedict begitu emosi. Jika mengusiknya, maka Zu yang akan terkena imbasnya. Di sisi lain, Zu sedikit bernapas lega. Karena Benedict, setidaknya kali ini tak langsung meluapkan kekesalan maupun kekecewaannya.
"Zu, aku bersalah padanya. Aku harus apa sekarang?" tanya Benedict.
Kali ini Zu tampak khawatir. Ben sudah mulai kembali meminta sarannya. Jika ia telah salah dalam menjawab, bisa dipastikan leher Zu yang menjadi taruhannya. Zu menghirup udara sebanyak-banyaknya. Lalu dengan perlahan ia menghembuskannya. Mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Zu?" Ben menyipitkan kedua matanya menunggu jawaban dari Zu.
"Bagaimana dengan makan malam romantis, Tuan?" saran Zu.
"Makan malam romantis?" Kedua alis Ben bertaut.
Zu menganggukkan kepala. "Wanita biasanya sangat menyukai hal itu, Tuan. Setahu saya, Nyonya Arumi adalah wanita sederhana. Hanya dengan kejutan-kejutan kecil pasti Nyonya Arumi bisa memaafkan kesalahan Tuan. Terlebih, Nyonya Arumi adalah wanita yang sabar."
Benedict terdiam. Kemudian pria itu berkata, "Cari restoran yang indah. Nanti malam aku akan membawanya pergi. Awas saja, jika idemu ini gagal. Aku potong setengah dari gajimu, Zu!"
"Saya siap menanggungnya, Tuan. Lagipula, Nyonya Arumi pasti bosan di rumah untuk sekian lama," timpal Zu.
"Oh, benar juga. Apa ada lagi yang harus aku lakukan, Zu?" tanya Ben.
Zu terdiam kembali. Kali ini dahinya mengerut sedang berpikir keras. "Hari Minggu nanti, Anda bisa membawanya ke taman hiburan, Tuan."
"Baiklah, Zu. Kau siapkan semuanya." Ben mengibaskan tangannya. Mengusir Zu dengan perlahan.
Melihat tangan Ben yang bergerak, Zu membungkukkan setengah badannya dan tersenyum kecut. Pria itu merutuki nasib sialnya. Setelahnya, Zu kembali menuju meja kerja miliknya. Ia memainkan ponsel untuk segera bertindak mengikuti perintah dari Ben.
"Arumi, maafkan aku. Aku telah berlaku tidak adil. Kau tahu, kau yang paling bisa membuatku percaya tentang bahtera rumah tangga. Aku tidak mungkin mengatakan jika hanya kau satu-satunya wanita yang bisa membuatku normal. Semoga makan malam romantis kita berjalan dengan baik." Ben membatin penuh penyesalan.
Di sisi lain, Arumi menatap langit-langit kamarnya dengan sendu. Sungguh ia merindukan keluarganya. Menghubungi lewat ponsel saja tak cukup untuk melepas rindu yang kian bertumpuk. Ingin rasanya ia menengok sang ibu dan kedua adik-adiknya itu. Tetapi mengingat siapa suaminya, Arumi mengurungkan niat untuk meminta izin pulang kampung. Arumi takut, jika nanti ia mendapatkan hukuman berat.
"Aku ingin sekali ke kampung halamanku. Aku rindu masakan ibu. Meski aku tahu mereka baik-baik saja, tetap saja aku rindu rumah yang selama ini menjadi pelindung dari panas dan hujan. Di sini, bagai hidup di penjara. Tapi, ngomong-ngomong mengapa para istri yang lainnya masih saja betah ya?" gumam Arumi.
"Nyonya? Nyonya sedang apa?" tanya Ratih yang baru saja masuk ke dalam kamar Arumi.
"Aku hanya rebahan. Ada apa, Ratih? Kau tidak istirahat?" balas Arumi.
Ratih berjalan mendekati ranjang di mana Arumi merebahkan tubuhnya. "Tuan Ben malam nanti akan mengajak Anda untuk makan malam di satu restoran, Nyonya. Jadi, saya akan menyiapkan keperluan Anda untuk nanti malam. Saya pikir, Anda sedang tidur. Saya tak enak jika saya masuk ke kamar Anda saat Anda sedang tidur."
"Lakukan apa yang menjadi pekerjaanmu, Ratih. Aku sudah menganggapmu temanku. Jangan terlalu sungkan. Memangnya kenapa dengan tuanmu itu? Kenapa tiba-tiba mengajakku pergi lagi?" tanya Arumi heran.
"Ih, Nyonya!" Ratih menghentakkan kaki ke lantai. "Harusnya Nyonya bersyukur. Dengan begini, tuan tidak akan gegabah lagi saat ia dihadapkan dengan masalah tanpa ingin mencari tahu kebenarannya. Setidaknya, Nyonya akan aman beberapa waktu."
"Benar apa yang dikatakan oleh Ratih. Setidaknya si brengsek itu, tidak akan gila untuk menyakitiku. Rasa sakit itu terus menjalar di tubuhku kala aku mengingat kejadian itu. Lebih baik, aku menjadi wanita yang menurut. Lagipula, statusku tidak akan semudah itu lepas dari hidupku. Pria brengsek itu nyatanya belum bosan bermain denganku," kata Arumi dalam hati.
Senja sore hari kini telah digantikan oleh pekatnya sang dewi malam. Arumi berdiri mematung di tempatnya. Membiarkan tangan Ratih bergerilya di tubuhnya. Ratih memfokuskan diri untuk menjadikan Arumi bak seorang putri. Arumi menatap pantulan dirinya di cermin.
Sungguh tak menyangka ia menjelma menjadi seorang putri yang begitu indah dipandang. Rambutnya telah disanggul ke pucuk kepala. Menampakkan lehernya yang jenjang. Sapuan make up tipis dan gaun yang menurut Arumi dibandrol harga fantastis. Belum lagi sepatu yang Arumi kenakan. Sudah pasti branded dan harganya juga tak kalah melejit.
"Sudah selesai, Nyonya. Seperti biasa, Anda sungguh menawan," puji Ratih.
"Benarkah?" Arumi memutar tubuhnya. Benar. Itu seolah bukan dirinya.
"Ya Tuhan. Ini seperti mimpi. Aku tak menyangka akan ada hari ini. Di mana aku menjadi seorang cinderella. Bertemu pangeran dan menjadi seorang putri. Sayangnya kehidupanku berbanding terbalik. Bukannya dapat pangeran, tapi seorang iblis." Arumi membatin. Sekilas, ia meringis mengingat kenyataan pahit.
"Benar! Nyonya benar-benar luar biasa. Pantas saja tuan klepek-klepek!" Ratih memekik. Ia cukup bahagia. Terlebih, menjadikan Arumi ratu merupakan bonus yang besar untuknya.
Wajah Arumi memerah malu. Tiba-tiba seseorang membuka pintu. Ratih dan Arumi segera menoleh ke arah sumber suara. Zu berjalan tegas memasuki kamar tanpa mengetuk pintu.
"Tuan sudah menunggu Anda, Nyonya." Zu membungkukkan setengah badan.
"Baik," sahut Arumi dengan datar. Wanita itu menoleh ke arah Ratih yang berdiri di sampingnya. "Ratih, aku pergi dulu."
Arumi segera melangkah keluar dari kamar. Diikuti oleh Zu di belakangnya tanpa bersuara lagi. Saat menuruni tangga, ada tiga istri Ben yang menatap sinis ke arahnya. Tatapan iri dan benci menguar pekat membuat Arumi bergidik ngeri. Akan tetapi, Arumi mengabaikannya dan memilih berjalan melewati ketiga wanita itu dengan santai.
Begitu memasuki mobil, Zu segera menancap gas menuju restoran yang telah dibooking oleh Ben. Di dalam mobil, Arumi tak bersuara meski ia cukup penasaran kemana Zu akan membawanya. Selama di perjalanan, Arumi gelisah. Mencoba menebak, rencana Ben apa yang menyambutnya. Apa itu hukumn lagi? Batin Arumi gelisah.
Tak terasa, mobil telah sampai di sebuah restoran mewah. Akan tetapi, di sana tampak sepi. Zu menghentikan mobil dan segera membukakan pintu untuk Arumi.
"Silahkan, Nyonya. Tuan Benedict telah menunggu Anda," kata Zu.
Arumi membeku di tempatnya. Kedua matanya mengerjap beberapa kali, seolah ingin memastikan penglihatannya tidak salah. Wanita itu menoleh ke arah Zu. Terlihat pria dingin itu justru tersenyum dan mengangguk.
"Bersoraklah, Nyonya. Leherku ada di kebahagiaanmu," batin Zu menangis.