Arumi terus mengikuti jejak kaki Benedict. Tanpa protes atau memberontak. Rasanya Arumi seperti mimpi. Kini ia berada di dalam bangunan yang selalu dilihatnya di dalam tv. Bagai mimpi yang menjadi kenyataan. Ben cukup memahami apa yang dirasakan oleh Arumi.
"Bukankah dia cukup menggemaskan?" Ben membatin seraya tersenyum. Penampilan Arumi yang sederhana, berikut dengan ekspresinya yang polos membuat Ben cukup terhibur.
"Kau senang?" tanya Ben.
Arumi menoleh tergagap. "Eh, em iya. Ini seperti mimpi."
Ben mengamati penampilan Arumi. Dress berwarna biru laut selutut yang cukup sederhana. Dipadu dengan sepatu flat berwarna putih. Lalu ada sebuah tas kecil di pundaknya.
"Ini perusahaan cabang. Ada perusahaan inti. Kapan-kapan aku akan mengajakmu," kata Ben.
"Ini perusahaan cabang?" Ekspresi kaget nampak jelas di wajah Arumi.
Ben tersenyum. Lalu menarik pinggang ramping milik Arumi. Membuat detak jantung Arumi tak beraturan. Keduanya begitu dekat. Bahkan Arumi bisa merasakan deru napas Ben yang terasa hangat. "Ya. Hanya aku pemiliknya."
Arumi tak menjawab. Jantungnya benar-benar tak bisa dikondisikan. Hidung Arumi mencium aroma maskulin parfum Ben. Semakin membuat Arumi membeku di tempatnya. Beruntung, keduanya berada di dalam lift khusus presdir. Jadi tidak ada yang melihat posisi keduanya.
Ting.
"Em, pintunya terbuka." Arumi berusaha memberontak.
Pada akhirnya Ben melepaskan Arumi. Membuat situasi menjadi canggung. Ben kemudian menarik tangan Arumi keluar dari lift. Arumi mengikuti langkah kaki Ben. Kedua matanya tak lepas dari keadaan sekitar. Benar-benar menakjubkan di kedua mata Arumi.
"Dengan keadaan ini, aku semakin yakin. Jika ada sesuatu yang salah saat itu. Arumi adalah orang yang polos. Lihatlah, kedua mata itu tak bisa berbohong. Apa aku telah melupakan kejanggalan? Pasti hari itu ada kejanggalan, yang tak kusadari. Tapi, waktu itu Arumi seperti tengah tertidur. Apa aku telah melewatkan sesuatu?" Ben membatin gelisah.
"Ayo, masuk." Ben menarik tangan Arumi. Akan tetapi gadis itu malah menghentikan langkah kakinya di ambang pintu. Kedua matanya mengerjap berulang kali. Imbuh Ben, "Kenapa?"
"Em, i-ini?" Arumi tergagap.
"Ini ruanganku. Tempatku bekerja. Ayo, masuk. Kenapa kau malah berdiri di depan pintu begini? Oh, iya. Kenalkan dia Risya, sekretarisku." Ben menunjuk salah seorang wanita yang berdiri di satu-satunya meja di lantai itu.
"Selamat pagi, Tuan Ben. Selamat pagi, Nona," sapa Risya. Wanita itu tersenyum remeh menatap penampilan Arumi.
"Oh, selamat pagi!" Arumi menundukkan kepala. Hal itu semakin membuat Risya tersenyum meremehkan.
"Hei, apa yang kau lakukan?" kesal Ben. Menarik pinggang Arumi. "Kau itu istriku! Kenapa kau berani-beraninya membungkukkan tubuhmu pada orang lain ha?" Suara Ben terdengar meninggi.
Senyuman di bibir Risya pun raib. Wanita itu bahkan sedikit terjingkat. "I-istri?" Risya tergagap.
Arumi dan Ben menoleh ke arah Risya yang memasang wajah kagetnya. "Benar, dia istriku. Ada apa, Risya?" tanya Ben.
"Em, tidak." Risya menundukkan kepala. Seolah tatapan Ben menusuk hatinya.
"Ayo, aku akan memperlihatkan tempatku bekerja." Ben kembali menarik tubuh Arumi. Hingga kini keduanya telah masuk ke dalam ruangan.
Kembali Arumi terkejut dengan ruangan yang begitu mewah. Kedua matanya berbinar takjub. Semakin membuat Ben membusungkan dada bidangnya. Arumi mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruang kerja Ben. Sedangkan Ben sendiri, memilih berkutat dengan beberapa dokumen yang sudah menunggunya. Tak lama kemudian, Zu membuka pintu ruangan presdir. Pria itu duduk di ujung lain dengan meja dan kursi kebesarannya. Arumi menatap lekat ke arah Zu.
"Pantas saja, pria brengsek ini begitu sombong. Ternyata dia memiliki perusahaan yang besar seperti ini. Jika hanya untuk menghidupi kami para istrinya, memang bisa dikategorikan cukup. Tapi, bukankah banyak orang yang bekerja di rumahnya? Apa mungkin si brengsek itu memiliki kekayaan lain? Oh sepertinya benar. Karena Ben tadi mengatakan jika dia memiliki perusahaannya yang lain. Ngomong-ngomong, aku di sini ngapain?" Arumi mendesah dalam hati.
Arumi melihat ada sofa di dalam ruangan tersebut. Kemudian ia berjalan menuju sofa dan segera menjatuhkan bobot tubuhnya di sana. Pandangan Arumi masih saja menelisik ke setiap sudut ruangan kerja milik Benedict. Hingga kedua mata Arumi mengunci sosok Ben yang tengah sibuk dengan berbagai berkas dan juga laptop miliknya.
"Jika dilihat dari dekat, memang dia terlihat tampan dan berwibawa. Mungkin jika aku wanita normal lainnya, aku bisa dengan mudah jatuh dalam sejuta pesona miliknya. Tapi, aku tetap tidak akan bisa melupakan hari di mana aku sekarat. Satu lagi, mengapa aku harus jatuh cinta kepada pria brengsek itu? Bukankah dia telah membagi cinta dan tubuhnya untuk wanita lainnya? Arumi, kau jangan goyah," batin Arumi.
"Kenapa kau menatapku begitu?" tanya Ben.
Pertanyaan dari Ben membuat Arumi segera memalingkan wajah. Rasanya wajah wanita itu memerah. Arumi yakin, kedua pipinya bersemu merah. Melihat sikap Arumi, Ben menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman. Tak lama kemudian, Ben bangkit dari kursinya. Membuat tubuh Arumi menegang di tempatnya.
"Ayo, aku akan menunjukkan satu tempat. Kau bisa istirahat di sana." Ben menarik tangan Arumi. Mau tak mau, membuat Arumi mengekor di belakangnya.
Arumi menautkan kedua alisnya, saat Ben menghentikan langkah kaki tepat di depan sebuah rak buku. Ben terlihat menyentuh sebuah patung hias di dekat rak kayu tersebut. Hingga sebuah suara mengagetkan Arumi. Membuat wanita itu terlonjak kaget. Sebuah deritan kayu, hingga rak buku itu tergeser.
Di sana, sebuah pintu terlihat saat rak buku itu bergeser ke samping. Kedua kata Arumi melebar. Bahkan tanpa ia sadari, Arumi menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ekspresi kaget muncul begitu jelas di wajah cantiknya.
"A-apa ini?" tanya Arumi nyaris tak terdengar.
"Ayo." Ben kembali menarik tangan Arumi.
Pria itu membawa Arumi masuk ke dalam pintu rahasia. Di sana Arumi belum bisa mengusir kekagetannya. Bahkan gadis itu masih melongo tak percaya. Ruangan rahasia itu mirip sebuah kamar. Ada satu ranjang berukuran besar dan nyaman di sana. Lalu satu buah lemari mewah beserta dengan satu meja rias. Arumi mengerjapkan kedua matanya.
"Aku yakin kau akan lelah menungguku selesai bekerja. Jadi, kau bisa beristirahat di sini. Nanti aku akan meminta Zu untuk membeli pakaianmu. Supaya saat kau berada di sini, kau memiliki ganti baju," ucap Ben.
Mendengar hal itu, Arumi menoleh. "Kenapa aku harus berganti pakaian? Aku hanya menunggumu selesai bekerja saja kan? Jadi, kurasa itu tidak perlu, Tuan. Itu semua hanya akan membuang uang saja," sahut Arumi.
Ben menggelengkan kepala dengan cepat. "Kau akan membutuhkan baju baru."
Arumi mematung tak mengerti ucapan Ben. Tapi, saat pria itu mendaratkan sebuah kecupan di bibirnya, Arumi mulai paham akan apa yang terjadi selanjutnya.