Arumi mencoba bersikap tenang. Meskipun ia sendiri juga sedang tak baik-baik saja. Terlebih, penampilan Jane cukup membuat nyali Arumi menciut. Di sisi lain, Ben diam-diam melirik Arumi. Mencoba meneliti gerak-gerik Arumi. Berharap Arumi akan marah. Tapi nyatanya justru Arumi terlihat santai menikmati sarapannya. Membuat dahi Ben mengerut.
"Ben?" satu tangan Jane nampak berada di atas tangan kokoh Ben. Arumi melirik sosok Sela yang seolah akan muntah. Sedangkan Emira, menatap Jane dengan tatapan nyalang.
"Em, Jane. Kau tahu, aku sudah memiliki 4 orang istri. Aku tidak mungkin menjadikanmu seorang istri. Tapi, aku bisa menjadikanmu kekasihku," kata Ben memancing Arumi lagi. Terlihat ekor mata Ben mengarah ke arah Arumi yang masih saja sama.
Wajah Jane berubah tidak menyenangkan. Wanita itu menatap Arumi dengan tatapan nyalang. Mengapa Arumi? Tentu saja karena Arumi adalah wanita yang Ben nikahi dan menjadi istri yang ke empat Ben. Arumi menarik napas dalam-dalam. Wanita itu merasa Jane begitu memusuhinya.
"Kenapa dengan wanita kampungan ini? Mengapa Arumi bahkan tak merespon kata-kata Jane? Aku adalah Benedict. Seorang penguasa di dunia kegelapan dan juga memiliki banyak sekali kerajaan bisnis, yang bisa membuat wanita mana saja akan rela untuk kujadikan istri. Tapi mengapa Arumi terlihat tidak menyukaiku?" gerutu Ben dalam hati.
"Ayolah, Jane. Sekarang ikutlah sarapan bersama kami. Biar nanti aku kan mengantarmu ke tempatmu bekerja," kata Ben.
Sontak saja kedua mata Jane berbinar. "Sungguh, kau akan mengantarku?"
"Tentu! Pria hebat sepertiku, apa mungkin akan berbohong?" sarkas Ben.
Jane tersenyum. Wanita itu membusungkan dadanya. "Ya, kau kan penguasa, Ben. Tidak mungkin berbohong. Baiklah," sahut Jane. Wanita itu memilih mengambil sarapan pada akhirnya. Tak lagi merajuk terhadap Ben.
"Apa wanita itu memang sedang gatal? Bisa-bisanya dia menggoda pria bajingan itu di depan ketiga istrinya? Ah, ini membingungkan. Memangnya kami ini istri yang dianggap? Kami bahkan hanya orang-orang tak berguna!" Arumi membatin miris.
"Arumi, kau bilang hari ini ingin keluar juga?" tanya Ben tiba-tiba.
"Ya?" Arumi mengangkat wajahnya dengan bingung.
Bukankah ia adalah seorang tawanan? Mengapa pria brengsek itu malah mengatakan hal yang sebaliknya? Bukankah itu lucu? Arumi mengerjapkan kedua matanya berulang kali. Bingung akan kata-kata Ben. Arumi merasa, ia bahkan tidak mengatakan apapun pada Ben.
"Aku sudah memberimu izin untuk bersenang-senang. Lihat ketiga kakak madumu. Mereka tidak kuberikan izin. Nanti kau ikut mobilku saja. Ayo, segera habiskan sarapanmu. Jangan membuang waktu Jane," tukas Ben.
Arumi membeku. Ia menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyuapkan sendok ke mulutnya. Sedangkan Jane, menatap Arumi dengan pandangan tak suka. Seolah Arumi telah merebut perhatian Ben yang seharusnya diberikan kepadanya. Begitu pula dengan tiga istri Ben. Menatap tajam Arumi dengan tatapan tidak bersahabat. Menyadari situasi horor, Arumi menundukkan kepala. Pada akhirnya Arumi hanya bisa pasrah.
"Nyonya, ini tas Anda. Semoga hari Anda menyenangkan," ucap Ratih pada Arumi.
Saat ini Arumi telah naik ke dalam mobil milik Ben. Arumi duduk di pinggir, Ben di tengah dan Jane berada di pinggir lainnya. Zu melajukan mobil. Di dalam mobil, Ben dan Jane berbicara dengan seolah telah dekat dalam waktu yang lama. Membuat Arumi memilih memejamkan kedua mata saat tak sengaja melihat tangan Ben dan Jane saling menggenggam.
"Apakah maksudnya supaya aku bisa melihat mereka bermesraan begitu? Aku tidak mengerti sama sekali. Bahkan sewaktu di kamar, aku tidak mengatakan apapun. Lebih lagi, pria brengsek itu mencekik leherku. Sudahlah. Abaikan saja mereka Arumi. Abaikan!" Arumi merutuk dalam hati.
Ben yang mendapati Arumi memejamkan kedua matanya dari kaca spion, dengan cepat menatap Arumi. Benar saja, wanita itu menyandarkan kepalanya dengan kedua mata yang terpejam.
Ben mengumpat dalam hati. "Sialan! Mengapa Arumi malah tidur? Sabar Ben. Sabarlah. Kalau begitu, aku tidak perlu mengantar Jane. Lihatlah, Arumi malah tidur di dalam mobil. Semua sia-sia."
"Zu, berhenti!" Ben tiba-tiba menghentikan mobil.
"Ada apa, Ben?" tanya Jane. "Ini belum sampai tempatku bekerja," imbuh Jane.
"Maaf, Jane. Aku tidak bisa mengantarmu ke tempatmu bekerja. Aku ingat ada meeting pagi ini. Jadi, kau turunlah. Kapan-kapan aku akan mengundangmu ke kantorku," ucap Ben.
Mata Jane melebar. "Ta-tapi, Ben. Bagaimana jika nanti ada yang menculikku? Kau jangan tega padaku, Ben! Ini sangat tidak masuk akal, Ben." Jane bergelayut manja di lengan kokoh Ben.
"Ayolah, Jane. Pekerjaanku penting. Aku akan mentraktirmu nanti. Ayolah, kapan-kapan kau bisa belanja dengan sesuka hatimu. Aku janji, sebagai permintaan maafku. Oke?" bujuk Ben.
Jane berfikir sejenak. Apa yang ditawarkan oleh Ben cukup menggiurkan. Ia bisa berbelanja banyak sekali nantinya. Dan ini juga tentang pekerjaan Ben. Jangan sampai ia terlambat. Akhirnya, Jane mengulum senyuman.
"Baiklah. Ingat kau telah berjanji. Kalau begitu aku turun dulu. Bye, Ben," kata Jane. Sebelum akhirnya pergi, ia memberikan kecupan sekilas di pipi Ben.
"Zu, jalan!"
Ben mengeluarkan sapu tangan miliknya. Mengelap pipi bekas ciuman dari Jane. Bahkan wajah pria itu terlihat jijik. Tak hanya itu, Ben juga membersihkan jejak-jejak Jane dengan sapu tangan tersebut. Setelahnya, Ben membuka jendela mobil dan membuang dua sapu tangan miliknya. Zu, hanya sebagai pengamat yang baik. Akan tetapi, Zu dapat menyimpulkan, jika Arumilah yang diakui Ben sebagai nyonya di rumahnya.
"Tuan memang tidak mengatakan apapun. Tetapi dari yang aku amati beberapa waktu ini, mungkin hanya posisi Arumi saja yang paling penting," kata Zu dalam hati.
Zu melajukan mobilnya menuju perusahaan mereka. Ben kini tak lagi banyak bicara. Dari keempat istri Ben, hanya Arumi yang dibawa Ben ke perusahaannya.
"Tuan, Nyonya Arumi bagaimana?" tanya Zu.
Ben melirik ke arah Arumi yang terlelap. "Tetap ke perusahaan. Aku ingin dia tahu. Seberapa berkuasanya aku."
"Baik, Tuan." Zu tak lagi bersuara. Tebakannya benar. Jika Arumi, memiliki posisi penting terhadap kedudukannya sebagai istri tuannya.
"Hei, bangunlah." Ben menggoyangkan tubuh Arumi.
Seketika membuat wanita itu terkesiap kaget. Segera Arumi mengedarkan pandangannya. "Em, ini di mana? Apa Anda akan membawa saya pulang?"
"Tidak. Ayo, turun. Zu akan memarkirkan mobil," ajak Ben.
Arumi meragu. Terlebih di depannya kini terlihat bangunan yang menjulang tinggi. "Em, apa Anda akan menjualku?" pertanyaan Arumi membuat Ben menatapnya tajam.
"Kau istriku. Kenapa aku harus menjualmu?" tanya Ben dengan nada yang tidak enak didengar. Membuat Arumi meneguk saliva karena takut. "Ayo." Ben menarik tangan Arumi. Mau tak mau, Arumi mengikuti langkah kaki Ben.
Perlahan keduanya memasuki perusahaan besar itu. Banyak sekali karyawan yang menundukkan kepala saat melihat kedatangan Ben.
"Selamat pagi, Tuan Ben." Begitulah kira-kira para karyawan menyambut Ben.
"Hah? Semua orang mengenal pria brengsek ini?" Arumi membatin tak percaya.
Sedangkan Ben, tersenyum sinis melihat ekspresi Arumi yang seperti tak percaya. "Ya, lihatlah suamimu ini begitu berkuasa!" kata Ben dalam hati.