Ben menatap sosok Arumi dengan sorot yang tak bisa diartikan. Pria itu mengamati gerak-gerik Arumi yang baru saja kembali dari kamar mandi. Wanita itu terlihat kembali mengenakan piyama tipis dengan rambut yang basah. Memilih mengabaikan keberadaan Benedict di dalam kamar tersebut.
"Wanita ini kenapa menjadi dingin? Bukankah dia selalu takut dengan kehadiranku? Atau dia sedang merencanakan sesuatu? Seperti kabur dari tempat ini? Bahkan sewaktu bermain di ranjang, dia tak memberontak sama sekali." Ben membatin waspada.
Pria itu berjalan mendekati Arumi yang tengah duduk di depan meja riasnya. Wanita itu bahkan sedang menyisir rambutnya. Gerakan Arumi terhenti, saat ia mendapati Ben berdiri tepat di belakangnya.
"Ada apa denganmu?" tanya Ben.
Dahi Arumi terlihat berkerut. "Maksudnya?" balas Arumi.
"Apa kau tengah merencanakan sesuatu?" Suara Benedict kali ini mulai meninggi.
"Merencanakan sesuatu? Aku? Aku tidak merencanakan apapun," sahut Arumi. Bahkan wanita itu menggelengkan kepala.
"Kau pikir aku buta? Melihat perubahan sikapmu, aku semakin yakin jika kau memiliki rencana untuk kabur dari sini," timpal Benedict.
Arumi menoleh. Menatap lekat pada Benedict yang tersenyum sinis kepadanya. "Kabur? Dengan semua penjagaan di mansion ini? Jika memang begitu, berarti aku bisa gila. Aku hanya wanita biasa. Bukan seorang yang bisa memanjat pagar menjulang tinggi tersebut. Kupikir, lebih benar jika aku hanya ingin menyelamatkan nyawaku."
Benedict bergeming. Apa yang dikatakan oleh Arumi ada benarnya juga. Terakhir kali, Arumi jatuh sekarat dan hampir meregang nyawa. Jika sekarang ia menjadi lebih penurut, bukankah itu masih masuk akal? Benedict menghembuskan napas perlahan.
"Baiklah. Tapi, aku suka perubahanmu. Jangan sampai kau mengulangi hal yang sama. Berselingkuh di belakangku!" Ben kembali menaikkan intonasi suaranya. Dada bidang pria itu naik turun.
"Itu menurut Anda. Meskipun kenyataannya bukan seperti yang Anda tuduhkan," tukas Arumi.
Mendengar bantahan Arumi, Ben kembali emosi. Pria itu mencekik leher Arumi. Kedua mata Ben terlihat memerah. Cekalan tangan Ben pada leher Arumi cukup kuat. Membuat Arumi terbatuk kecil. Bahkan kedua kaki Arumi tak menjejak di lantai.
"Kau bilang ingin menyelamatkan nyawamu? Tapi lihatlah, kau malah semakin ingin membuang nyawamu secara cuma-cuma! Bagaimana bisa kau mengatakan, jika kau tidak berselingkuh? Sedangkan aku memiliki buktinya! Dasar jalang!" Ben melemparkan tubuh Arumi di lantai. Membuat tubuh mungil itu tersungkur mundur.
Imbuh Ben, "Kau cukup berani menyuarakan kata-kata pedas. Tapi, kau selamanya tidak akan bisa lepas darimu. Karena nyawamu, ada di tanganku. Sudah, jangan memelas begitu. Bangun, sebelum aku bertindak lebih jauh lagi."
Arumi perlahan bangkit dari posisi bersimpuh di atas lantai. Ben terus menatapnya nyalang. Kemudian Arumi kembali duduk di depan cermin. Kembali menyugar rambut basahnya menggunakan sisir. Ben terus mengawasi perilaku Arumi. Wanita itu kembali bersikap dingin.
"Aku tidur dulu. Setelah selesai, kau juga tidurlah. Lain kali, jangan mengacaukan moodku kembali. Jangan mencoba untuk berdebat denganku," kata Ben.
"Baik, Tuan," sahut Arumi dengan datar.
Ben terdiam. Menatap pantulan wajah Arumi yang dingin dan datar. Pria itu mengerjapkan kedua matanya berulang kali. Sebelum akhirnya, Ben merangkak naik ke atas tempat tidur.
"Kau harus kuat, Arumi. Jangan menyerah. Jika pria itu tak mempercayaimu, maka kau harus membentengi hatimu. Hanya kau sendiri yang bisa menguatkan hati dan juga mentalmu sendiri," batin Arumi.
Setelah dirasa cukup, Arumi perlahan naik ke atas ranjang. Wanita itu lalu mengambil posisi membelakangi Benedict. Memiringkan tubuhnya ke arah lain. Ben melirik punggung Arumi yang membelakanginya. Menatapnya dalam dan penuh tanda tanya.
"Wanita di hadapanku ini mengapa bersikeras? Selalu menolakku dan sekarang justru bersikap seenak hatinya? Atau dia tak takut mati. Entahlah. Dia adalah satu-satu wanitaku sesungguhnya. Sekalipun ia telah berkhianat, aku masih bisa mentolerirnya. Tapi, bukankah dia penghuni baru di mansion ini? Mengapa dengan cepat ia bisa mengenal salah satu orangku? Aku adalah orang yang memiliki kuasa. Semua orang tergila padaku. Mana mungkin wanita di sampingku ini bisa berpaling? Sepertinya Zu harus mencari tahu." Ben membatin dengan gelisah. Merasa ia telah dibodohi.
Keesokan harinya, Ben terbangun saat ia mendengar suara gemericik air dari kamar mandi. Perlahan kedua kelopak mata pria itu terbuka. Ben menyipitkan kedua mata. Mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar. Sembari menunggu Arumi, Ben memilih untuk memainkan ponselnya. Hingga beberapa waktu terlewat, Arumi keluar dari kamar mandi. Ben menoleh ke arah pintu yang terbuka. Nampak wajah Arumi kini telah segar kembali.
"Tuan, mandilah," ucap Arumi.
Tanpa protes, Ben bangkit dari tempatnya dalam diam. Sesekali melirik sosok Arumi yang mematung. Ben pun segera membersihkan diri. Mengingat waktu kian beranjak siang. Terlebih, Zu pasti sudah menunggunya dengan setumpuk pekerjaan. Beberapa waktu telah berlalu. Ben keluar dari kamar mandi dengan handuk kimono. Tubuh pria itu membeku di ambang pintu. Melihat setelan pakaian kerja berikut dengan dasi yang sangat pas sesuai dengan warna kesukaannya. Ben mengedarkan pandangan. Tak mendapati sosok Arumi ada di dalam kamar.
Dua puluh menit kemudian, Ben berjalan menuju ruang makan. Seperti yang telah Ben duga. Arumi telah duduk manis di kursinya. Ben tak mengatakan apapun. Bibirnya memilih bungkam. Reaksi Arumi benar-benar mengusik hati nurani Ben. Arumi seolah menurut dan patuh. Akan tetapi, dalam waktu bersamaan Arumi seolah membentangkan jarak yang lebar antara dirinya dan Ben.
"Wanita ini benar-benar mengujiku," kata Ben dalam hati.
"Minggir!"
Sebuah suara begitu lantang. Semua mata memandang ke arah para bodyguard yang sedang menghadang seorang wanita cantik dengan pakaian yang minim. Ben mengangkat wajah dan mendapati sosok yang dikenalnya. Lalu ekor matanya melirik sosok Arumi yang nampak mengerutkan dahi. Tiba-tiba sudut bibir Ben tertarik.
"Ben!" jerit wanita asing itu. Wajahnya nampak kesal karena para bodyguard dengan kekehnya menghadang.
Ben bangkit dari tempatnya. Berjalan menuju ke arah wanita dengan pakaian kurang bahan itu berdiri. "Jane! Kenapa kau datang tak memberiku kabar?" Ben memeluk tubuh sexy wanita itu.
Menyadari suasana yang aneh, Arumi melirik ke arah tiga istri Ben yang lain. Nampak Sela dan Emira mengepalkan kedua tangannya. Sedangkan Ruri, sama seperti sebelumnya. Wajahnya begitu datar.
"Ish! Jika aku datang mengabarimu, itu namanya bukan kejutan!" suara manja itu begitu menggelikan di telinga Arumi. Wanita bernama Jane melirik ke arah meja makan. "Kau tidak memintaku untuk sarapan?" tanya Jane dengan tak tahu malu.
"Oh, tentu! Ayo, Arumi geser tempat dudukmu. Biar Jane duduk di kursimu," tukas Ben.
Jane tersenyum sinis. Arumi mau tak mau mengikuti kata-kata Ben. Membuat Jane semakin menatap remeh keempat wanita berstatus istri Ben.
"Mereka semua istrimu?" tanya Jane. Wanita itu mendudukkan bokongnya di kursi. Tempat Arumi duduk sebelumnya.
"Tentu!" sahut Ben dengan sombong.
"Kenapa aku tidak kau jadikan istrimu yang kelima?" pertanyaan dari Jane membuat Arumi terjingkat. Arumi menatap tak percaya ke arah Ben yang seolah menatap mesra sosok Jane.