"Apa kau yakin, Zu?" tanya Ben tak percaya.
"Benar, Tuan Ben. Ada beberapa data perusahaan yang telah bocor keluar. Sepertinya, ada pengkhianat yang sedang bermain-main dengan kita." Zu menundukkan kepala.
Ben perlahan bangkit dari tempat duduknya. Berjalan mendekati di tempat Zu berdiri. Zu cukup paham dengan kerugian yang saat ini tengah ditanggung oleh Ben. Menyentuh nilai 2 Milyar. Memang nilai itu bagi Ben tidak mengusik kekayaan Benedict. Akan tetapi, Zu berfikir jika hal ini justru sebuah penghinaan bagi Ben.
"Pengkhianat?" ulang Ben. Pria itu berjalan mondar-mandir di depan Zu. Imbuh Ben, "Setelah sekian lama, akhirnya ada yang berani mengusikku," Seringai licik terbit di wajah tampan tersebut.
"Suruh Jo untuk menghandle. Aku ingin lihat, seberapa besar kemampuan orang di balik kekacauan ini. Hebat sekali, berani mengusikku. Mungkin dia tidak menyangka jika aku menyambutnya penuh dengan kehangatan." Benedict tergelak membahana di setiap sudut ruangan tersebut.
Zu membungkukkan tubuhnya. Kemudian berlalu. Meninggalkan Benedict dengan senyum penuh arti. Beberapa waktu berlalu. Zu kembali di hadapan Benedict. Suasana mencekam kian terasa. Hingga tiba-tiba suara Benedict membuyarkan keadaan yang kikuk.
"Aku sebenarnya ingin mengurus ini. Tetapi mengingat aku sudah lama tak pulang, ya sudah. Biar Jo yang mengurusnya. Lalu Kaisar dan kau Zu, tetap berada di sampingku. Kita pulang. Satu Minggu lagi, kita akan menyusul Jo ke London." Benedict melangkahkan kakinya ke luar ruangan.
Zu segera mengekor di belakang. Setelah membuka pintu, terlihat Kaisar masih setia menunggu di balik pintu. Sedangkan Jo, sudah berlalu terlebih dahulu untuk menyelidiki sesuatu atas permintaan Benedict.
Selama di perjalanan, Benedict lebih memilih bungkam. Pikirannya menerawang. Samar-samar Benedict mulai mengingat tentang Arumi. Tiba-tiba hati pria itu begitu dongkol. Mengingat kembali luka yang ditorehkan oleh Arumi.
"Arumi, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja. Kau tidak tahu, seberapa besar kemampuanku untuk membuatmu tertekan. Beraninya kau meninggikan dirimu di hadapanku! Apa kau tidak sadar, jika kau hanyalah satu dari sekian banyak boneka mainanku?" kata Ben dalam hati.
Dalam perjalanan, Benedict memilih membisu. Pria itu terus memikirkan Arumi yang sangat sulit ia tebak. Arumi cenderung lebih dingin. Bahkan, wanita itu tak bisa bersikap manja! Argh! Bukankah Sela saja, menghalalkan segala cara untuk bisa bersama Benedict? Lantas, apa yang mendasari Arumi bersikap tak acuh? Benedict menggeram perlahan. Tanpa disadari Benedict, mobil telah berhenti.
"Tuan, kita sudah sampai," ucap Zu mengakhiri lamunan Benedict.
Tanpa menjawab, Benedict segera keluar begitu Kaisar telah membukakan pintu. Seperti biasa, saat Ben telah menjejakkan kaki di lantai rumah, maka semua istri Ben menyambut. Tak terkecuali Arumi yang sangat dinantikan oleh Benedict. Pria itu mengukir senyuman penuh arti.
"Oh, sudah sembuh? Kupikir masih saja lemah di atas ranjang," sindir Ben.
Hening. Arumi tak menanggapi kata-kata Benedict. Wanita itu memilih abai dan tetap berada di tempatnya, bahkan dengan ekspresi datar. Ben terdiam. Perubahan sikap Arumi memang tak mengejutkannya. Akan tetapi, Ben berfikir mengapa Arumi justru semakin lebih dingin kepadanya? Ben mengendikkan bahunya.
"Sebenarnya apa pekerjaan pria ini? Bukankah mencurigakan? Pria ini memiliki banyak sekali kekayaan yang tidak bisa dinalar oleh akal. Jatah belanja para istri, lalu kebutuhan dapur. Jangan lupakan banyak sekali penjaga di rumah besar dan mewah ini. Kupikir, ada puluhan orang yang menjaga setiap sudut mansion ini." Arumi membatin.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Ben dengan mengangkat dagu Arumi.
Mau tak mau membuat Arumi mengangkat kepala, menatap wajah Ben. Arumi menggelengkan kepala perlahan. Sontak saja, Arumi begitu ketakutan. Tubuhnya pun gemetar. Hal itu nampak jelas, karena Ben berdiri tepat di depan Arumi.
"Begitukah?" desak Ben.
"I-iya, Tuanku," sahut Arumi dengan terbata.
Bibir Ben mengukur senyuman puas akan jawaban yang diberikan oleh Arumi. Entah mengapa hanya Arumi yang begitu unik di kedua mata Ben. Seumur hidup Ben, ia hanya bisa berhubungan lebih dengan Arumi selayaknya pasangan suami istri.
"Baiklah." Ben melepaskan dagu Arumi. Lanjut Ben, "Istirahatlah. Aku akan bermalam di kamarmu besok. Malam ini aku memiliki pekerjaan yang belum terselesaikan. Kaisar, perintahkan seseorang untuk menjaga istri keempatku. Aku tidak mau kecolongan lagi." Ben menatap tajam ke arah Arumi.
Hal itu membuat Arumi menundukkan kepala. Karena sepertinya Ben tidak akan membiarkan kejadian tempo hari. Setelah mengatakan hal itu, Ben segera berlalu diikuti Zu yang setia di belakangnya.
"Mari, Nyonya. Anda harus istirahat. Ini sudah malam," kata Kaisar.
Sejenak, Arumi meragu. Akan tetapi, Arumi sadar diri. Melihat ekspresi Kaisar yang menyeramkan, Arumi memilih berlalu menuju kamarnya. Diikuti oleh Kaisar dan juga Ratih.
"Sebenarnya apa pekerjaan suamiku itu? Kenapa dia begitu berkuasa? Sepertinya aku tidak akan lolos dari sini dengan mudah. Bahkan pria itu menugaskan orang untuk menjagaku." Arumi membatin gelisah.
"Silahkan Nyonya masuk ke kamar. Saya akan berjaga di luar," ucap Kaisar.
"Nyonya, ayo. Ini sudah malam. Saya bantu untuk mengganti baju Anda," ajak Ratih.
Arumi mengangguk pelan. Kemudian melangkahkan kakinya memasuki kamar. Ratih dengan cepat menutup pintu. Terlihat dengan jelas, jika Ratih juga sama tegang dan gelisahnya dengan Arumi.
"Nyonya, setelah ini mungkin Anda akan diawasi. Selama kurun waktu itu, bisakah Anda menjaga sikap? Ini untuk kebaikan Anda. Saya mohon, Anda bisa sedikit bersabar lagi. Jangan lupa, keadaan Anda terakhir kalinya membantah. Anda bisa?" Ratih mengiba.
Arumi menatap manik coklat milik Ratih. Apa yang gadis itu katakan ada benarnya juga. Nyawa Arumi lebih berharga dari apapun. "Harusnya kau tidak sampai seperti itu. Kali ini aku akan mendengarkanmu. Aku juga masih sayang pada nyawaku, Ratih," timpal Arumi.
Ratih tersenyum. "Baiklah, ini sudah malam. Waktunya Nyonya tidur."
Arumi tak bersuara lagi. Ia menuruti kata-kata Ratih untuk segera mengganti pakaian. Sedangkan pikiran Arumi terus terganggu oleh kata-kata Benedict yang akan bermalam di kamarnya. Tak lama kemudian, Ratih meninggalkan kamar Arumi. Sejenak, Arumi mematung. Setelah sekian lama, akhirnya sang penguasa kembali pulang.
"Aku harus membentengi hatiku. Jangan sampai aku jatuh cinta pada pria yang hidup dengan banyak wanita. Di rumah saja, ada 4 orang istri. Apalagi di luar rumah? Bisa saja dia memiliki satu wanita yang berbeda di setiap malamnya, untuk menemaninya tidur. Arumi, kamu harus kuat!" Arumi menyemangati dirinya sendiri.
"Lebih baik aku tidur," gumam Arumi.
Wanita itu merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Perlahan matanya mulai memberat. Hingga akhirnya ia terbuai oleh dewi mimpi. Entah berapa lama, Arumi tertidur. Hingga wanita itu merasa ada yang mengusik tidurnya. Sentuhan lembut, mulai menjalar di setiap inci tubuhnya. Bahkan, dinginnya AC begitu terasa di kulit. Perlahan, Arumi membuka kedua matanya. Seketika kedua matanya melebar.
Benedict tersenyum menyeringai. "Halo, Sayangku. Ternyata kau merindukan aku ya? Malam ini, jangan harap kau bisa tidur dengan nyenyak!"