"Nyonya?" Sebuah panggilan lirih terdengar di telinga Arumi.
Sesaat Arumi hanya diam. Tubuhnya terasa remuk redam. Dalam keadaan mengenaskan, ia masih dipaksa untuk melayani Benedict. Padahal, darah segar masih sering merembes diantara perban putih yang membelit luka Arumi. Ratih meringis. Meratapi luka-luka majikannya, terbuka kembali. Ratih menatap nanar pada sosok Arumi yang tercenung. Ratih bisa menarik kesimpulan, jika Arumi depresi.
"Nyonya?" panggil Ratih sekali lagi.
Arumi menoleh. Terlihat Ratih menatapnya dengan tatapan iba. Seketika membuat Arumi menghembuskan napas kasar.
"Aku belum mati. Jangan tatap aku begitu, Ratih. Aku tidak suka," ketus Arumi.
"Maafkan saya, Nyonya. Saya telah lancang. Bagaimana keadaan Nyonya?" tanya Ratih. "Saya sangat khawatir, ketika ada beberapa pengawal di depan kamar ini. Saat saya ingin masuk, para pengawal itu menghadang bahkan memukul saya. Maafkan saya, Nyonya!" sesal Ratih.
Arumi beberapa kali mengerjapkan kedua matanya. Ia menatap Ratih dengan penuh selidik. Kemudian Arumi menyipitkan kedua mata.
"Kenapa dengan wajahmu? Apa mereka menyakitimu?" tanya Arumi.
Seketika Ratih menganggukkan kepala. Membuat Arumi mendesah gelisah. Jika seperti ini terus menerus, entah bagaimana nasib Arumi dan Ratih ke depannya. Di sini, kehidupan tak normal. Bagi Arumi, di tempat ini bagai neraka.
"Ya sudah. Jangan bahas lagi. Ratih, aku hanya bisa bergantung padamu," ucap Arumi.
Waktu terus berlalu. Ratih begitu setia kepada Arumi. Hingga kini, Arumi telah sembuh. Syukurlah, Benedict memberikan perawatan terbaik untuk Arumi. Senyum mulai terkembang di bibir Arumi. Wanita itu sedikit lega, karena sekian lama ia hanya terbaring kini Arumi bisa bergerak seperti sedia kala.
"Ratih, terima kasih ya. Sudah merawatku selama ini," kata Arumi. Wanita itu mematut diri di depan cermin. "Ngomong-ngomong, aku sudah berapa lama sakit?" tanya Arumi.
"Sekitar 45 hari, Nyonya," jawab Ratih.
Arumi terdiam. Sudah hampir dua bulan. Tapi mengapa Arumi tak bertemu Benedict? Bukankah biasanya Benedict ada di rumah? Atau, Benedict sedang bekerja? Arumi menggelengkan kepala perlahan.
"Oh iya, Nyonya. Kata Tuan Zu, Anda sudah boleh kembali ke kamar Anda sebelumnya. Anda mau pindah sekarang?" pertanyaan Ratih membuat dahi Arumi berkerut.
"Pindah?" Arumi memutar tubuh. Menatap Ratih dengan bingung.
"Benar, Nyonya," sahut Ratih.
"Tuanmu kemana?" tanya Arumi.
Hening melenggang. Ratih seakan enggan untuk berbicara. Sesekali Ratih melirik Arumi yang tengah menunggu jawaban darinya. "Em, semenjak Nyonya terluka untuk kedua kalinya, Tuan menghilang. Itu bukan ranah saya, untuk tahu kemana Tuan pergi," timpal Ratih.
"Sudah kuduga. Sebenarnya, pekerjaan si brengsek itu apa? Kekayaan, dan juga kekuasaannya benar-benar mendominasi. Ia bahkan menghilang dalam kurun waktu yang lama." Arumi membatin gelisah.
"Baiklah. Ayo, kita ke kamar lama," ucap Arumi pada akhirnya.
Ratih mengangguk pelan. Kemudian mulai membawa barang yang tak banyak itu. Saat di luar kamar, Arumi mendapati sekitar 5 orang yang berdiri di depan pintu kamar sempitnya.
"Kenapa kalian ada di sini?" tanya Arumi.
"Nyonya, mereka akan mengawasi Anda," jawab Ratih.
Arumi menghela napas kasar. Ia mengerti. Seperti Benedict benar-benar ingin membuat hidup Arumi bagai di neraka. Tanpa berkata lagi, Arumi memilih melangkahkan kakinya menuju ke kamar yang lama. Tatapan sinis dari Emira dan Sela, begitu nyata tatkala keduanya tak sengaja berpapasan dengan Arumi.
"Eh, orang kampung! Mau kemana? Bukannya kamar kamu itu di ujung koridor? Dekat kamar pembantu ya," sindir Sela.
Arumi menghentikan langkah kakinya. Wanita itu berbalik dan menatap tajam ke arah dua wanita yang selalu mencari masalah dengan Arumi.
"Maaf, membuat kalian berdua kecewa. Wanita kampungan ini, diminta oleh Tuan Benedict untuk kembali ke kamar lamanya. Jadi, jika kalian berdua ingin protes, silahkan menghadap Tuan Benedict. Kalaupun wanita kampungan ini ditendang dari kamar tuan kita, dengan senang hati wanita kampungan ini kembali ke kamar sempit itu. Maaf, saya lelah. Permisi." Arumi segera berbalik dan melanjutkan langkah kakinya. Diikuti Ratih yang tersenyum riang.
"Sialan! Kurang ajar sekali wanita kampungan itu!" gerutu Emira.
"Benar. Kenapa waktu itu, dia tidak mati saja? Lihat, dia semakin sombong!" rutuk Sela.
"Benar. Lihat saja. Aku tidak akan tinggal diam. Sel, mumpung tuan belum kembali, kita bisa memberi pelajaran pada wanita kampungan itu," ketus Emira.
"Ya, kau benar. Enak saja dia bisa merasakan tempat tidur tuan kita. Sedangkan kita? Hanya mendekatinya saja, hampir kehilangan nyawa." Sela tidak terima. Karena Arumi begitu beruntung bisa tidur bersama Benedict di kamar utama.
"Ck! Ruri pengecut! Kenapa dia tidak bergabung dengan kita? Siapa tahu, dia bisa membantu kita. Dasar tidak berguna!" Emira menghentakkan kaki ke lantai.
Di sisi lain, di sebuah kamar mewah terlihat seorang wanita cantik berdiri dengan dalaman victoria secret berwarna hitam. Di depan wanita itu ada satu orang pria, menatapnya penuh gairah.
"Aku menanti kehadiranmu setiap waktu. Untuk sejenak melupakan neraka ini," ucap wanita itu dengan senyuman menggoda.
Akan tetapi, seorang pria lain masuk ke dalam kamar mewah tersebut. Tentu saja si wanita tersentak kaget. Buru-buru ia menyambar handuk kimono yang teronggok di lantai.
"Hai, Nyonya Ruri. Izinkan saya bergabung. Jika tidak, saya akan mengatakan kelakuan Anda kepada Tuan Ben. Ayolah, ini demi kenikmatan bersama. Namaku Yasa. Nyonya bersedia membiarkan saya bergabung bukan?" pria bernama Yasa itu mengunci pintu kamar Ruri.
"Edo! Kamu cerita ke temanmu?" sentak Ruri.
"Nyonya, disini ada banyak mata. Yasa memergoki saya. Bagaimana mungkin, saya membiarkan rahasia kita terbongkar? Sudahlah, Nyonya. Toh hanya Yasa dan saya saja yang tahu," hibur Edo. Pria gelap Ruri selama satu tahun belakangan ini.
Sebelum sempat Ruri menjawab, Yasa yang sudah tidak tahanpun segera melucuti pakaian Ruri hingga wanita itu kini polos tanpa sehelai benangpun. Yasa menggiring Ruri menuju sofa tunggal. Mendudukkan wanita yang masih kaget itu disana. Lalu membuka kedua kaki Ruri lebar-lebar. Awalnya Ruri berontak. Namun, Yasa rupanya pandai memainkan intrik sehingga membuat Ruri tak lagi memberontak.
Yasa memainkan dua bukit indah milik Ruri. Sedangkan lidahnya sudah bermain pada inti milik Ruri. Wanita itu memejamkan kedua mata. Meresapinya dengan dalam. Bayangan Ruri mulai nakal. Dua orang pria akan memuaskannya dalam kehidupan bagai neraka ini. Terbukti dua tangan lain memainkan ujung bukit menantang miliknya. Semakin membuat Ruri menggila.
"Maafkan aku, Tuan Benedict. Aku sudah sangat kesepian sejak tiga tahun lalu kau menikahiku tanpa menyentuhku. Aku tahu ini memang gila. Akan tetapi, hanya ini cara menghilangkan kesedihan mendalamku yang kebebasannya direnggut. Oh, aku menyukai ini. Setidaknya, aku gila di tempat yang telah menjadi neraka untukku!" batin Ruri.