Arumi menatap tak percaya pada apa yang ada di depannya. Ben telah memberikan barang-barang dengan harga yang fantastis. Arumi berulang kali hendak menolak. Tapi, Ben justru memandangnya dengan kilatan amarah. Di dalam mobil saat perjalanan pulang sekalipun, Ben dan Arumi saling diam. Tak ada yang ingin berniat untuk berbicara. Arumi memandang senang ke arah ponsel barunya. Dengan ini, ia bisa menghubungi keluarga di rumah.
"Alhamdulillah. Aku bisa telfon ibu dan adik-adikku. Tapi, aku harap aku juga bisa memberikan ibu uang. Pasti ibu belum membayar biaya bulanan sekolah Lily dan Lila. Apa aku juga memiliki kesempatan untuk bertemu dengan mereka?" Arumi bermonolog dalam hati.
Mobil mulai memasuki halaman luas kediaman Benedict. Kali ini Arumi memasang kedua matanya tajam. Kekayaan suaminya benar-benar di luar nalar. Hanya halaman rumah saja, melebihi lapangan bola di kampungnya. Tak hanya itu, banyak sekali para pria bertubuh kekar dan berpakaian serba hitam juga berjaga di titik-titik tertentu.
"Jika difikir, pelayan di rumah juga ada banyak. Belum lagi, rumah itu cukup besar. Bukan lagi besar, aku pernah melihat ada banyak bangunan mewah dan megah lainnya. Bukan hanya rumah yang aku tempati. Sebenarnya, siapa Benedict yang menikahiku ini? Memang tidak ada kekerasan yang ia lakukan. Tapi, ini semua sangat membingungkanku." kata Arumi dalam hati.
"Turun." Ben mengucapkannya dengan dingin.
Lalu berjalan meninggalkan Arumi yang mematung. Hingga Zu datang dan menyambar semua barang bawaannya. Membuat dahi Arumi berkerut.
"Biar saya yang bawa. Silahkan," ucap Zu membuat Arumi mengangguk dan melangkah masuk ke dalam rumah.
Saat Arumi masuk ke dalam rumah, tiga wanita istri Ben menatap marah ke arah Arumi. Membuat Arumi bergidik ngeri. Ternyata mereka bertiga menyambut kedatangan Ben. Bahkan posisi istri-istri Ben itu tak ubahnya pelayan yang menunduk di belakang ketiganya.
"Mereka patuh sekali. Ah benar. Ben memang menyeramkan. Apa aku nantinya juga begitu? Ah, kenapa tidak diceraikan saja?" Arumi pun membatin.
"Aduh!" pekik Arumi tatkala ia menubruk seseorang. Saat Arumi mengangkat kepala, terlihatlah sosok Ben yang tengah menatapnya. Arumi mendelik. Bagaimana bisa ia ceroboh.
"Kau melamun?" tanya Ben.
"Ha-hanya mengantuk," jawab Arumi dengan tergagap.
Ben menyeringai. "Ayo, kita ke kamar."
Tangan besar Ben menarik tangan Arumi. Membuat gadis itu sedikit meringis. Mau tak mau Arumi berusaha mensejajarkan langkah kakinya dengan langkah kaki milik Ben. Pria itu terus saja menarik tangan Arumi.
Ceklek.
Ben mengunci pintu kamar. Arumi semakin meradang. Pasti akan ada hal yang tidak ia inginkan. Benar saja, Ben justru tersenyum menatap Arumi.
"Aku suka rambut barumu." Ben akhirnya mengeluarkan kata-kata yang membuat Arumi semakin merinding.
Semenjak dibawa ke rumah ini, penampilan Arumi terlihat berubah. Rambut yang tadinya lurus, kini berubah menjadi sedikit bergelombang. Membuat aura gadis itu sedikit lebih fresh. Ben mengagumi itu. Wajah Arumi pun juga tak kalah menyenangkan di kedua matanya. Tanpa make up tebal, Arumi sudah terlihat cantik dengan lipbalm dan perona di kedua pipinya.
Arumi terjingkat saat Ben menyentuh wajahnya. Membuat semburat rona jingga muncul di kedua pipinya. Hal ini semakin membuat Ben menjadi candu untuk terus menatap Arumi. Wanitanya itu semakin lama, semakin membuat Ben menggila.
Ben menyentuh dagu Arumi. Mengendusnya perlahan-lahan. Membuat desiran aneh di hati Arumi. Bahkan pria itu mendaratkan kecupan di leher Arumi. Menyentak gadis itu hingga napasnya tersengal.
"Mana ponsel barumu. Biar aku punya nomormu." Ben memundurkan wajahnya. Menyeringai penuh kemenangan saat mendapati wajah Arumi merona merah jambu.
Arumi segera mengambil paper bag yang ada di atas ranjang. Lalu mengambil ponsel barunya dan menyerahkannya kepada Ben. Pria itu lalu mengutak-atik ponsel baru Arumi. Tak lama kemudian, Ben memberikannya kepada Arumi.
"Aku sudah menyimpan nomormu. Dan nomorku, sudah tersimpan di ponselmu. Ingat, kau harus memberiku kabar jika kau ingin bepergian dari rumah ini," kata Ben.
"Pergi? A-aku boleh pergi keluar dari rumah ini?" tanya Arumi terperangah tak percaya.
"Apa aku juga boleh menjenguk ibu?" tanya Arumi dalam hati.
"Kenapa kau kaget? Ini ATM untukmu. Setiap bulan, aku akan memberimu jatah belanja. Terserah kau gunakan untuk apa. Nanti aku juga akan memberikan uang belanja kebutuhan yang lainnya ke Bibi Sonia. Dia yang bertugas mengatur semua kebutuhan mandi dan apapun untuk rumah ini." Ben menyodorkan sebuah kartu dan juga seperti buku tabungan.
Arumi menyipitkan kedua matanya. Ia tahu itu karena majikannya yang dulu juga memberikan kedua benda itu untuk anaknya. Kedua mata Arumi mengerjap berulang kali. Belum juga ingin mengambil dua benda yang disodorkan oleh Ben.
"Ck! Ini sudah atas namamu. Aku tidak berhak lagi. Oh iya, Zu sudah mengisinya dengan jatah kebutuhanmu selama sebulan. Kuharap, kau bisa menggunakannya dengan baik," ucap Ben seraya menarik tangan Arumi untuk menerimanya.
Saat Arumi membuka buku tabungan tersebut, kedua mata Arumi melebar. "Lima puluh juta?" suara gadis itu bahkan terdengar serak.
"Iya. Apa itu kurang?" tanya Ben.
Dengan cepat, Arumi menggelengkan kepala. "Bukan! Apa ini tidak berlebihan? Maksudku, ini untukku saja selama sebulan?" Arumi justru balik bertanya.
Kedua mata Ben menyipit. "Berlebihan?" Ben menggelengkan kepala perlahan. "Kurasa tidak. Itu jatah bulananmu sama seperti kakak madumu yang lain. Aku tidak membedakan siapapun istriku. Aku hanya ingin kalian patuh. Itu saja. Hei! Jangan menatapku begitu! Dengar, kau boleh memakainya untuk apapun. Suka-sukamu, kau ingin membeli tas atau sepatu. Yang penting, 50 juta itu sebulan. Aku tidak akan memberikan tambahan," papar Ben.
Kedua mata Arumi berkaca-kaca. "Jika aku memakainya untuk memberi ibu? Atau menyekolahkan adik-adikku?"
Hati Ben terasa tertohok. Dibandingkan wanita-wanita yang ia kenal, Arumi cukup istimewa. Ingin memberi ibunya, bahkan ia masih sempat bertanya. Apa kabar dengan istri-istrinya sebelumnya? Bahkan justru semakin berulah. Sudah tahu sebagai penebus hutang, malah bersikap seenaknya saja.
"Aku sudah bilang. Terserahmu. Kau tidak ingin belanja keperluanmu? Tas, sepatu atau ke salon?" tanya Ben.
"Tidak. Aku ingin menggunakan uang ini dengan sebaik-baiknya. Aku tidak perlu ke salon. Ratih sudah hebat membantu merawat diri," kata Arumi.
Ben menarik napas panjang. "Sepertinya aku harus menambah gaji Ratih."
Arumi tak menjawab. Semua kemewahan ini begitu terpampang nyata. Tapi, apa benar begitu? Arumi bahkan tidak tahu apapun tentang pria yang ada di hadapannya. Benedict dengan sejuta rahasianya. Bukan maksud Arumi curiga. Tapi mengingat untuk jatah bulanan keempat istrinya saja, Ben harus mengeluarkan Rp. 200 juta.
"Bolehkah aku curiga? Pria yang menjadi suamiku ini bisa mendapatkan kekayaan dengan mudah. Apa yang aku miliki, di dalam walk in closet pun sepertinya juga menghabiskan banyak sekali uang. Lalu, apa pekerjaan suamiku?" tanya Arumi dalam hati.