"Syukurlah. Aku sudah bisa memberikan uang untuk ibu. Ya Allah, entah aku harus bersyukur atau tidak. Mengingat aku menjadi istri keempatnya. Menyedihkan sekali." Arumi menggumam sembari menerawang.
Siapa yang tidak sedih akan status istri keempat? Memiliki satu madu saja, sakitnya bukan main. Terlebih ini ada 3 madu!
Arumi memejamkan kedua matanya. Wanita itu kembali mengamati jumlah saldo yang ada di m-bankingnya. Masih bernilai fantastis.
"Apa aku kuliah saja ya? Aku juga tidak memiliki kesibukan. Aku sedikit bosan, jika aku harus berdiam diri di rumah ini. Mereka mulai berani menampakkan sisi buruknya. Perlahan menyuruhku ini itu. Huh."
Arumi mendesah. Kembali menatap lekat nominal saldo yang ada di rekeningnya. Pikirannya kini tertuju ke arah Ben. Pria itu akankah memberikan izin? Sedangkan penjagaan di rumah ini saja lumayan ketat!
"Setidaknya aku izin dulu. Perkara boleh atau tidak, urusan belakangan," gumam Arumi.
Ia sibuk dengan ponsel barunya. Berselancar di aplikasi biru bertuliskan f. Baru saja ia hendak men-scroll layar, kedua iris coklatnya mendapati satu postingan yang lumayan bisa ia pakai untuk mencari kesibukan.
"Menulis novel?" gumam lirih Arumi. "Aku lihat-lihat saja. Nanti kalau aku sudah paham, aku akan ikut saja. Ternyata di kota besar begini, ada banyak peluang ya," imbuh Arumi.
Tok tok tok.
"Iya, sebentar." Arumi segera bangkit. Gadis itupun membuka pintu. Sesaat dahi Arumi bertaut. Ia tidak pernah meminta dibawakan minuman. "Apa ini?" tanya Arumi.
"Ini dari Ratih, Nyonya. Takutnya Anda haus. Permisi," kata si pelayan itu.
Meski curiga, pada akhirnya Arumi menggeser tubuhnya. Membiarkan pelayan itu untuk masuk ke dalam kamar. Setelah pelayan pergi, Arumi menutup pintu kamar.
"Ratih memang pengertian. Dasar anak itu," ucap Arumi sambil mulai menenggak minuman dalam gelas tersebut. Cukup menyegarkan untuk orang seperti dirinya.
Arumi kembali membuka ponselnya. Bermain di sosial media yang baru saja ia tahu cukup menyenangkan. Sesekali Arumi terkekeh geli mendapati sesuatu yang lucu.
"Manusia di dunia ini beraneka ragam. Ada-ada saja. Em, kenapa aku mengantuk, ya?" gumam Arumi.
Tanpa sadar, Arumi menguap dan tak berapa lama ia tertidur. Seolah matanya sangat berat untuk sekedar terbuka. Bahkan, posisi tidurnya cukup berantakan. Terlebih, dengan ponsel yang ada di tangannya.
Di sisi lain, di sebuah perusahaan, Ben menandatangani berbagai dokumen penting yang rasanya tiada habisnya. Sesekali terdengar umpatan keluar dari bibirnya.
"Zu, ini menyebalkan. Sampai kapan ini berakhir?" rutuk Ben.
"Maafkan saya, Tuan. Ini resiko Anda, karena sering sekali pulang sedikit lebih cepat," timpal Zu.
"Kau ini belum pernah merasakan menikah. Jadi suka sekali kau mengejekku. Lihat saja, ketika kau menikah nanti. Aku tidak akan memberimu izin pulang lebih cepat!" gerutu Ben.
"Maafkan saya, Tuan. Saya belum memikirkannya." Lagi, kata-kata Zu membuat Ben hendak memberinya pelajaran.
Akan tetapi, saat itu juga ponsel Ben berdering. Beberapa buah foto nampak terlihat masuk ke dalam ponsel Ben. Dengan segera Ben menyambar ponselnya. Kedua iris abu-abu itu mendadak melebar. Ben bahkan mengeratkan lehernya.
"Zu, kita pulang sekarang!" Ben menekankan kata-kata seolah mengatakan kepada Zu, jika mereka berdua harus pulang saat ini juga. "Beraninya wanita jalang itu bermain-main denganku? Ah brengsek!"
Zu tak bersuara. Melainkan ia mengekor tanpa bicara sepatah katapun. Zu sudah memahami jika Ben tengah dilanda emosi yang menggunung. Zu segera menginjak pedal gas ketika mereka sudah masuk ke dalam mobil.
Satu jam perjalanan, kini mereka telah sampai di mansion. Para pelayan datang tergopoh-gopoh hendak menyambut kepulangan Ben yang mendadak. Wajah Ben terlihat memerah menunjukkan amarah yang memuncak.
"Arumi!" teriak Ben.
Hal itu terjadi berulang kali. Tak ayal, ketiga istri Ben yang lain datang untuk melihat Ben. Sebuah senyum sinis tersungging di bibir Sela dan Emira. Ben segera berlari menuju kamar utama yang ada di mansion tersebut.
"Arumi!" Ben mendobrak pintu kamarnya.
Brak.
"Bangun, kau dasar jalang!" Ben menyentak tubuh Arumi.
"Ah!" Arumi memekik. Saat tubuhnya terjungkal ke lantai marmer. "Ke-kenapa?" Arumi menatap bingung ke arah Ben.
"Zu!" panggil Ben.
Ben segera menarik tangan Arumi. Kemudian, Zu mengambil cambuk yang akan digunakan sebagai pendisiplin. Hal yang sudah mendarah daging bagi Ben.
"Lepas! Kenapa begini, Tuan? Tolong lepaskan saya. Ini sakit!" rintih Arumi.
Ben tak menyahut. Ia terus menyeret tubuh Arumi hingga ke lapangan terbuka. Ben pun melemparkan tubuh Arumi dengan kasar. Kembali Arumi berteriak. Tubuh wanita itu terjungkal di tanah lapang yang berdebu. Tiga orang istri Ben juga berkumpul di sana. Terlebih Sela dan Emira. Wajah keduanya begitu sumringah saat pria yang mereka cintai tak segan untuk menghukum saingan cinta mereka.
"Apa ini rencana kalian?" bisik Ruri.
"Kenapa, Mbak? Ini akan memberikan peluang untuk kita. Bukan pada wanita kampung itu. Apa Mbak tidak iri? Dari awal kedatangan wanita sialan itu justru ditempatkan di kamar yang sama dengan tuan kita. Sedangkan aku? Harus meratapi diri karena tubuh dan kulitku yang terkelupas. Ini menyakitkan!" gerutu Sela.
"Itu salahmu. Kau sangat lancang, merayu tuan. Masalah ini, jangan libatkan aku," tegas Ruri.
"Tidak akan, Mbak. Kami sadar diri. Mbak tidak pernah ingin memberontak," timpal Emira.
Di tanah lapang, Zu terlihat berjalan cepat dengan membawa cambuk di tangannya. Seketika tubuh Sela bergetar. Ia pernah merasakan panasnya cambuk itu. Sela menggeser tubuhnya. Bersembunyi di belakang Emira, yang memahami ketakutannya.
"Tuan." Zu menyodorkan cambuk kepada Ben. Lalu berdiri tepat di belakang Ben.
"Arumi, aku peringatkan baik-baik peraturan disini. Hidup dan matimu ada di tanganku. Sekalipun kau berstatus sebagai istri, kau tidak berhak atas kebebasan apapun tanpa seizinku!" Ben menyorot tajam Arumi yang bersimpuh di tanah lapang.
Menyadari ada kesalahpahaman, Arumi menggelengkan kepala perlahan. "Tidak, Tuan. Anda salah paham. Saya tidak melakukan kesalahan apapun. Kenapa Anda memperlakukan saya begini?" kilah Arumi.
Ben tidak menjawab. Tetapi tangannya menggerakkan cambuk, hingga mengenai tubuh mungil Arumi. Wanita itu memekik, tatkala menerima panasnya dari cambuk yang dilayangkan oleh Ben.
"Maafkan saya, Tuan!" jerit Arumi.
"Maaf? Ha-ha-ha! Dasar jalang! Jangan sok polos kau. Apa kau pikir, aku ini buta? Kau tidak tahu siapa aku. Tapi beraninya kau bermain api di belakangku? Oh, dari awal kau memang sudah berani padaku. Tapi, kau sepertinya lupa dengan kejadian aku menguncimu di gudang selama 1 hari penuh. Kau melupakan siapa aku, Arumi. Baiklah. Aku akan mengingatkanmu kembali." Ben menarik sudut bibirnya.
Kemudian tangan kekar pria itu mulai menggerakkan cambuk. Berulang kali Ben melayangkan cambuk tersebut ke tubuh Arumi. Tak perduli kulit mulus Arumi mulai terkoyak. Cairan kental berwarna merah juga mulai menampakkan diri dari balik baju yang dipakai Arumi, menandakan Ben tak berbelas hati sedikitpun, bahkan terhadap wanita lemah seperti Arumi.
Tubuh Arumi bergetar hebat. Pandangan kedua mata berwarna coklat itu mulai memudar. Dengan deru napas yang tersengal, Arumi mulai tak sadarkan diri. Arumi telah sekarat di tangan pria yang telah bergelar suami tiga hari lalu.